Senin 21 Mar 2016 06:00 WIB

Dunia pun Belajar dari Guru Palestina Ini!

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Kita mempunyai peribahasa ‘Guru kencing berdiri, murid kencing berlari’. Maksudnya, guru adalah teladan. Ia merupakan contoh. Kelakuan anak didik akan mengikuti perilaku sang pendidik. Bila Anda santun, para murid akan lebih santun. Jika Anda berkata kasar, murid Anda akan menghardik. Bila Anda mengumpat, anak didik akan kembali mengumpat Anda dengan umpatan yang lebih gila. Jika Anda mengajar dengan kekerasan, memukul misalnya, jangan heran bila para murid kemudian suka berantem.

Hanan al Harub, seorang guru Palestina, tampaknya sangat memahami maksud dari peribahasa kita itu. Meskipun, saya yakin, ia tidak pernah mendengar peribahasa yang dimaksudkan untuk menyindir perilaku atau perangai buruk para guru tersebut. Hanan al Harub mengajar di Sekolah Samiha Khalil di Kota al Bireh, Ramallah, Tepi Barat, Palestina.

Sebagai perempuan Palestina, ia tentu tahu betul perilaku orang-orang Arab bila sedang murka. Coba simak salah satu umpatan yang sering keluar dari mulut orang Arab di pinggiran jalan bila sedang marah, ‘’Anta ibnu sittin kalb!’’ Maksudnya, Anda, orang tua Anda, kakek-nenek Anda hingga 60 generasi di atas Anda adalah keturunan anjing. Atau ‘Yakhriq baitak (terbakarlah rumah Anda)’. Juga ‘Anta ibnu syarmuthoh’, kamu anak pelacur, dan seterusnya. Bayangkan, bila umpatan-umpatan kasar seperti itu dikatakan para pendidik di depan anak didik.

Bisa jadi permusuhan, konflik, dan ketidakharnomisan di antara orang-orang Arab di Timur Tengah itu lantaran pengaruh perangai keras dan kasar ini. Perangai kasar yang tergambar pada berbagai umpatan tidak senonoh tadi.

Hanan al Harub tampaknya paham betul mengenai perangai keras orang-orang Arab ini. Terutama di kalangan bangsanya sendiri: Palestina. Apalagi bangsa Palestina yang selama puluhan tahun telah mengalami berbagai penderitaan lantaran dijajah Zionis Israel. Hampir setiap hari mereka menyaksikan kekerasan dan kebiadaban para tentara dan warga Israel di pemukiman Yahudi di Palestina. Bahkan kekerasan itu juga muncul antarwarga Palestina sendiri.

Perbedaan sikap dalam menghadapi pendudukan Zionis Israel ternyata telah menyebabkan perpecahan di kalangan bangsa Palestina. Ada faksi Fatah. Ada Hamas. Ada pula kelompok-kelompok kecil radikal yang berkiblat ke Alqaida, ISIS, dan seterusnya. Perpecahan ini tidak jarang memunculkan konflik berdarah di antara mereka.

Sebagai pendidik, Hanan al Harub ingin melindungi anak-anak muda Palestina dari segala pengaruh buruk akibat kekerasan itu. Ia juga tidak menghendaki anak-anak Palestina yang kelak akan jadi para pemimpin bangsanya itu berperangai keras dan kasar. Intinya, ia ingin menjauhkan para anak didik dari trauma kekerasan, kemiskinan, dan ketidaknyamanan akibat dari penjajahan Israel.

Selama bertahun-tahun ia pun mengampanyekan gerakan  ‘La lil ‘unfi fi at ta’lim’ alias ‘tidak boleh ada kekerasan di dunia pendidikan’. Gerakan yang gaungnya bukan hanya di lingkungan dunia pendidikan di Palestina, namun juga telah mendunia. Apalagi setelah sebuah lembaga pendidikan internasional Inggris, Global Education Management Systems (GEMS), mengadopsi sistem pendidikan yang dikembangkan Hanan al Harub. GEMS yang berpusat di Dubai, Uni Emirat Arab, bertujuan, antara lain meningkatkan status profesi para guru.

Pekan lalu, sayap sosial dari GEMS, The Varkey Foundation, mengganjar Hanan al Harub sebagai Guru Terbaik Dunia. Ia menyisihkan para finalis The Global Teacher Prize tahun ini yang berasal dari Inggris, India, Kenya, Finlandia, dan Amerika Serikat.

Menurut GEMS, kekerasan di dunia pendidikan bukan hanya dialami anak-anak Palestina. Di berbagai belahan dunia lainnya juga terjadi. Karena itu, kampanye Hanan al Harub ‘La lil ‘unfi fi at ta’lim’  harus dijadikan model pendidikan di seluruh dunia. Al Harub pun diganjar dengan hadiah 1 juta dolar Amerika atau setara dengan Rp13 miliar.

Al Harub mengatakan, hadiah uang itu akan digunakan untuk membantu murid-muridnya. Ia yakin guru bisa mengubah dunia. ‘‘Saya bangga menjadi guru anak-anak Palestina,’’ ujarnya saat berpidato setelah menerima penghargaan dalam acara yang megah di Dubai, pada Ahad pekan lalu.

Al Harub lahir dan tumbuh di kamp pengungsi Palestina dekat Betlehem. Suatu hari, saat pulang sekolah, anak-anaknya melihat ayah mereka ditembak mati tentara Israel. Sejak itu, selama berhari-hari, anak-anaknya pun mengalami trauma berkepanjangan. Ia pun memutuskan untuk mengajar mereka bagaimana mengatasi trauma itu. Di sela-sela menangani trauma anak-anaknya, ia kemudian masuk universitas untuk mendapatkan kualifikasi sebagai pendidik. Apalagi banyak anak-anak lain yang juga mengalami trauma yang sama dengan anak-anaknya.

‘‘Saya melihat anak-anak lain mengalami trauma yang sama dengan anak-anak saya. Mereka akan tersesat kalau saya tidak mengajar mereka,’’ al Harub memberi alasan mengapa ia menjadi guru.

Al Harub akhirnya mengajar di sekolah anak-anak pengungsi di Kota al Bireh, Ramallah. Sekolah yang bernama al Madrasah Sami Khalil ini menampung anak-anak SD, SMP hingga SMA. Di sini Hanan al Harub mengawali gerakan ‘La lil ‘unfi fi at ta’lim’. Ia juga mengembangkan sistem pendidikan bahwa belajar itu menyenangkan. Tidak membosankan.  Belajar itu penuh warna. Tidak monoton. Belajar itu interaktif. Tidak monolog. Belajar itu bermain. Tidak mengerutkan dahi. Belajar itu menggairahkan. Bukan beban. Belajar itu bernyanyi. Bukan duduk membisu. Belajar itu santai. Juga serius.

Ia pun menulis buku pendidikan ‘Nal’ab wa Nata’allam’, kita bermain dan belajar. Bukunya dilengkapi dengan gambar-gambar, permainan, dan alat-alat peraga menyenangkan lainnya. Pendekatan belajar dengan metode ini dimaksudkan agar belajar itu menyenangkan. Agar anak-anak melupakan kekerasan hidup di luar sekolah. Agar mereka melupakan trauma akibat kekerasan, kemiskinan, dan ketidaknyamanan sebagai dampak dari pendudukan Zionis Israel. Al Harub tidak hanya menyediakan pendidikan, namun juga ruang kelas yang aman dan nyaman.

‘‘Saya membantu anak-anak mengatasi trauma dengan membiarkan mereka bermain. Di sekolah mereka memiliki hal-hal yang mereka tidak punyai di tempat lain. Mereka harus benar-benar merasa aman dan nyaman di sekolah. Kita semua keluarga. Kita semua satu tim.’’

Menurut al Harub, mendidik anak-anak di lingkungan yang penuh ketegangan seperti di Palestina adalah tugas yang tak mudah. Namun, katanya, hal itu justru merupakan pengalaman yang menyenangkan.

Sebagai orang yang tumbuh di kamp pengungsi dan menyaksikan kekerasan hampir setiap waktu, ia memahami betul betapa sulit kehidupan anak-anak Palestina. Mereka boleh dikata tidak mempunyai kehidupan anak-anak yang seharusnya menyenangkan. Karena itulah ia menginginkan untuk mengembalikan kesenangan masa kanak-kanak dan remaja di sekolah-sekolah Palestina.

Namun, lanjut al Harub, ada beberapa tantangan ketika ia memulai pola pendidikan yang ia inginkan. Salah satunya adalah menyamakan persepsi dengan guru-guru lain. Sebab, menurutnya, betapapun baiknya sistem dan model pendidikan, kunci keberhasilannya satu: guru. Di sini para guru tidak boleh hanya sebagai pengajar. Mereka juga harus berfungsi sebagai pendidik. Yaitu seseorang yang bisa menjadi teladan. Menjadi contoh buat para anak didik. Sebab, ketika guru kencing berdiri, maka para anak didik akan kencing sambil berlari.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement