Senin 28 Mar 2016 08:35 WIB

Napak Tilas Gerakan Mahasiswa di Era Reformasi-Revolusi

Aksi Mahasiswa (ilustrasi)
Foto: Edi Yusuf/Republika
Aksi Mahasiswa (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Rizky Fajrianto (Ka. Dept Sospol BEM UNJ 2016)

Gerakan mahasiswa di Indonesia adalah kegiatan aktif kemahasiswaan yang ada di dalam maupun di luar perguruan tinggi dilakukan untuk meningkatkan kecakapan dan peningkatan, intelektualitas, kapabilitas dan kemampuan kepemimpinan para aktivis yang terlibat di dalamnya.

Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, gerakan mahasiswa seringkali menjadi cikal bakal perjuangan nasional, seperti yang tampak dalam lembaran sejarah bangsa. Ketika meneropong gerakan pemuda khususnya mahasiswa di Indonesia abad ke-19, seperti di awal tahun 1908 sosok pemuda bernama Budi Utomo mampu menghembuskan setiap nafasnya untuk membangkitkan semangat pemuda.

Sejarah yang tak akan pernah hilang dari gerakan mahasiswa yaitu Gerakan 1998 menuntut reformasi dan dihapuskannya korupsi, kolusi dan nepotisme pada 1997-1998, lewat pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa, akhirnya memaksa Presiden Soeharto melepaskan jabatannya.

Lalu, saat ini. Mengapa mahasiswa yang dahulu dengan gemilang menyingkirkan rezim Soeharto, tidak banyak menghasilkan tokoh politik nasional atau pimpinan negara saat ini? padahal pemuda dan mahasiswalah yang memberikan kepemimpinan dan energi dalam setiap perubahan penting disepanjang sejarah Indonesia serta berani tampil menjadi social control dalam kebijakan tokoh politik nasional. Mengapa sekarang tidak?

Dahulu para mahasiswa bersama rakyat yang telah berhasil melengserkan Soeharto setelah 32 tahun memimpin pada mei 1998, tidak mampu turut menyingkirkan orang-orang dalam lingkaran orde baru saat ini.

Mereka tidak menghasilkan tokoh populis yang menuntun agenda besar revolusi nasional bersama rakyat. Akibatnya gerakan mobilisasi massa yang begitu besar, yang telah dibangun lama dibajak oleh tokoh konservatif dan figur yang tak banyak membuat perubahan dan hanya menciptakan pencitraan. Sehingga agenda reformasi tak mampu mendorong perubahan besar, karena masih tetap bergentayangan dan ketergantuan di pusat-pusat pengambilan keputusan.

Hari ini setelah hampir 18 tahun masa reformasi, banyak sekali kegundahan rakyat terhadap aktivisme gerakan Mahasiswa. Mitos mahasiswa sebagai agent of change menjauh dari realita yang ada. Para mahasiswa lebih senang dan bangga jadi juru tepuk tangan di acara-acara TV atau duduk manis di pusat perbelanjaan atau di tempat nongkong modern yang begitu gemerlap dan jauh dari kesulitan hidup rakyat kecil.

Di sana mereka dapat leluasa berbicara tentang artis idola, film populer serta tren atau mode pakaian terbaru, dan tak lupa mencibir setiap kali ada demo yang memacetkan jalan atau tak terima ketika upah buruh naik yang membuat para buruh dapat hidup layak. Di sisi yang lain gerakan mahasiswa dalam organisasi kemahasiswaan cenderung tersandera dengan isu-isu elit dan virus merah.

Peran mahasiwa sebagai Agent of change, Iron Stock, Social Control dan Moral Force menjadi pertanyaan besar saat ini. Mereka seringkali terjebak pada romantisme masa lalu, seperti seorang ABG yang ditinggal kekasihnya kemudian gagal move-on. Prestasi bagi mereka adalah ketika berhasil membuat event besar dengan mendatangkan artis papan atas. Kalau begitu apa bedanya mahasiswa dengan event organizer (EO)?

Coba hitung berapa banyak organisasi mahasiswa yang tetap berada di rel awalnya untuk mengasah para intelektual mudanya yang mampu memperjuangkan kehidupan rakyat dan mengkritisi penguasa? Tidak banyak, namun itu benar adanya.

Menyampaikan gagasan dan pembelaan jelas dilindungi oleh konstitusi. Kemerdekaan menyampaikan pendapat tersebut sangat penting untuk dijamin karena merupakan sarana warga negara untuk mempertahankan hak asasinya sebagai rakyat.

Perasaan rakyat termaktub dalam sanubari mahasiswa. Ketika rakyat susah maka mahasiswa merasakanya. Sesungguhnya mahasiswa itu adalah rakyat, jika terdapat peraturan internal dari suatu instansi, universitas, ataupun perusahaan yang melarang penyampaian pendapat di depan umum, tentunya peraturan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Gerakan mahasiswa juga harus belajar dari perjuangan gerakan mahasiswa pada masa sebelumnya. Mereka harus bersikap tegas dan taktis dengan berbagai kajian dan tidak hanya riuh dengan selebrasi politik pada zaman politik modern di era kepemimpinan Revolusi Mental saat ini.

Tidak hanya bergerak dalam dunia maya seperti dengan gerakan petisi online, akan tetapi bergerak dalam aksi nyata dengan melakukan bentuk pernyataan sikap.

Artinya, gerakan mahasiswa selain berkutat dengan teori, mereka harus turun ke massa rakyat melalui strategi live-in dengan melakukan aktivitas sosial-politik demi menciptakan kesadaran politik pada massa dan keyakinan atas kekuatannya.

Melakukan berbagai kajian dan membentuk opini publik menjadi penting untuk memperkuat argumen dan memperluas kesadaran massa khususnya menjadi pencerdasan untuk Rakyat Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement