Ahad 15 May 2016 06:00 WIB

Duka Yuyun, Luka Kita

Asma Nadia
Foto: Republika/Daan
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, Media nasional selama beberapa hari terakhir diwarnai pemberitaan seputar kasus kejahatan seksual yang menimpa Yuyun, gadis berusia 14 tahun yang diperkosa dan dibunuh oleh sekelompok pemuda di Bengkulu. Visum menunjukkan, korban tetap diperkosa meskipun telah dalam keadaan tak bernyawa. Bahkan, ada pelaku yang mengulang perbuatannya hingga dua sampai tiga kali. Mereka lalu mengikat dan membuang tubuh tanpa busana korban ke jurang sedalam 5 meter hingga tertutupi dedaunan.

Peristiwa tragis ini harus mencetuskan perubahan berarti agar tidak berulang. Pendek kata, dengan tinta merah yang tebal harus digarisbawahi: tidak boleh ada Yuyun berikutnya.

Apa yang menimpa Yuyun mengingatkan kembali betapa perempuan sangat rentan menjadi korban kekerasan. Hukuman atas pelaku pemerkosaan yang tergolong ringan harus diganti pemberian hukuman dalam jangka waktu maksimal, misal, dipenjara seumur hidup. Bahkan, mungkin hukuman mati, apalagi dalam kasus-kasus pemerkosaan hingga menyebabkan hilangnya nyawa. Khusus bagi para pedofil, mengingat ini adalah penyakit, ide pengebirian dan pemasangan cip bisa benar-benar dipertimbangkan untuk diberlakukan. Itu agar mereka tidak bisa lagi mencari mangsa dalam sisa hidupnya.

Penegakan asas keadilan tersebut sangat penting. Jika selama ini korban tindak pemerkosaan yang mengalami trauma, trauma setimpal atau lebih berat sangat layak diberikan pada pelaku. Terlebih, sebagian besar pelaku memiliki kecenderungan mengulangi kejahatannya ketika merasa aman-aman saja alias luput dari hukuman yang menjerakan.

Komnas Perempuan mencatat, ada 16.217 kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2015--disinyalir jumlah ini akan berlipat jika semua korban berani melaporkan diri. Kasus serupa akan terus bertambah seandainya ancaman hukuman terhadap pelaku tidak setimpal--atau tidak menimbulkan efek jera.

Apa yang menimpa Yuyun juga kembali menegaskan bahaya miras (minuman keras). Para pemerkosa siswi Sekolah Menengah Pertama 5 Satu Atap Padang Ulak Tanding ini menghabiskan empat liter tuak sebelum melakukan perilaku tak bermoralnya. Sekali lagi, terbukti miras tidak hanya merugikan diri sendiri dengan 200 macam penyakit yang diakibatkannya, tapi berpotensi besar membahayakan lingkungan sekitar.

Miras juga sudah sering menjadi cikal bakal perusakan, gangguan umum, penganiayaan, pemerkosaan, bahkan pembunuhan. Karena itu, sebelum pemabuk membuat kerusakan, seharusnya sudah ada tindakan hukum untuk kegiatan mabuk sendiri, terutama mereka yang mengonsumsi minuman ilegal. Setidaknya, hukuman akan membuat mereka yang mengonsumsi miras tercatat dan merasa terawasi. Tanpa harus lebih dulu menunggu mereka berbuat onar, baru ditindak. Sebab, bisa jadi akan sangat terlambat dan korban sudah jatuh.

Peredaran minuman keras pun semestinya diawasi lebih ketat. Perilaku pemimpin dan tokoh juga harus dijaga. Jangan dibolehkan mempertontonkan diri sedang meneguk minuman keras di depan umum. Bagi pihak yang mempunyai kontrol diri kuat hal ini barangkali tidak berbahaya, tapi sebaliknya bagi mereka mereka yang masih labil.

Terkait ini, seorang teman pernah mengomel, "Orang Jepang kalau mabuk tidur, tapi kalau di sini mabuk dikit aja sudah lupa diri dan mengganggu orang!"

Sebagai catatan, sekalipun tidak mengganggu, mabuk tetap perbuatan yang merugikan. WHO (World Health Organization) mencatat setiap tahun, lebih dari tiga juta orang meninggal akibat alkohol. Setiap 10 detik, terjadi kematian disebabkan pengaruh miras. Angka kematian akibat konsumsi alkohol ini jauh di atas gabungan korban AIDS, TBC, dan kekerasan. Di Amerika, tercatat setiap harinya 30 orang menemui ajal karena pengemudi yang terpengaruh alkohol, atau setara dengan satu orang tewas setiap 51 menit. Setiap tahun, terdapat 80 ribu orang yang meninggal akibat alkohol. Dan, jika ditotal, jumlah itu jauh lebih besar dari korban perang Vietnam.

Di beberapa negara, seperti India dan Cina, sejak mengalami kemajuan ekonomi, konsumsi alkohol tercatat meningkat. Tanpa pembatasan peraturan yang ketat, kecenderungan yang sama akan terjadi juga di Indonesia. Terbukti minuman beralkohol sudah tersedia di minimarket yang tersebar ke pelosok. Jika dibiarkan tanpa pengawasan ketat, jelas sangat membahayakan.

Apa yang menimpa Yuyun juga mencuatkan kembali kesadaran akan bahaya pornografi. Pemerkosa Yuyun mengakui sering menyaksikan video porno. Secara biologis, sebagian besar remaja yang sudah mengalami baligh di usia 13 tahunan, memiliki kebutuhan biologis. Usia baligh dalam Islam adalah ukuran dewasa. Aktivitas positif, ajaran agama, dan pendidikan yang kuat mampu meredam kecenderungan itu sampai usia menikah. Akan tetapi, rangsangan video porno dan pornografi akan menghancurkan benteng rapuh anak-anak muda.

Jika akses video porno dari luar lewat internet tetap tidak bisa dihambat, setidaknya LSF dan KPI bisa turut mengawal tayangan televisi dan film karya anak bangsa agar terhindar dari selipan unsur pornografi dan dekadensi moral.

Hal tragis yang menimpa Yuyun, saya yakin sangat mengusik para orang tua di Tanah Air untuk mengkaji lagi fungsi dan peran orang tua, keluarga, agama, serta pendidikan. Anak-anak akan semakin jauh dari nilai moral jika tidak diberi bimbingan. Pendidikan dan proteksi yang tepat semoga mampu menjaga generasi muda agar tidak terjerumus menjadi pelaku kejahatan atau menjadi korban.

Yuyun telah pergi. Banyak doa juga rasa bersalah di semesta ini mengiringi. Ketika manusia tidak menghormati dan mencabik-cabik tubuh kecilmu, semoga Allah menerimamu dengan pelukan cinta. Semoga duka karena kepergianmu yang berdenyut di batin keluarga, Allah ganti dengan surga-Nya. Maafkan tersebab kelalaian kami, kepedihan dan duka ini menimpamu. Semoga kepergianmu menjadi momentum kekuatan yang memberi kami daya maksimal berbuat lebih banyak untuk melindungi, menjaga, dan mendidik anak-anak Indonesia.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement