Jumat 08 Apr 2016 06:00 WIB

Republik Suporter

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Suporter sepak bola, secara ekstrem, cuma punya dua aturan: dukung atau caci. Mendukung apa pun yang dilakukan tim kesayangan dan mencaci apa yang dikerjakan tim lawan.

Ekstremitas penggambaran ini akan tampak jika dua klub itu menjadi seteru abadi. Untuk contoh di Indonesia saat ini adalah antara pendukung Persija dan Persib. Di level internasional adalah antara pendukung Real Madrid dan Barcelona. Dulu di Inggris antara pendukung Liverpool dan Manchester United. Mereka tak hanya saling mengejek, tapi juga bisa adu fisik.

Ada indikasi bahwa politik Indonesia memasuki medan politik suporter. Mendukung yang kita ingini dan mencaci yang kita tolak. Tak penting substansi karena yang penting adalah saya berada di sisi mana. Pada tahap berikutnya adalah siapa yang paling banyak kerumunannya. Mereka inilah yang menjadi pemenangnya.

Gejala politik fans club ini mulai terasa sejak kehadiran media sosial (medsos). Kehadiran Facebook, Twitter, dan lain-lain-untuk publik yang lebih terbatas, saling kenal, dan lebih berkualitas juga terjadi di medsos, seperti Whatsapp, Blackberry Messenger, dan lain-lain-yang semacam membuat semua orang bisa terhubung.

Tak mesti kenal dan tak mesti beridentitas jelas. Dia bisa berada di seberang lautan, tapi juga bisa tetangga di sebelah rumah. Terjadi demokratisasi ruang publik. Diskusinya relatif tak memerlukan moderator. Mirip kerumunan, tapi tercatat.

Di awal kehadiran medsos-dengan netizen-nya-diharapkan menjadi alternatif demokratisasi pendapat dan informasi. Karena itu, lahir citizen journalism, semua orang bisa menjadi wartawan. Hal itu seiring dengan mudahnya membuat portal-portal berita di internet.

Mereka ini-citizen journalist ataupun netizen-diharapkan bisa menjadi penyeimbang terhadap “media resmi” yang dimiliki korporasi dan pemodal. Media resmi sering distigma telah kehilangan independensinya karena telah menjadi alat pemiliknya, untuk kepentingan politik ataupun bisnis. Namun, keleluasaan dunia internet ini-baik melalui medsos maupun portal-portal berita-telah membuat arus alternatif ini memasuki fase yang membahayakan dirinya.

Media sosial telah melahirkan buzzer, yakni orang yang bisa memengaruhi opini publik karena memiliki pengikut yang banyak. Buzzer ini dipercayai dan didengar opininya serta membuat orang lain meresponsnya.

Kita mengenal sejumlah nama yang terkenal di dunia medsos. Awalnya, perusahaan melihat ini sebagai peluang untuk berpromosi secara terselubung. Para buzzer juga mulai melihat dirinya bisa efektif memengaruhi pilihan dan opini politik para pengikutnya.

Sebagaimana di dunia “nyata”, omongan dari mulut ke mulut bisa menyebar dan memengaruhi publik. Di dunia medsos gejala itu disebut viral, semacam virus yang berbiak cepat. Karena sifat teknologi informasi yang kalkulatif, maka efek viral itu bisa dihitung. Lengkap dengan data psikografi dan demografinya.

Akhirnya, medsos telah menjadi alat politik yang efektif. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa penduduk Indonesia berusia muda dan salah satu pengguna medsos yang tertinggi di dunia.

Sesuatu yang menggiurkan pasti mengundang penyimpangan. Para buzzer ini sebagian menjadi “pemain bayaran.” Mereka juga menciptakan akun-akun hantu-satu orang bisa memiliki banyak akun dengan nama yang berbeda-beda. Mereka juga bisa mengorganisasi buzzer lain untuk menjadi subagen. Mereka menjadi semacam pasukan, yang kita kenal sebagai cyber troop atau cyber army.

Di mana letak penyimpangannya? Pertama, mereka tidak secara jujur membuat disclaimer bahwa dirinya adalah juru kampanye si X. Kedua, kehadiran akun hantu membuat keriuhan percakapan menjadi semu. Ketiga, untuk mendukung nada percakapan agar seirama dengan gol yang hendak dicapai mereka akan memblok akun yang menyuarakan pendapat berbeda. Kadang dibiarkan ada satu-dua untuk sengaja di-bully, sedangkan yang lainnya diblok.

Fenomena politik suporter tak hanya menimpa dunia cyber, tapi sudah menjadi gejala umum. Pollster-para penyelenggara jajak pendapat, akademisi, artis, dan figur-figur pesohor lain-juga telah kehilangan sikap fair.

Kita pernah diingatkan oleh Gus Dur tentang “intelektual tukang.” Kritik pedas itu ditujukan untuk seorang akademisi yang diduga disewa oleh pemerintah untuk memengaruhi pendapat umum. Saat itu kita beramai-ramai mengecamnya. Namun, kini hal itu menjadi gejala lumrah. Tentu ini suatu kemunduran. Meski tak diketahui secara terbuka, dari bisik-bisik kita tahu bahwa dia disewa oleh si Y, misalnya.

Tak ada yang salah dengan lembaga jajak pendapat, tapi tiadanya disclaimer bahwa dia disewa oleh seseorang atau institusi tentu menghadapi problem etis. Hal yang sama juga menimpa artis, akademisi, intelektual, wartawan, dan figur-figur sohor serta berpengaruh lainnya.

Mereka sebenarnya hanyalah pemain bayaran, bahkan terlibat dalam power play itu sendiri. Ada kelompok politik atau cukong di belakangnya. Akhirnya, para pemegang kuasa dan dana juga yang menjadi pengendalinya.

Tumbuhnya politik suporter yang seperti ini membuat ruang publik terdistorsi. Politik suporter telah membuat kesadaran yang terbangun menjadi termanipulasi. Namun, kita akui bahwa kita tak bisa melawan arus zaman. Hanya, pada zaman apa pun kejujuran dan fairness merupakan nilai-nilai yang tak pernah berubah.

Dalam 10 tahun, kita pernah diharu biru politik polling. Kini kita sedang masuk ke politik suporter. Perubahan yang begitu cepat. Namun, baju apa pun akan pantas jika kita menyepakati nilai-nilai yang menjadi basis hidup kita.

Demokrasi memang mensyaratkan kesetaraan, tapi demokrasi sejati hanya bisa tumbuh dari sikap fair dan jujur. Demokrasi tak bisa hidup dari persembunyian. Demokrasi adalah sistem yang dibangun di ruang terang.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement