Ahad 06 Mar 2016 10:28 WIB

Jerat Halus Propaganda

Asma Nadia
Foto: Republika/Daan
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, Apa yang terjadi jika ada pihak yang serta-merta melarang anak muda melaksanakan shalat Maghrib atau shalat lainnya? Apa yang akan kita lakukan jika ada yang melarang anak-anak mengaji setelah shalat Maghrib? Tentu saja banyak pihak akan marah, bergerak, dan melawan.

Namun, yang terjadi saat ini, banyak yang meninggalkan shalat Maghrib atau shalat fardhu bukan karena ada yang melarang. Anak-anak tidak mengaji setelah Maghrib, bukan karena tidak diperbolehkan, melainkan sebab terpaku pada sajian menarik di televisi. Dengan tenang, pemirsa, terutama anak-anak, tetap duduk di depan televisi meski azan Maghrib sejak tadi berkumandang. Ujung-ujungnya tidak sedikit yang melalaikan shalat.

Ketika ada acara pesta atau perlombaan yang melewati Maghrib, sebagian yang hadir tidak jarang melalaikan shalat. Melupakan waktu yang sangat berharga. Momen indah yang intim antara mereka dan Sang Khalik.

Jam-jam ketika anak-anak kita seharusnya mengaji, kini tersita acara prime time televisi. Tidak ada papan besar berisi larangan beribadah, tapi pengalihan yang dilakukan sedikit demi sedikit begitu halus sekaligus kuat hingga berangsur shalat pun ditinggalkan.

Apakah orang tua akan mengizinkan anaknya menyaksikan tontonan bermuatan pornografi yang mengumbar keseksian, termasuk pamer buah dada? Tentu tidak. Kenyataannya, sekarang, banyak anak yang tanpa sadar menjadi penikmat setia pornografi.

Mereka menonton televisi atau datang ke bioskop untuk mendapat hiburan. Akan tetapi, dalam tayangan tersebut, secara selintas diselipi belahan dada, tampilan seksi mempertontonkan aurat, adegan ciuman dan percintaan, yang ikut mereka serap. Anak-anak menjadi konsumen pornografi, bahkan saat ditemani orang tua, di rumah atau di bioskop. Perlahan, mereka terbiasa dan terjerumus dalam jerat pornografi lebih dalam.

Ketika perilaku menyimpang lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) masih ditentang masyarakat luas, tidak ada yang serta-merta memprotes apa yang dipercaya publik. Pelan-pelan dan dengan sabar, ide tersebut disebarkan melalui propaganda terselubung.

Awalnya, dari buku yang terbit, penelitian yang diklaim ilmiah, talkshow, lalu yang paling kuat, melalui film dan tayangan televisi. Sebut saja, serial "Friends", "Glee", "How to Get Away from Murder", "Scandal", "Young and Hungry", atau film bioskop Brokeback Mountain, The Way He Looks, I Love You Philip Morris, dan lain-lain.

Selama puluhan tahun, film dan serial populer tersebut ikut memperkenalkan betapa wajarnya cinta sesama jenis bahwa itu murni bawaan lahir. Dunia pun semakin lumrah melihat adegan ciuman sesama jenis dan sebagainya.

Setelah puluhan tahun menanamkan hal tersebut dengan lembut pada masyarakat dunia, mereka mulai memanen hasilnya. Perkawinan sesama jenis dilegalkan di banyak negara. Masyarakat akhirnya menerima. Abai dari menyadari betapa pola pikir mereka telah bergeser akibat serangan konsisten selama bertahun-tahun.

Ya, zaman sudah berubah. Jika dulu orang memaksakan kehendak dengan hukuman, kekuatan militer, dan jalan kekerasan, kini banyak yang melakukannya melalui propaganda tersamar.

Cara masuk yang halus ini sebenarnya lebih berbahaya karena akan mengendap dalam alam tidak sadar. Secara perlahan, berkala, dan intensif, akhirnya membelokkan kesadaran, menumbuhkan kecanduan. Ketika sudah terpengaruh, kita mengira bahwa itu adalah pemikiran kita, keinginan diri sendiri, padahal hasil dari investasi serangan halus yang masuk ke pikiran dan berubah jadi kebiasaan, lalu mengkristal dalam karakter.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dengan tegas melarang penampilan kebanci-bancian di televisi karena menyadari ini sebagai bentuk halus propaganda LGBT. Sesuatu yang belum dilakukan Badan Sensor Film.

Para penggiat seni yang sadar akan kuatnya soft propaganda, mulai berusaha membalik situasi. Mereka justru memperkenalkan dakwah dan ajaran Islam melalui jalur buku, novel, film, dan media kreatif lain, termasuk berprinsip untuk tidak menyelipkan konten porno dan penyimpangan homoseksual, bahkan meski sekadar lelucon ringan.

Seiring perubahan era, dibutuhkan kemasan media lain untuk menggencarkan dakwah, terutama yang ditujukan pada generasi muda yang mungkin lebih sering ke tempat hiburan daripada pengajian. Berharap semakin banyak produser dan penggiat seni yang berkomitmen dan setia dengan jalur ini.

Kembali pada semua fenomena di atas, semoga mengusik kita untuk kembali merenung dan mengkaji tugas setiap masing-masing untuk menjaga diri dan keluarga dari jeratan halus di sekitar. Bangun kewaspadaan agar diri dan keluarga yang kita cintai tidak menjadi korban propaganda samar, tapi konsisten yang merusak secara perlahan, namun pasti. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement