Jumat 26 Feb 2016 19:09 WIB

Mafia Sepak Bola Itu Memang Ada

Arif Supriyono
Foto: dok pribadi
Arif Supriyono

Oleh: Arif Supriyono

Wartawan Republika/Alumnus Unair

Presiden Joko Widodo telah memerintahkan Kementerian Pemuda dan Olahraga untuk mengkaji kemungkinan mencabut pembekuan terhadap kepengurusan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI). Sejak 17 April 2015, Menpora Imam Nahrawi telah memberikan sanksi administratif dengan tidak mengakui kegiatan keolahragaan PSSI.

Sanksi ini diberikan lantaran PSSI dianggap tidak mempedulikan peringatan pemerintah. Sebelum keluarnya sanksi itu, Kemenpora telah mengirimkan tiga kali telegram teguran agar PSSI kembali berpegang teguh pada ketentuan yang ada tentang tanggung jawab pengelolaan sepak bola serta keberadaan klub-klub yang banyak tak memenuhi kewajiban dan aturan yang berlaku.

Surat Kemenpora itu sama sekali tak mendapat tanggapan PSSI. Lembaga yang menaungi kegiatan sepak bola di tanah air ini senantiasa hanya berdalih, bahwa langkah mereka itu sudah sesuai statuta FIFA (Federasi Sepak Bola Internasional).

Dalam silang sengkarut persepakbolaan nasional, statuta (FIFA dan PSSI) memang seakan menjadi tameng yang selalu dipegang pengurus PSSI. Jika ada pihak luar yang menganggap PSSI melakukan langkah yang keliru, selalu saja dibantah, bahwa itu sudah sesuai statuta FIFA.

Saya menjadi teringat apa yang pernah diceritakan anggota Tim Transisi PSSI, almarhum Djoko Susilo. Djoko merupakan mantan wartawan Jawa Pos. Ia juga pernah menjadi anggota DPR, dosen FISIP Unair, dan duta besar di Swiss.

Ketika menjadi duta besar, Djoko pada awal Maret 2011 mendapat tugas dari menpora saat itu --Andi Alifian Mallarangeng-- agar mengklarifikasi ke FIFA soal kisruh di PSSI. Ia pun mencari tahu masalah yang membelit tubuh PSSI tersebut.

Dalam pandangan Djoko, pangkal persoalan di PSSI adalah statuta FIFA pasal 35 ayat 4 yang berbunyi, "The members of the executive committees must not found guilty of criminal offence". Djoko berpendapat, terjemahan pasal itu adalah, "Anggota komite eksekutif haruslah tidak pernah terbukti melakukan tindakan pidana."

Anehnya, ayat yang mudah dipahami itu dipelintir PSSI menjadi "anggota komite eksekutif haruslah tidak sedang ditemukan melakukan kejahatan ketika kongres”. Ini jelas merupakan manipulasi dan bahkan telah dipakai sejak 2007, saat ketua umum PSSI kala itu (Nurdin Halid) menjadi narapidana.

Rupanya PSSI hanya patuh pada FIFA kalau aturan atau statuta yang ada menguntungkan mereka. Jika statuta itu tak mendukung kepentingan mereka, maka seenaknya pula mereka memberi makna agar bisa dijadikan dalih untuk berkelit. Djoko pun mengajukan permohonan bertemu pejabat FIFA.

Djoko bahkan sempat mendamprat pengurus FIFA karena pelintiran makna atas pasal 34 ayat 4 tersebut. Ia bertanya, mengapa FIFA yang tak tahu bahasa Indonesia tidak mencari penerjemah sehingga PSSI tak seenaknya memaknai aturan FIFA? Ternyata jawaban oknum FIFA itu benar-benar semaunya,”Maaf bahasa Indonesia bukan bahasa resmi di FIFA,” kata pejabat FIFA itu.

Sungguh suatu jawaban yang aneh. Sampailah kemudian ada indikasi kuat, bahwa pejabat FIFA itu memang telah diservis oleh pengurus PSSI.  

Hasrat Djoko untuk mengungkap kebobrokan PSSI terus dilakukan. Saat mendengar FIFA akan menggelar jumpa pers di Zurich (Swiss) pada hari Kamis sore, 3 Maret 2011, tentang pelbagai persoalan sepak bola, termasuk kisruh di PSSI, Djoko mengutus dua stafnya ke acara itu.  Dua orang itu memotret seluruh wajah personal yang hadir.  

Sama sekali tak ada wajah dari Indonesia, kecuali dua staf Kedubes Indonesia tadi. Ada seorang lagi wajah dari Asia tetapi berasal dari Jepang. Padahal, Djoko menerima pesan dari Jakarta, bahwa PSSI mengirim utusan yang saat jumpa pers tersebut berada persis di depan Presiden FIFA, Sepp Blatter. Inilah salah satu bukti nyata kebohongan pengurus PSSI.

Besoknya, Jumat siang, Djoko menerima kabar dari wartawan di Jakarta, bahwa pengurus PSSI yang saat jumpa pers duduk persis di depan Sepp Blatter telah berada di Jakarta dan bercerita soal jumpa pers tersebut. Djoko ingin tertawa melihat informasi ganjil tersebut.

“Itu jelas tidak masuk akal,” kilah Djoko. Menurut dia, pesawat yang terbang malam ke Asia/Indonesia dari Zurich adalah Emirates. Pesawat itu paling cepat mendarat di Jakarta pukul 18.00. Bagaimana mungkin pengurus PSSI yang mengaku-ngaku hadir di jumpa pers FIFA itu bisa sampai Jakarta pada Jumat di siang hari. Inilah kegilaan lain dari pengurus PSSI.

Kebohongan demi kebohongan rupanya menjadi tradisi yang terpelihara dengan baik di induk organisasi sepak bola tanah air itu. Bahasa kerennya, kebohongan itu bersifat sistemik. Ini berarti, kebohongan itu bukan sekadar ulah oknum akan tetapi memang telah menjadi kebijakan mereka dalam menghadapi segala hal yang berbeda dengan kehendak atau rencana pengurus.

Ini juga menjadi bukti adanya mafia yang bekerja secara sistemik di tubuh PSSI. Saya yakin, masih ada lagi kebohongan lainnya, misalnya soal pengelolaan dana yang tak terbuka, pengaturan skor, penempatan wasit, mengabaikan persyaratan/kewajiban klub, dan sebagainya.

Mereka saling melindungi dan menjaga untuk senantiasa mengangkangi organisasi olahraga terpopuler di tanah air tersebut. Ibaratnya, satu sama lain berjibaku dan berkelindan untuk tujuan menguasai pengelolaan kebijakan persepakbolaan. Bukan tidak mungkin, ujung-ujungnya adalah uang.

Berkaitan dengan rencana untuk mencabut pembekuan kegiatan PSSI nanti, keberadaan personel semacam itu harus menjadi perhatian pemerintah dan semua pemangku kepentingan sepak bola tanah air. Tak ada artinya PSSI dihidupkan lagi dan roda kompetisi sepak bola kembali bergulir, jika orang bertabiat pembohong masih juga dilibatkan di dalamnya.

Kalau itu yang terjadi, sepak bola negeri ini bukan cuma tak bakal maju-maju namun hanya akan berkutat dan debat di masalah-masalah yang berbau manipulasi. Pemerintah, termasuk panitia ad hoc dan Tim Transisi, harus menyeleksi lagi siapa oknum yang semestinya enyah dari kancah persepakbolaan nasional serta tak pantas lagi bekerja di organisasi tersebut.

Goresan tinta merah harus lebih tebal dicoretkan pada mereka yang selama ini curang sehingga tak ada kesempatan lagi baginya untuk kembali ke panggung sepak bola nasional sebagai pengurus.

Tabiat memang susah untuk bisa dibasmi dalam waktu singkat. Bagi saya, akan lebih baik memberikan kesempatan pada orang baru daripada kembali memakai orang lama yang memiliki karakter buruk dan terbiasa sebagai pembohong.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement