Selasa 12 Apr 2016 07:03 WIB

APBN, Tax Amnesty, dan Misteri Kasus Jumbo

Red: M Akbar
tax aamnesty.ilustrasi
Foto: tribune.com.pk
tax aamnesty.ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rudi Agung

Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan pemerintah tengah mengevaluasi APBN 2016. Skenario penyusunan rancangan APBN-P tanpa memasukkan perhitungan tax amnesty atau pengampunan pajak. DPR belum juga mengesahkan RUU Tax Amnesty (Republika Online, 16/3/2016). Tapi desakan pengesahan begitu hebat. Kenapa?

Apakah APBN bangkrut atau uang APBN tidak ada, hanya sebatas angka-angka. Sampai-sampai dorongan RUU ini bernafsu sekali. Ke mana dana BBM, dana aneka kebijakan lain yang telah lama mencekik rakyat? Padahal infrastruktur tak juga jalan. Perjalanan RUU Tax Amnesty jelas memantik pro-kontra.

Selain protes dari dalam negeri, protes juga mengaum dari bank dunia dan IMF. Jika disahkan menjadi UU, implementasinya diragukan. Indikatornya: implementasi aturan yang bobrok, tidak ada penjaminan kejujuran penarikan dana pengemplang pajak, sengkarut penegakan hukum, dan potensi kongkalikong.

Seabrek utang, pengalihan dana dari infrastruktur ke manufaktur menambah potret telanjang buruknya praktik menjalankan aturan dan pengelolaan anggaran negara. Janji "September Meroket" meleset. Sampai kini tak ada pembangunan yang jalan.

Proyek-proyek cuma gegap gempita seremoni, lalu mangkrak. Lebih sering peresmian pembangunan rezim lama. Semua diperparah kesejahteraan yang amburadul. Rakyat dicekik, angka kemiskinan naik. Perusahaan banyak gulung tikar. Janji tak ada bukti.

Jika semua memicu lahir RUU Tax Amnesty, terkesan malah lucu. Janji sebelumnya saja tidak ada yang ditepati. Subsidi sudah dicabut. Ke mana itu? Kalau dalih meningkatkan penerimaan negara dengan pengampunan pajak atau tax amnesty, mengapa tak dicoba cara lain? RUU ini semakin kental aroma akal-akalan. Simak ini:

Koordinator Divisi Monitoring dan Analisa Anggaran ICW Firdaus Ilyas menilai, wacana penghapusan pajak wujud frustrasi pemerintah mengoptimalkan penerimaan. Ia mencium aroma kepentingan. Untuk apa ada KPK dan OJK? Ada UU Tipikor, ada UU Pencegahan dan Pemberantasan Pencucian Uang.

Nah, mengembalikan dana pengemplang pajak pun diprediksi bakal jauh panggang dari api. Bukankah pemerintah telah mengantongi 6.000 wajib pajak yang menyimpan dananya di luar negeri? Mengapa tidak dibuka dan diusut dari dulu? Aturan tax amnesty ini hanya membuka kecemburuan pengusaha taat pajak.

Paradoks Panama Paper dan RUU Tax Amnesty

Baru-baru ini dunia geger dengan skandal Panama Paper. Sejumlah politisi serta presiden terlibat aliran dana haram itu. Seperti Putin, Xi Jinping, Presiden Ukraina Petro Poroshenko, sampai David Gunnlaugsson. Belakangan, dengan bocornya data itu, PM Islandia Gunnlaugsson akhirnya mengundurkan diri.

Di Indonesia diklaim ada ribuan. Nama pengusaha dan perusahaan jumbo turut disebut. Padahal itu data lama, seperti dilansir ICIJ dan dilansir Bernpuclh di laporan bertajuk: The Secret List of Off-Shore-Companies, Persons and Adresses, Part 72, Indonesia. Data itu sudah dirilis Februari 2014.

Mengapa gegernya baru sekarang ketika Panama Papers meledak? Sedangkan, untuk list Panama Papers yang lebih detail dan lengkap baru dirilis per Mei mendatang. Lucunya, dengan munculnya ribuan nama itu, pemerintah semakin mendesak pengesahan RUU Tax Amnesty.

Bukankah ini paradoks? Pertama, ribuan pemilik rekening offshore itu sudah lama muncul, jauh sebelum skandal Panama Papers mencuat. Dari nama itu terdapat firma hukum adik ketiganya Ahok, Fify Lefty. Ada pula nama bakal cagub DKI.

Saya pernah menyinggung di tulisan: "Uang Pengemplang Pajak di Negara Tax Haven" (Republika Online, 24/3/2016). Juga di tulisan: "Sumber Waras, Reklamasi dan Dinasti Ahok" (Hidayatullah, 2/4/2016). Sedangkan, Panama Papers, gabungan dari data lama yakni bocoran Mossack Fonseca per 1977 sampai 2015 sebanyak 11,5 juta dokumen.

Kedua, saat Panama Papers melibatkan pejabat negara, di luar negeri terjadi protes, pemeriksaan ketat, sampai tumbangnya PM Islandia Gunnlaugsson yang sadar diri atas kesalahannya dan akhirnya mundur. Mengapa pemerintah justru menjadikan alasan tambahan unutk mendesak disegerakannya pengesahan RUU Tax Amnesty.

Bukan diusut malah diampuni. Begitu kan logikanya. Lalu, mengapa ribuan nama itu tak diusut sejak dulu saja? Bukankah sebelum Panama Papers meledak pemerintah juga mengklaim mengantongi 6.000 nama WP pengemplang pajak.

Bahkan, potensi uang orang Indonesia yang beredar lebih dari Rp 11.400 triliun. Idealnya, dengan munculnya data itu, sejak dulu pemerintah telah bertindak cepat. Bukan diampuni via RUU Tax Amnesty dengan alasan mendongkrak pemasukan negara.

Kalau dalih mendongkrak pemasukan negara, ke mana hasil utang? Data Bank Indonesia mencatat, utang luar negeri Indonesia akhir Januari 2016 tembus di angka Rp 4.158 triliun. Tercatat pula, dua bulan pemerintah ngutang Rp 102 triliun. Ke mana uang APBN? Ke mana uang pencabutan subsidi? Ke mana anggaran itu semua?

Lalu, cadangan devisa kian menyusut akibat utang dan menahan rupiah. Cadangan devisa sepanjang Mei berkurang 100 juta dolar AS atau sekitar Rp 1,3 triliun. Bank Indonesia mencatat, per 31 Mei 2015, posisi cadangan devisa sebesar 110,8 miliar dolar AS. 

Sedangkan, cadangan devisa Indonesia per Januari 2016 tercatat turun menjadi 102,13 miliar dolar AS dari 105,9 miliar dolar AS pada Desember 2015. Penurunan diklaim salah satunya dipicu jatuh tempo obligasi global. Membayar utang, tapi utang lagi.

Penurunan cadev ini apa akan mengikuti jejak Cina. Cadev Cina tercatat berkurang 99,5 miliar dolar AS ke 3,23 triliun dolar AS pada Januari 2016. Posisi cadev Cina ini terendah sejak Mei 2012. Publik semakin bingung dengan pengelolaan uang negara.

Ironinya, geliat pembangunan tidak ada tapi kebutuhan hidup rakyat pun semakin ditekan menganga. Sampai-sampai aturan BPJS dibuat menyesakkan dada. Pengangguran di mana-mana.

Publik semakin terkejut melihat laporan kekayaan harta menteri. Urutan lima besar:

1. Andi Amran Sulaiman/mentan/4 November 2014/harta Rp 330.800.543.352 dan 4.342 dolar AS;

2. Puan Maharani/menteri koordinator bidang PMK/ 31 Oktober 2014/harta Rp 159.263.656.466 dan 30.670 dolar AS;

3. Thomas Trikasih Lembong/mendag/30 September 2015/harta Rp 940.864.466 dan 10.019.188 dolar AS;

4. Rini M Soemarno/BUMN/4 Desember 2014/harta Rp 107.960.303.397 dan 55.711 dolar AS;

5. Rudiantara/kominfo/21 Januari 2015/harta Rp 63.376.688.955 dan 93.191 dolar AS.

Luar biasa. Subsidi rakyat dicabut, harta menteri bikin kepala rakyat cenat cenut. Lalu, APBN sengkarut. Salamuddin Daeng dari Pusat Kajian Ekonomi Politik UBK menilai turunnya target pendapatan dan pengeluaran APBNP 2016 pertama kali dalam sejarah penyusunan APBNP. Seluruh asumsi penerimaan dalam APBN 2016 tidak tercapai. Penurunan target itu jelas menunjukkan kegagalan pemerintah.

Penerimaan pajak memang menjadi instrumen penopang utama penerimaan negara, sekitar 80 persen. Tetapi bukan berarti mengandalkan pengampunan pajak. Sebab, apa iya tax amnesty menjamin menyelesaikan masalah target pajak? Faktanya, penegakan hukum sangat lemah. Tak perlu jauh-jauh, dugaan kasus Ahok saja masih tak jelas.

Pemerintah berdalih RUU Tax Amnesty perlu disahkan untuk menuntaskan program pengampunan pajak agar mengejar target pajak. Sekilas, masuk akal. Apalagi target penerimaan pajak 2016 sudah direvisi dari Rp 1.360,2 triliun menjadi Rp 1.226,94 triliun.

Tetapi, adalah rahasia umum, banyak aturan yang dijadikan alat bancakan kongkalikong. Data-data di atas menunjukkan paradoks dan keanehan pengelolaan anggaran negara dan penegakan hukum. Dalam pencucian uang saja masih ada penyalahgunaan APBN dan APBD. Padahal, varian aliran dana gelap setiap tahun terus meningkat.

Data Global Financial Integrity menunjukkan, Indonesia tercatat sebagai negara kedelapan di dunia yang memiliki nominal aliran dana gelap terbesar. Nomor satunya masih dipegang Cina. Simak perincian Global Users of Illicit Money Ranks di bawah ini:

1. China leads with $1.39 trillion;

2. Russia with $1.05 trillion;

3. Mexico with $528.44 billion;

4. India with $510.29 billion;

5. Malaysia with $418.54 billion;

6. Brazil with $226.67 billion;

7. Thailand with $191.77 billion, and;

8. Indonesia with $180.71 billion.

Ujung Jalan RUU Tax Amnesty

Dari paparan ini, siapa yang menjamin bila aturan pengampunan pajak disahkan, dana pengemplang pajak bisa ditarik? Apa dananya belum berubah menjadi aset properti dan investasi lain atau berpindah tempat?

Negara yang sukses menerapkan tax amnesty hanya dihitung jari. Indonesia, dengan penegakan hukum yang semakin diragukan publik, mau menerapkan pengampunan pajak? Semoga DPR tidak mengesahkannya.

Sebab, jangan-jangan ujung jalan RUU ini sekadar kamuflase mengampuni BLBI, Century, segambreng misteri kasus superjumbo. Sekaligus kongkalikong memalak fee dari dana gelap yang diparkir di tax haven untuk modal Pilkada. Ah, kamu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement