Selasa 19 Apr 2016 21:08 WIB

Hasyim Muzadi Menolak Jokowi Meminta Maaf ke Korban '65

Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikam Hasyim Muzadi berbicara saat konfrensi pers di kantor ICIS, Jakarta, Rabu (3/12).
Foto: Tahta Aidilla/Republika.
Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikam Hasyim Muzadi berbicara saat konfrensi pers di kantor ICIS, Jakarta, Rabu (3/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Sekjen International Conference of Islamic Scholars (ICIS) KH Hasyim Muzadi menolak desakan agar Presiden Joko Widodo  atas nama negara meminta maaf kepada korban ‘65.

Desakan yang muncul dari Simposium Korban ’65 tersebut dinilai membebani Presiden Jokowi baik secara politik, keamanan, atau ekonomi. “Bahkan bisa terjadi keguncangan,” katanya di Jakarta, Rabu (19/4).      

Menurut anggota Dewan Pertimbangan Presiden ini, jika yang dimaksud "negara" yang meminta maaf kepada korban ‘65, tentu salah alamat sebab negara tidak bersalah.

Yang bisa disalahkan adalah rezim pemerintahan ketika mereka berkuasa. Ia pun menegaskan negara bersifat permanen sedangkan rezim bersifat temporer.

Bila dikembalikan ke era presiden Soeharto, para pelaku dan korban ’65 juga sudah banyak yang wafat. Ia mempertanyakan ke manakah tujuan permintaan maaf. “Mengapa kejadian zaman pemerintahan Pak Harto harus Pak Jokowi yang meminta maaf?,” tuturnya.

Ia mengingatkan desakan tersebut belum tentu menguntungkan kelompok Neo-Komunis. Ini lantaran mayoritas bangsa terutama umat Islam dan umat beragama lain (kecuali agama yang suka kolaborasi dengan atheisme) akan berbalik mendesak posisi Neo-Komunis di berbagai even demokrasi seperti pilkada, pilpres, pileg, dan lain sebagainya.

Padahal, Pengasuh Pesantren Alhikam, Depok Jawa Barat itu mensinyalir, saat ini,  tokoh-tokoh Neo-Komunis telah bebas menjabat di mana-mana tanpa ada yang mengungkap.

Jika terjadi konflik, justru langkah investigasi akan dilakukan terhadap gerak-gerik mereka. “Lalu siapa yang untung? Tentu gerakan global yang akan menambah perpecahan di Indonesia,” paparnya.

Mantan ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini, melihat tuntutan permintaan maaf hanya dilakukan melalui pendekatan HAM.

Korban ’65 langsung atau tidak langsung berkaitan dengan peristiwa G30SPKI. Mestinya sudut pandangnya harus seimbang antara HAM dan pemberontakan. ”Jika seimbang baru diketahui pelanggaran HAM sebagai ekses.”

Lebih lanjut, Hasyim mengkritik penerapan HAM yang belum ‘di-Pancasilakan’. HAM yang masuk ke Indonesia sekarang secara konstitusional berdasarkan UUD 45 (pascaamandemen) tercantum tidak boleh melanggar Pancasila, melanggar agama, serta etika lokal.

“Pada akhirnya, Komnas HAM kita masih kalah dengan LSM HAM yang dipandu dan dibiayai gerakan HAM internasional tersebut.”

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement