Senin 04 Apr 2016 06:00 WIB

Tahukah Anda, Siapa Ketua MUI Sekarang?

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Pertanyaan itu sudah saya ajukan ke puluhan kenalan dan kolega. Termasuk ke sejumlah pengurus masjid, ormas dan para aktivis Islam. Saya menganggap mereka bisa mewakili masyarakat Islam yang, di negeri ini, merupakan mayoritas. Lalu, apa jawaban mereka?

Kalau dirata-rata, dari sepuluh orang mungkin hanya seorang yang jawabannya benar. Atau bahkan angkanya lebih besar lagi. Dua puluh dibanding satu. Dari dua puluh orang, yang menjawab benar hanya satu. Termasuk jawaban untuk pertanyaan ‘siapa Ketua Umum PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama)?‘  Juga siapa ‘Ketua Umum PP (Pengurus Pusat) Muhammadiyah?‘ NU dan Muhammadiyah merupakan dua organisasi kemasyarakatan yang mempunyai massa paling besar di negeri ini.

Sungguh memprihatinkan. Ada yang menjawab Ketua Umum MUI (Majelis Ulama Indonesia) adalah KH Amidhan. Atau salah satu nama berikut: KH Dr Quraish Shihab, KH Mustofa Bisri, KH Mustafa Yaqub, dan seterusnya. Ketika ditanya tentang Ketua Umum PBNU, kebanyakan menjawab KH Hasyim Muzadi atau KH Mustofa Bisri. Sedangkan Ketua Umum PP Muhammadiyah, sebagian besar mereka menjawab: Prof Dr Din Syamsuddin.

Bahkan ada yang menjawab Ketua Umum MUI dijabat Jusuf Kalla. Memang, Pak JK yang sekarang wakil presiden juga menjabat sebagai pemimpin ormas Islam, tapi itu Dewan Masjid Indonesia.

Bila masyarakat umum, terutama umat Islam, tidak tahu siapa Ketua Umum MUI, Ketua Umum PBNU, dan Ketua Umum PP Muhammadiyah, serta pengurus inti dari ketiga ormas keagamaan besar itu, lalu bagaimana ‘nasib’ fatwa-fatwa yang mereka keluarkan? Saya khawatir bahwa fatwa MUI, serta keputusan hukum Bahtsul Masail NU dan Majelis Tarjih Muhammadiyah akan dianggap sepi. Dalam arti fatwa-fatwa mereka kurang mendapatkan perhatian yang seharusnya alias kurang diikuti oleh masyarakat.

Maafkan saya bila lancang. Maafkan mereka jika tidak tahu. Permintaan maaf terutama ditujukan kepada Ketua Umum MUI KH Ma’ruf Amin, Ketua PBNU KH Said Aqil Siraj, dan Ketua Umum PP Muhammadiyah Dr H Haedar Nashir. Bukan lantaran kapasitas keilmuan mereka yang kurang memadai. Coba, siapa yang meragukan kedalaman ilmu dan kealiman tokoh-tokoh sebesar mereka?

Yang terjadi adalah telah dan sedang berlangsung perubahan besar-besaran di masyarakat. Saya menyebutnya sebagai ‘revolusi sosial’. Revolusi sosial yang diakibatkan oleh perkembangan IT (Information and Technology) oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Kemajuan IT yang telah menyebabkan semuanya ‘serba online’. Dari web, blog, Twitter, Facebook, Instagram hingga Youtube dan Path.  

Sekian puluh tahun lalu, atau katakan 20-30 tahun silam, yang namanya kiai, ulama, ustaz, ajengan, tuan guru, atau panggilan lain untuk para orang alim dan berilmu, adalah ‘segalanya’ dalam kehidupan di masyarakat. Pasangan suami-isteri ingin memberi nama anak yang baru lahir datang ke kiai. Orang tua yang  mau menikahkan anaknya minta pendapat ke ulama. Orang mau bangun rumah, minta didoakan ajengan. Ketika anak sakit, orangtua membawanya ke ustaz. Para pegawai negeri yang ingin karirnya moncer konsultasinya ke para tokoh agama dan masyarakat. Orang yang ingin usahanya lancar lebih dulu minta diberkahi kiai. Dan, seterusnya.

Di akhir tahun 1980-an, ketika mengawali karir sebagai wartawan, saya ditugasi untuk meliput acara Majelis Semaan Alquran di Kediri. Majelis ini dipimpin tokoh besar di Jawa Timur yang dipanggil Gus Miek. Nama aslinya KH Hamim Tohari Djazuli (1940-1993). Ia adalah seorang ulama besar NU, seorang sufi dan ahli tarekat. Ia adalah pendiri Pondok Pesantren Al Falah, Mojo, Kediri, Jawa Timur.

Gus Miek memimpin Majelis Semaan Alquran, yang pengikutnya puluhan atau bahkan ratusan ribu di Tanah Jawa. Jadwal rutin untuk menghadiri majelis itu di berbagai kota selalu menunggu kiai kontroversial ini. Acara Majelis Semaan Alquran biasanya berlangsung dari pagi hingga tengah malam. Diawali dengan lantunan ayat-ayat suci Alquran dari awal juz hingga khatam pada sore menjelang malam. Yang melantunkan ayat-syat suci Alquran adalah para hafid secara bergantian. Mereka duduk di panggung. Sementara para jamaah yang berjubel di pelataran di bawah tenda duduk tafakkur mendengarkannya.

Menjelang malam Gus Miek dan rombongan datang dengan dikawal mobil polisi. Mereka langsung masuk ke ruang utama kediaman tuan rumah. Di sana, dengan duduk bersila di karpet, para tokoh dan undangan sudah duduk menunggu. Ternyata itulah ruang konsultasi.

Sebelum memberi ceramah kepada ribuan hadirin pada malam itu, Gus Miek membuka praktek konsultasi sekitar 1 jam. Yang dikonsultasikan oleh para hadirin bermacam-macam. Dari yang mengadukan isterinya yang mandul, karir yang mandeg, bisnis yang sulit, hingga minta disuwuk agar disembuhkan dari penyakit berkepanjangan.

Di masa orde baru dan di awal-awal periode reformasi, kiai dan ulama bahkan menjadi rebutan para politisi. Para pemimpin parpol berebut untuk mendapatkan restu. Apalagi setelah reformasi ada puluhan parpol yang running ikut pemilu. Maklumlah, kiai dianggap banyak pengikutnya. Bila kiai memberi restu kepada partai A, maka puluhan ribu atau bahkan ratusan ribu diharapkan akan mengamini di belakangnya.

Pendek kata, kiai, ulama, ustad, ajengan dan para alim adalah tempat bertanya masyarakat. Bukan hanya terbatas dalam masalah keagamaan, namun juga menyangkut persoalan-persoalan dunia. Termasuk dunia politik. Tepatnya dukungan politik. Namun, itu dulu, bukan sekarang.

Kini, lihatlah!  Pasangan muda yang menjelang punya anak sudah siap dengan nama. Nama itu dari ‘kiai lain’. Bukan kiai atau ulama yang kita kenal selama ini. Namanya ‘Kiai’ Yahoo dan ‘Ustaz’ Google.

Ya, internet sudah banyak mengambil alih peran dan fungsi yang dulu domainnya para kiai, ulama, ustad, dan seterusnya. Bukan hanya nama anak. Namun, juga hal-hal lain. Dari masalah doa, shalat, bagaimana menghitung zakat, hingga cara berhaji dan seterusnya. Dari pengobatan penyakit, karir, usaha, bisnis hingga bagaimana cara berkebun dan berternak. Dari mencari jodoh, membina keluarga harmonis, hingga kiat mencari kebahagiaan.

Ya, dunia internet -- dari web, blog, Twitter, Facebook, Instagram, hingga Youtube dan aplikasi online lainnya -- telah mengubah banyak hal dalam kehidupan kita. Bukan hanya di dunia bisnis, tapi juga sosial-kemasyarakatan. Atau tepatnya kemajuan IT telah menyebabkan munculnya revolusi sosial, termasuk dalam masalah keberagamaan masyarakat.

Di dunia baru online, masyarakat mempunyai banyak pilihan. Berbagai pendapat dan pandangan berseliweran di dalam satu genggaman. Berbagai fatwa tinggal pilih. Termasuk dari lembaga atau ulama di luar negeri sekalipun. Akibatnya masyarakat pun lebih bebas untuk memilih. Fatwa yang sesuai dengan hati nuraninya akan diambil. Sebaliknya, fatwa yang tak berkenan cukup diabaikan. 

Pada waktu yang sama, revolusi sosial yang diakibatkan oleh kemajuan IT ini juga telah menggerus ketokohan para ulama, kiai, ajengan, tokoh agama, dan seterusnya. Kini, bertanyalah pada kolega dan teman-teman Anda, siapakah kiai atau ulama yang menjadi panutannya? Sebagian besar, bisa dipastikan, akan bingung menjawabnya. Alias tidak mempunyai kiai atau ulama panutan yang menjadi rujukan dalam kehidupan sehari-hari.

Inilah dunia baru kita. Dunia informasi tak terbatas yang hanya dalam satu genggaman. Dunia baru yang tidak bisa kita tolak kehadirannya. Dunia baru yang semakin menjauhkan umat dari kiai atau ulama berikut fatwa-fatwanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement