Jumat 15 Apr 2016 06:00 WIB

Sindrom Jerman

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Jerman kalah dalam Perang Dunia I. Sebagai bangsa dengan ras Arya, mengaku sebagai ras terunggul, tentu kekalahan itu memukul harga diri mereka. Kekalahan itu membuat Jerman terpuruk. Kekaisaran runtuh digantikan sistem republik. Mereka harus melepaskan sebagian wilayahnya dan membayar biaya perang pada PD I ke sekutu. Mereka juga dilarang mengembangkan teknologi militer dan pengembangan pasukan. Hal ini sesuai dengan Perjanjian Versailles. Dengan semua kenyataan itu, ekonomi Jerman terseok-seok. Pada 1923, pasukan Prancis dan Belgia menyerbu kawasan industri Jerman karena mereka telat membayar biaya perang. Keterpurukan Jerman makin menjadi ketika dunia dilanda Great Depression, krisis global, pada 1929.

Nazi, partai yang didirikan pada 1919, sebenarnya bukan partai favorit rakyat Jerman. Suaranya selalu kecil setiap ikut pemilu. Namun krisis global melambungkan Nazi. Pemilu 1930, perolehan suara Nazi mulai signifikan, 18,3 persen. Dua tahun kemudian, ketika ada pemilu lagi, Nazi meraih 37,4 persen. Setahun kemudian Hitler, seorang kopral yang awalnya disusupkan pemerintah untuk memata-matai Nazi, menjadi kanselir (kepala pemerintahan). Keberhasilannya dalam pembangunan ekonomi membuat Nazi makin berkibar. Bahkan rakyat semacam memberi cek kosong kepada pemerintahan Nazi untuk melakukan apa saja berkat lahirnya undang-undang yang mengizinkan pemerintah untuk membuat aturan apapun.

Di Indonesia, krisis ekonomi 1997 kemudian meruntuhkan rezim Orde Baru. Lahir era reformasi, dengan sistem pemerintahan yang mengalami banyak perubahan. Jargon penumbangan Orde Baru adalah KKN; korupsi, kolusi, dan nepotisme. Namun kini semua itu justru kian meraksasa. Jurang kaya-miskin juga makin menganga. Penguasaan aset ekonomi makin memusat. Era militeristik telah berganti ke era plutokrasi, berkuasanya para orang kaya. Dua-duanya sama kejamnya dan sama ganasnya. Kita bisa menyaksikan tentara dan polisi telah dipakai penguasa dan korporasi untuk menindas orang miskin dan tak berdaya. Karena itu sebagian cendekiawan ada yang bilang bahwa reformasi telah gagal.

Kenyataan ini kemudian memunculkan lelucon “rindu Soeharto”. Tentu saja itu tidak benar. Tapi poinnya adalah rindu ketegasan. SBY yang berlatar militer pun dua periode menjadi presiden. Ternyata itu bukan solusi. Lalu publik mencari antitesisnya. Jokowi terpilih. Ia dinilai mewakili rakyat dan juga disebut bersih. Ahok yang sering berkata kasar, kotor, dan jumawa pun dimaafkan demi sikapnya yang tegas dan dicitrakan bersih. Jika orang lain bersikap seperti Ahok tapi tak bercitra bersih pasti sudah habis di mata publik. Situasi ini seolah Indonesia sedang mengidap “Sindrom Jerman”. Galau dan ingin cepat bangkit. Apalagi didera berkali-kali krisis ekonomi: 2005, 2008/2009, dan 2014. Tak peduli apapun, berikan cek kosong pada figur yang dinilai memberi harapan.

Seorang kawan bercerita bahwa saat ini Indonesia sedang disuguhi 'kepemimpinan tiang bendera'. Hanya satu yang menjulang, lainnya cuma dibutuhkan untuk baris berjajar dan memberi hormat. Orang-orang di sekitarnya hanya dibutuhkan untuk memperkuat dirinya. Inilah jenis kepemimpinan transaksional. Pemimpin jenis ini menggunakan posisinya untuk tawar menawar dan sekelilingnya sebagai para pihak. Ia menguatkan dirinya dengan melemahkan orang lain sehingga dirinya paling istimewa dan orang lain sebagai bermasalah. Pemimpin kategori ini meyakini kekuasaan sebagai satu-satunya sumber kekuatan, bersifat mutlak, dan tak bisa dibagi. Yang paling parah, ia melihat horizon pada eranya saja. Tak melihat jauh ke depan. Kesuksesan hanya dilihat di eranya saja, karena itu ia tak mempertimbangkan penguatan institusi dan masa depan. Kepentingan utamanya adalah kesuksesan dirinya.

Lawan dari kepemimpinan transaksional adalah kepemimpinan transformasional. Pemimpin jenis ini akan menggunakan posisinya untuk mengubah keadaan. Orang-orang sekelilingnya merupakan sumberdaya yang beragam yang harus didorong untuk memberikan yang terbaik. Primus interpares, yang terbaik di antara yang baik. Karena itu ia menguatkan dirinya dengan menguatkan orang sekelilingnya. Ia menjadi arranger dan konduktor suatu orkestra. Semua pihak menjadi istimewa. Karena itu ia melihat kekuasaan hanya sebagai salah satu saja dari sumber kekuatan. Yang lebih penting lagi adalah visi, pengetahuan, tata nilai, keberanian, dan kemampuan untuk melakukan perubahan. Karena itu kekuasaan dibagi ke sekelilingnya, membangun kekuatan bersama. Ia akan melihat horizon jauh ke depan. Ia membangun institusi dan sesiapapun.

Pemimpin dan yang dipimpin selalu bersifat dialektis. Hitler tak kan lahir jika publik tak menghendakinya. Kepemimpinan tiang bendera hanya bisa lahir dari rahim masyarakat suporter, yang hanya bisa dukung atau caci. Bila ada pesaing, maka para suporternya akan segera mendelusi dan mendeligitmasinya. Oleh karena itu, perlu langkah massif untuk mengubah situasi ini. Jika plutokrasi terkonsolidasi maka masa depan suram Indonesia sudah menunggu di depan mata. Elemen-elemen civil society harus bergerak bersama untuk melakukan penguatan masyarakat, kembali ke peran sejatinya. Di era reformasi ini mereka telah terhipnotis dan tersedot ke dalam pusaran politik. Politik seolah menjadi palu godam dan satu-satunya jalan perbaikan. Ibarat bermain sepakbola, semua berebut menjadi penyerang untuk membuat gol. Yang terjadi malah gawang sendiri yang kebobolan. Rakyat tak lagi didampingi. Mereka diterkam politisi busuk, aparat bobrok, birokrat jahat, penguasaha rakus, dan partisan yang sudah dihinggapi mata kuda. Kita menyaksikan rakyat menjadi korban keganasan dan kekejaman itu tanpa pembelaan, sedangkan elitenya lebih melihat peristiwa anti orang miskin itu dari kacamata haters and followers. Menyedihkan.

Law and order seolah yang terpenting. Padahal kesejahteraan bersama dan keadilan sosial merupakan ultimate goal UUD 1945. Pendekatan teknis dan legal formal menjadi rujukan utama. Kita menjadi kehilangan sentuhan kemanusiaan, local wisdom, dan tata sosial. Saatnya kita kembali melakukan penguatan masyarakat agar mereka bisa menghadapi ganasnya demokrasi liberal dan ekonomi neolib. Demokrasi yang sehat bersemi dalam masyarakat yang berdaya.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement