Senin 29 Feb 2016 06:00 WIB

Ayat-ayat Cinta, Ruwaq Jawa, dan Kunjungan Sheikh Al Azhar

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Gara-gara novel ‘Ayat-ayat Cinta’ dan ‘Ketika Cinta Bertasbih’, konon minat anak-anak muda Indonesia untuk menuntut ilmu ke Al Azhar, Mesir, pun meningkat tajam. Dari hanya sekitar 2.500 mahasiswa, setelah muncul kedua novel tersebut -- dalam bentuk cetak dan film layar lebar (2004-2007) -- jumlah mahasiswa kita yang belajar di Al Azhar menjadi lebih dari 5 ribu. Namun, kini, setelah adanya seleksi yang lebih ketat, jumlah mereka pun menyusut tinggal sekitar 4 ribuan.

Novel ‘Ayat-ayat Cinta’ (2004) dan ‘Ketika Cinta Bertasbih’ (2007) merupakan dua di antara karya sastra Habiburrahman El Shirazy. Kedua novel itu bercerita tentang romansa percintaan mahasiswa-mahasiswi Indonesia di Mesir. Berikut perjuangan berat mereka untuk meraih cita-cita menuntut ilmu dan kemudian meraih gelar akademik di lembaga pendidikan Islam tertua di dunia itu. Dua karya sastra Kang Abik – panggilan akrab alumnus Fakultas Ushuludin, Jurusan Hadis, Universitas Al Azhar --  ini juga merupakan novel percintaan pertama yang menokohkan mahasiswa Indonesia di Mesir.

Namun, minat para pemuda Indonesia untuk menuntut ilmu di universitas paling bergengsi itu tentu bukan lantaran ingin mengejar cinta dan romansa. Alasan utamanya karena Al Azhar merupakan gudangnya ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu keagamaan. Dalam bahasa pimpinan Pondok Modern Gontor, ‘‘Bila kalian ingin beribadah pergilah ke Mekah dan Madinah, bila ingin menimba ilmu pergilah ke Mesir (Al Azhar), dan jika ingin pendidikan pergilah ke Gontor.’’

Menurut Grand Sheikh Al Azhar Dr Ahmad Thayyib yang pekan lalu berkunjung di Indonesia, interaksi para penuntut ilmu dari Indonesia dengan para ulama Al Azhar sudah berlangsung sejak puluhan tahun lalu. Yaitu ketika mereka pergi haji dan kemudian menetap di Mekah dan Madinah untuk belajar kepada para ulama dan sheikh Al Azhar. 

Dalam catatan Ahmad Thayyib yang disampaikan di depan para alumni Al Azhar dan civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, pekan lalu, para pelajar Indonesia mulai menetap di Mesir pertama kali sekitar pertengahan abad ke-19. Mereka datang untuk menuntut ilmu di Al Azhar. Mereka kemudian tinggal di salah satu dari Ruwaq Masjid Al Azhar. Ruwaq adalah bangunan tambahan yang menyatu dengan masjid. Ia berfungsi sebagai tempat tinggal santri/pelajar dan sekaligus tempat kegiatan belajar mengajar.

Ruwaq di Al Azhar dinamakan berdasarkan asal pelajar masing-masing. Pada saat itu, sekitar pertengahan abad ke-19, para pelajar dari Asia Tenggara hanya dikenal sebagai Jawa. Karena itu, tempat tinggal mereka pun dinamai dengan Ruwaq Jawa.

Sejak periode Ruwaq hingga sekarang tidak putus-putusnya para pemuda Indonesia menuntut ilmu di Al Azhar. Sheikh Al Azhar menyebut banyak dari mereka yang setelah pulang ke Indonesia kemudian terpengaruh dengan gerakan dan pembaruan pemikiran Islam di Mesir seperti yang dicetuskan oleh Sheikh Muhammad Abduh dan muridnya, Sheikh Rasyid Ridho. 

Belum ada angka pasti berapa jumlah alumni Al Azhar di Indonesia. Diperkirakan berjumlah ribuan. Kebanyakan mereka mengabdikan diri dalam bidang dakwah, sosial, dan pendidikan. Di antara para alumni itu, sekadar menyebut contoh, adalah almarhum KH Abdurrahman Wahid (Presiden RI ke-4), Prof Dr Quraish Shihab (mantan menteri agama), KH Mustofa Bisri (mantan rois aam Syuriah PBNU), dan Dr KH Tuan Guru Muhammad Zainul Majdi (gubernur Nusa Tenggara Barat).

Juga tiga pimpinan Pondok Modern Gontor -- KH Syukri Zarkasyi, KH Hasan Abdullah Sahal, dan KH Dr Amal Fathullah Zarkasyi --, Dr KH Surahman Hidayat (Ketua Dewan Syariah PKS/Ketua Mahkamah Kehotmatan Dewan DPR), KH Athian Ali Dai (ketua Forum Ulama Umat Indonesia), KH Dr Azman Ismail (imam besar Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh), dan masih banyak lagi.

Dari ‘nama besar’ Al Azhar itu, tidak mengherankan bila kunjungan Grand Sheikh Dr Ahmad Thayyib selama enam hari pekan lalu disambut gegap gempita oleh umat Islam Indonesia. Selain bertemu Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, serta bersilaturrahim dengan para pimpinan MUI (Majelis Ulama Indonesia), ia antara lain juga berkunjung ke UIN (Universitas Islam Negeri) Ciputat, UIN Malang, dan Pondok Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Hampir di setiap kunjungannya ke lembaga-lembaga pendidikan itu, Thayyib menyempatkan untuk menyapa para alumni Al Azhar, yang kini bertebaran di berbagai daerah di Indonesia.

Di lingkungan Al Azhar, Grand Sheikh adalah jabatan tertinggi. Dalam bahasa Arab disebut al Imam al Akbar alias Imam Besar. Di Mesir ia cukup disebut sebagai Sheikh Al Azhar, sebuah jabatan ulama Islam Suni yang dihormati dan jabatan publik penting. Ia mempunyai otoritas tertinggi dalam pemikiran Islam Suni dan fikih. Pengaruhnya sangat besar bukan hanya di Mesir, tapi juga di seluruh dunia. Karena itu, siapa pun yang menjabat sebagai Grand Sheikh, dalam protokol Mesir ia disetarakan dengan Perdana Menteri.

Selain mempunyai otoritas dalam masalah keagamaan, Sheikh Al Azhar juga bertanggung jawab terhadap lembaga-lembaga yang dikelolanya. Termasuk wakaf-wakaf yang dikelola sebagai lembaga-lembaga bisnis yang kini menggurita. Dari perusahaan konstruksi, perhotelan, pertanian/peternakan hingga jaringan pertokoan. Hasil dari bisnis inilah yang kemudian untuk membiayai operasional Al Azhar, termasuk memberi beasiswa kepada ribuan pelajar dan mahasiswa/mahasiswi asing dari berbagai negara, di antaranya dari Indonesia.

Kini terdapat sekitar 300 ribu mahasiswa yang belajar di 72 jurusan yang ada di Universitas Al Azhar. Sedangkan yang belajar di tingkat SD, SLTP, dan SLTA berjumlah sekitar 2 juta pelajar. Semuanya gratis alias dibiayai Al Azhar.

Peran dan posisi penting Al Azhar itulah yang kini sedang dimainkan oleh Dr Ahmad Thayyib yang sejak 2010 menjabat sebagai Grand Sheikh. Apalagi dunia Islam kini sedang dihantui oleh masalah radikalisme dan terorisme, Islamophobia, gesekan Suni-Syiah, dan penindasan terhadap umat Islam di beberapa negara.

Salah satu yang dilakukan Thayyib adalah membentuk Ikatan Alumni Al Azhar Internasional. Ikatan alumni ini diharapkan bisa menyamakan derap perjuangan antara Al Azhar pusat dan para alumninya di berbagai negara yang jumlahnya puluhan ribu orang. Yaitu perjuangan Al Azhar sebagai basis Suni moderat (washatiyah), toleran, menghargai perbedaan, dan menebarkan rahmat dan kedamaian bagi dunia.

Berikutnya Sheikh Al Azhar Dr Ahmad Thayyib juga memprakarsai pembentukan Majelis al Hukama al Muslimin yang beranggotakan 14 ulama dari berbagai negara. Majelis yang dibentuk pada 2014 itu bertujuan untuk ikut menciptakan keamanan dan perdamaian dunia, terutama di negara-negara Islam. 

Ikatan Alumni Al Azhar dan Majelis al Hukama diketuai oleh Dr Ahmad Thayyib sendiri. Sedangkan di Indonesia dipimpin oleh Dr Quraish Shihab, alumnus Al Azhar yang pernah menjadi menteri agama RI.

Kunjungan enam hari Sheikh Al Azhar di Indonesia menjadi penting dalam kerangka membentuk koalisi besar para pemimpin Islam untuk membentengi umat dari radikalisme, dari pengaruh Syiah di negara-negara Suni,  dan dari paham-paham menyesatkan lainnya. Juga untuk mempromosikan bahwa Islam itu toleran, ramah, dan cinta perdamaian, namun tegas manakala umat Islam dizalimi. Karena itu, Al Azhar pun mengecam penjajahan Israel atas bangsa Palestina, penindasan Pemerintah Myanmar atas Muslim Rohingya, dan penindasan Pemerintah Cina terhadap Muslim Uyghur.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement