Kamis 28 Jul 2016 06:00 WIB

Turki, Indonesia dan Demokrasi (2)

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID, Pascakudeta yang gagal di Turki (15/7/2016), Indonesia tampaknya tinggal menjadi satu-satunya negara Muslim terbesar yang dapat disebut sebagai demokrasi.

Meski demokrasi Indonesia tidak atau belum sepenuhnya sesuai harapan, tetapi jelas hak-hak demokratis dan HAM berjalan tanpa ancaman kudeta militer atau otokrasi sipil.

Pertanyaannya kemudian adalah; kenapa perkembangan Turki pascakudeta tidak lagi memberikan harapan, sementara demokrasi Indonesia-meski masih harus terus dikonsolidasikan-lebih menjanjikan?

Salah satu penyebab utama memudarnya demokrasi Turki adalah kebangkitan kekuasaan otokratik Presiden Recep Tayyip Erdogan. Setelah memenangkan tiga kali pemilu yang menempatkannya sebagai perdana menteri, dan pemilu langsung sebagai presiden, Erdogan tidak tertandingi.

Dengan kekuasaan yang nyaris mutlak, Erdogan dalam lima tahun terakhir semakin sering melakukan tindakan sewenang-wenang. Secara represif, ia mengorbankan hak demokrasi warga dan sekaligus HAM.

Perkembangan ini sekali lagi membenarkan argumen Lord Acton: 'Power tends to corrupt; absolute power corrupt absolutely". Kenyataan ini terlihat dari langkah yang dilakukan Presiden Erdogan.

Ia tidak hanya memberlakukan keadaan darurat, tetapi juga melakukan 'pembersihan' besar-besaran terhadap mereka yang 'tercurigai' sebagai yang terkait dengan kudeta dan organisasi Hizmet atau Gulen, yang dianggap Erdogan, bertanggungjawab sebagai otak (master-mind) upaya kudeta.

Lihatlah angka-angka (sampai 22 Juli) yang bisa dipastikan terus bertambah ini: 21.738 guru dan dosen Kementerian Pendidikan diberhentikan, 21 ribu izin lembaga pendidikan swasta dari pendidikan dasar sampai universitas dicabut, 8.777 pegawai Kementerian Dalam Negeri dipecat, 6.319 personel militer ditahan, 1.577 ketua jurusan di universitas dipaksa mengundurkan diri, dan 1.481 jaksa dan hakim juga ditahan.

Bisa dipastikan, mereka yang menjadi korban represi ini dicurigai rezim Erdogan sebagai yang terkait dengan Hizmet atau Gulen. Bahkan, Presiden Erdogan meminta pemerintah Amerika Serikat (AS) mengekstradisi Fathullah Gulen yang mengasingkan diri di kawasan Pocono, Philadelphia.

Kelihatannya, Pemerintah AS tidak bakal memenuhi permintaan itu, karena mereka menganggap Gulen dan organisasinya bukan teroris. Kenapa semua tindakan seperti di atas dilakukan Erdogan? Ini tak lain pula karena parlemen yang dikuasai partainya (AKP) menyetujui langkah yang dilakukan sang Presiden.

Atas dasar itu, Presiden Erdogan memberlakukan keadaan darurat selama tiga bulan, mengeluarkan undang-undang dan ketentuan hukum lain, menetapkan jam malam dan melarang pertemuan umum.

Dengan demikian, kudeta yang gagal menjadi blessing bagi Erdogan. Itu memberikan kesempatan sangat baik bagi Erdogan untuk membersihkan Turki dari anasir yang membahayakan kekuasaannya.

Karena itu, terdapat kalangan cendekiawan Turki sendiri dan pengamat asing yang menyatakan, "kudeta yang gagal itu merupakan rekayasa Erdogan untuk kian memperkuat otokratismenya".

'Aksi pembersihan' yang dilakukan Presiden Erdogan, hampir tidak mendapat tantangan dari kalangan masyarakat Turki sendiri, termasuk kaum oposisi. Keadaan ini bisa dipahami, karena jika mereka mempersoalkan-apalagi menentang-langkah Erdogan, bukan tidak mungkin mereka kemudian juga menjadi sasaran pembersihan.

Pemerintah negara Muslim seperti Indonesia juga diam seribu bahasa. Alasannya klise, Indonesia memiliki kebijakan luar negeri untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain.

Karena itu, hanya kalangan Barat, baik pemerintah atau lembaga advokasi HAM dan demokrasi, yang berulang kali memperingatkan Erdogan agar tidak melakukan tindakan yang termasuk ke dalam kategori pelanggaran HAM dan perusakan demokrasi.

Dalam perspektif komparatif dengan Indonesia, krisis demokrasi Turki juga banyak terkait dengan kelumpuhan masyarakat madani atau masyarakat sipil (civil society).

Jika di Indonesia masyarakat sipil, khususnya berbasis Islam seperti ormas Islam nonpolitik dan LSM advokasi, terus bertahan sejak masa kebangkitan nasional hingga sekarang, sebaliknya, di Turki telah lama lumpuh.

Kelumpuhan masyarakat madani bermula sejak terus menguatnya Republik Turki dengan ideologi Kemalisme-ideologi sekularisme yang tidak bersahabat dengan agama (religiously unfriendly ideology). Sebaliknya, di Indonesia, dasar negara, yang sering juga disebut sebagai ideologi negara, adalah Pancasila yang merupakan religiously friendly ideology,bersahabat dengan agama, terutama lewat sila pertamanya, 'Ketuhanan Yang Maha Esa'.

Militer Turki secara konvensional merupakan garda utama sekularisme Kemalisme. Erdogan dengan basis kekuatan AKP yang 'Islamis' berhasil memangkas kekuasaan militer. Sebaliknya, militer Indonesia juga merupakan garda Pancasila, tetapi jelas tidak sendiri, karena para pemimpin Islam dan ormas-ormas Islam negeri ini juga setia pada Pancasila.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement