Selasa 19 Apr 2016 11:42 WIB

Waktu Berkualitas adalah Kunci Pendidikan Anak di Dalam Keluarga

Farah Octavia bersama keluarga Gen Halilintar.
Farah Octavia bersama keluarga Gen Halilintar.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Farah Octavia, S.Psi*

Siapakah keluarga yang saat ini menjadi sorotan banyak media?

Yang dengan jumlah anaknya yang banyak (11 anak) akan tetapi masing – masing anggota keluarga tidak terabaikan bahkan mampu berkarya sesuai dengan minat dan bakatnya.

Yang dengan home-schooling-nya terbentuklah pribadi kuat, santun, dan bersahaja sekaligus mencetak pebisnis–pebisnis muda yang handal hingga mampu melakukan travelling ke lebih dari 100 negara di dunia. Ya, mereka adalah keluarga Gen Halilintar.

Keluarga ini adalah contoh nyata bahwa generasi muda dapat dicetak dengan baik apabila ayah dan ibunya memiliki karakter sebagai seorang pendidik. Kalaupun ternyata bukan seorang pendidik setidaknya sebagai orang tua harus memiliki keinginan untuk “mau dididik” dalam arti mau dan terus belajar bagaimana menjadi orang tua yang baik sekaligus dapat menginspirasi anak – anaknya untuk berada di jalan kebaikan apapun bidang profesi yang kelak akan dijalani.

Menjadi orang tua yang baik dan menginspirasi itu tidak ada sekolahnya. Namun bersyukurlah kita saat ini ada beberapa orang yang peduli dan berusaha mencerdaskan para orang tua Indonesia lewat seminar dan forum parenting yang trendnya semakin berkembang belakangan ini. Mengapa seminar dan forum parenting menjadi trend belakangan ini?

Karena nyatanya saat ini banyak kita temui, anak – anak Indonesia yang menjadi siswa/siswi di SD, SMP bahkan SMA yang notabene sudah menjalani pendidikan bahkan ada yang menghabiskan sebagian besar waktunya disekolah malah melakukan perbuatan–perbuatan seperti orang yang tidak terdidik. 

Di awal April lalu, kita dikejutkan oleh seorang sisiwi dari kota Medan yang berani membentak seorang polwan yang menghentikan aksi konvoinya bersama teman–teman selepas Ujian Nasional (UN). Polwan tersebut menilang mereka dikarenakan pintu bagasi belakang mobil siswi itu terbuka. Alih-alih meminta maaf kepada polwan, siswi tersebut berani mengancam dengan berbohong kepada aparat bahwa ia adalah anak seorang jenderal polisi yang memiliki kuasa untuk menurunkan jabatan sang polwan. Kurang lebih kata-katanya adalah seperti ini, "Mau dibawa (mobil saya)? Oke. ibu siap-siap kena sanksi turun jabatan ya. Aku juga punya deking (backing). Oke bu, saya tidak main – main ya. Saya tandai Ibu. Saya anak Arman Depari.”

Sontak saja sikap arogansi nan tercela siswi tersebut mendapat teguran keras dari masyarakat yang mengetahui perilakunya. Lalu sebagian masyarakat pun bertanya: Apakah ini adalah potret akhlak dari generasi muda Indonesia? Apakah ini hasil akhir dari pendidikan sekolah yang telah ditempuh kurang lebih 12 tahun? Bukankah puncak dari ilmu adalah kebijaksanaan dalam bersikap?

Ternyata sebagai orang tua perlu kita sadari bahwa kita tidak bisa menyerahkan sepenuhnya pendidikan akhlak kepada pihak sekolah. Dengan dalih sibuk beraktivitas, orang tua merasa sudah cukup untuk menyekolahkan anaknya di sekolah–sekolah yang dianggap terbaik di kotanya tanpa harus memberikan lagi pendidikan akhlak secara intensif kepada anak di rumah. Pendidikan moral yang ada di kurikulum sekolah hanya bisa menyentuh siswa paling banyak di tataran “kognitif’ saja. Bahkan mungkin hanya sekedar untuk menjawab soal agar nilai mereka bagus  di atas kertas. Nilai–nilai moral tersebut akan dapat lebih dihayati dan dilaksanakan jika orang tua juga ikut andil dalam mendidik anaknya di rumah.

Saat anak hadir di dunia, orang tua seharusnya menyadari bahwa anak adalah anugerah sekaligus tanggung jawab bagi mereka. Sejatinya orang tua adalah adalah pendidik utama bagi anaknya. Proses mendidik orang tua terhadap anaknya akan efektif apabila ada ikatan dan kepercayaan yang dibentuk terlebih dahulu. Tanpa adanya rasa terikat dan percaya, omongan dan petuah orang tua hanyalah akan dianggap angin lalu oleh anak. Ikatan dan kepercayaan ini adalah dasar terbukanya komunikasi yang efektif antara orang tua dan anaknya.

Belajar dari keluarga Gen Halilintar, ternyata sesibuk apapun mereka selalu akan tersedia waktu–waktu yang berkualitas untuk keluarga setiap harinya. Saat pagi hari mereka namakan waktu berkualitas itu 'morning briefing' yang dilakukan untuk menyelaraskan hati dan pikiran masing–masing anggota keluarga dan untuk mengetahui macam–macam aktivitas yang akan dilakukan anggota keluarga di hari itu.  

Sedangkan di malam hari, waktu berkualitas lainnya mereka namakan 'night review' dilakukan untuk mensyukuri segala aktivitas yang sudah dilakukan dan untuk meninjau ulang aktivitas masing–masing anggota keluarga. Di sesi ini juga digunakan sebagai ajang curhat bagi masing–masing anggota keluarga. Sebagai keluarga, mereka akan berusaha mencari solusi apabila ada masalah yang tengah dihadapi oleh salah satu anggota keluarga.

Inilah waktu berkualitas yang dapat menyatukan ikatan dan membangun rasa percaya anak kepada orang tuanya begitupun sebaliknya. Jika kedua hal tersebut sudah terbangun, maka orang tua dapat pula memberikan petuah, nilai–nilai moral maupun menyampaikan harapan kepada anaknya.

Begitu banyak ujian dan tantangan yang dihadapi oleh generasi muda saat ini. Sebut saja tayangan media, internet, narkoba, seks bebas, dll.  Namun itu semua dapat dihalangi dan diatasi melalui aksi penguatan nilai- nilai moral dari rumah. Tentu saja petuah atau nilai- nilai moral yang telah disampaikan harus diiringi pula dengan keteladanan nyata dari perilaku yang ditampilkan orang tua itu sendiri. Karena orang tua adalah model bagi anaknya dan anak adalah peniru ulung orang tuanya.

*(Konsultan Psikologi Forum Sahabat Keluarga dan Rise Management & Consulting)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement