Ahad 17 Apr 2016 20:32 WIB

YLBHI Desak Pemerintah Batalkan Reklamasi Teluk Jakarta

 Kapal kayu melintas berlatar belakang pembangunan reklamasi pantai pulau G, Muara Baru Jakarta, Rabu (6/4).
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Kapal kayu melintas berlatar belakang pembangunan reklamasi pantai pulau G, Muara Baru Jakarta, Rabu (6/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mendesak pemerintah membatalkan proyek reklamasi Teluk Jakarta. Reklamasi tersebut dinilai melanggar hak asasi manusia nelayan tradisional dan masyarakat pesisir.

Pengurus YLBHI Wahyu Nandang Herawan dalam pernyataan tertulis di Jakarta, Ahad (17/4) menilai penghentian sementara reklamasi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menandakan pemerintah setengah hati dalam menegakkan hak asasi para nelayan tradisional. "Padahal secara jelas dan nyata telah menimbulkan banyak persoalan dan di sisi lain telah ditolak oleh nelayan," kata Wahyu.

Berdasarkan catatan YLBHI pelanggaran HAM yang terjadi pada proyek reklamasi Teluk Jakarta di antaranya adalah hak atas hidup, hak hidup tenteram, aman, damai, bahagia sejahtera dan lahir batin. Juga hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak atas pekerjaan yang layak, hak atas bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak, dan hak atas informasi.

"Posisinya jelas bahwa jika reklamasi ini diteruskan maka Pemprov DKI Jakarta beserta Pemerintah Pusat telah melanggar hak asasi manusia," kata pengacara publik YLBHI ini.

Menurut Wahyu, di dalam proyek reklamasi itu terjadi ketimpangan struktural antara negara, korporasi, dan rakyat. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menggunakan kekuasaannya untuk menindas nelayan tradisional dan masyarakat pesisir dengan mengeluarkan kebijakan untuk menundukkan rakyat demi kepentingan korporasi.

"Nelayan tradisional (rakyat) dilemahkan oleh keduanya (korporasi dan Pemprov DKI) dengan menutup semua akses. Ketimpangan struktur inilah yang menyebabkan terjadinya pemiskinan struktural, pelanggaran HAM, dan pelanggaran hukum," kata dia.

Dia mengatakan, pemiskinan struktural terjadi ketika nelayan tradisional tidak dapat melaut dan mencari ikan karena aksesnya ditutup. Hal ini berakibat nelayan tidak mampu untuk mencukupi kebutuhannya.

Wahyu mengatakan pengelolaan wilayah pesisir harus berpedoman pada prinsip open acces. Yaitu masyarakat berhak untuk mengakses secara terbuka wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan prinsip common property yakni nelayan memiliki hak hukum untuk memanfaatkan, melindungi, mengelola dan melarang orang luar memanfaatkannya.

"Oleh sebab itu, sudah selayaknya dan dibenarkan bahwa para nelayan melakukan penyegelan pulau karena pengelolaan pesisir dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok tertentu dan aksesnya tertutup monopoli," kata Wahyu.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement