Kamis 12 May 2016 06:00 WIB

Tunisia, Indonesia, dan Demokrasi

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID, Tunisia dan Indonesia memiliki sejumlah kesamaan sekaligus perbedaan. Keduanya merupakan negara dengan penduduk mayoritas Muslim; dan kedua negara juga sama-sama mengalami transisi dari otoritarianisme menjadi demokrasi.

Namun, juga segera jelas, transisi Indonesia berjalan relatif lebih damai dan lebih damai. Sementara itu, Tunisia masih terus bergulat dengan transisi yang sulit secara politik dan ekonomi sejak 2011.

Kemunculan gelombang demokrasi di negara-negara Muslim, khususnya sejak Indonesia mengalaminya pada 1998, masih menjadi salah satu subjek pokok dan penting di kalangan para ahli, baik di dunia Muslim sendiri maupun di Barat. Pergolakan politik yang terus berlanjut di banyak negara Muslim di Timur Tengah dan Asia Selatan membuat kajian dan pembahasan tentang berbagai faktor yang dapat mendorong atau sebaliknya menghalangi pertumbuhan demokrasi di dunia Muslim kembali membuat para ahli memberikan perhatian khusus.

Indonesia dan Tunisia sejauh ini merupakan pengecualian di tengah gejala umum di banyak negara berpenduduk mayoritas Muslim lain yang tidak menunjukkan tanda meyakinkan bagi terkonsolidasinya demokrasi. Banyak negara di dunia Muslim sejak dari Libya, Mesir, Yaman, Suriah, Irak, Afghanistan, atau Pakistan masih terus dilanda konflik politik dan kekerasan.

Secara komparatif, Indonesia berada paling depan dalam pertumbuhan demokrasi di antara negara-negara lain di dunia Muslim. Sedangkan, Tunisia walaupun menghadapi banyak masalah dalam konsolidasi politik dan ekonomi dalam konsolidasi demokrasinya, tetap dipandang banyak ahli sebagai satu-satunya harapan di dunia Arab.

Perspektif komparatif tentang transisi kedua negara menjadi demokrasi menjadi pembahasan konferensi tentang Islam dan demokrasi yang diselenggarakan Institut Tunisien de Etudes Strategiques (ITES) di Tunis, medio April lalu (14/4). ITES yang merupakan lembaga think tank negara, menghadirkan penulis “Resonansi” ini sebagai pembicara tunggal dengan audiens yang mencakup para pemikir dari kampus, tokoh LSM, dan pimpinan partai politik.

Menyampaikan presentasi yang sudah lazim tentang pengalaman Indonesia dengan demokrasi, seorang tokoh partai politik yang menyampaikan tanggapannya berpendapat, Indonesia memang dapat dikatakan sebagai model bagi demokrasi yang dapat berjalan seiring dengan Islam. “Tetapi, pengalaman Indonesia dalam demokrasi belum tentu dapat diterapkan di Tunisia atau dunia Arab secara keseluruhan. Bagaimana caranya?”

Naguib, seorang audiens lain menyatakan, Indonesia memang berhasil dalam mengikuti sistem politik demokrasi. Namun, pada saat yang sama, kekuatan politik Islam menjadi terpecah belah, seperti juga di Tunisia.

Pertanyaan lain dari seorang dosen perempuan, “Dibandingkan dengan Indonesia, Tunisia lebih homogen. Hanya belakangan ini saja, masyarakat Tunisia menemukan heterogenitasnya. Apa yang bisa kami pelajari dari Indonesia dalam rangka mempertahankan kesatuan?”

Menjawab komentar dan pertanyaan itu, penulis “Resonansi” ini menyatakan, Indonesia jelas mengadopsi berbagi prinsip universal demokrasi terkait sistem, lembaga, dan proses politik. Namun, dalam batas tertentu memiliki distingsinya sendiri. Distingsi itu terkait banyak dengan realitas agama, masyarakat, dan sosial-budaya yang ada.

Karena itulah, dalam konsolidasi demokrasi, perlu kontekstualisasi dan indigenisasi demokrasi. Dengan begitu, demokrasi menjadi kontekstual dan relevan dengan masyarakat negara tertentu. Jika tidak, demokrasi dianggap sebagai sesuatu yang asing, yang diimpor dari Barat, sehingga tidak sesuai dengan realitas sosial-budaya dan agama masyarakat setempat. Akibatnya, demokrasi dipandang sebagai tidak kompatibel dengan Islam.

Demokrasi memberikan kebebasan beraspirasi dan berserikat. Karena itulah, terjadi eksplosi aspirasi politik yang diwujudkan dalam bentuk partai politik, yang jumlahnya sering sangat banyak. Eksplosi partai politik ini jika tidak disikapi bijak, dengan segera memunculkan konflik politik yang dapat berkepanjangan.

Menghadapi gejala seperti itu, perlu peningkatan toleransi bersama, akomodasi, dan kompromi. Tanpa kesediaan saling akomodasi dan kompromi, aktualisasi politik dapat menjadi zero-sum-politics --politik “menang-menangan”, yang sering disebut sebagai politik pokok-e.

Untuk mencegah terjerumusnya kekuatan politik ke dalam politik semacam itu, perlu penguatan dan pemberdayaan kekuatan nonpolitik yang ada dalam masyarakat. Kekuatan itu biasanya disebut sebagai “masyarakat madani” atau “masyarakat sipil” (civil society).

Indonesia kaya dengan berbagai organisasi dan kelompok masyarakat madani. Jika Tunisia dapat sukses dengan demokrasinya, masyarakat madaninya harus ditumbuhkan dan diberdayakan. Inilah tantangan yang juga tidak mudah bagi negara-bangsa Tunisia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement