Selasa 26 Jan 2016 06:00 WIB

Krisis Peradaban Arab Muslim (I) (Dalam Pandangan Khaled Abou el Fadl)

Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, Dalam Religion and Ethics, 23 April 2015, Profesor Khaled Abou El Fadl (ejaan namanya dikutip sebagaimana aslinya) menulis artikel panjang dan marah,  di bawah judul “The End of Arab Spring, the Rise of ISIS and the Future of Political Islam.” Resonansi ini sebagian besar bersumber dari artikel ini,  disertakan pula reaksi saya terhadap butir-butir tertentu yang terbaca di dalamnya.  

Abou El Fadl, seorang faqih kenamaan kelahiran Kuwait pada 1 Jan. 1953, penulis prolifik dalam masalah-masalah Islam, hukum Islam, hak-hak asasi manusia, dan krisis peradaban Arab Muslim kontemporer. Puluhan artikel telah ditulisnya di samping 14 buku penting tentang berbagai masalah Islam dan dunia modern. Sikapnya yang kritikal terhadap faham-faham keislaman yang sedang berkembang dan terhadap aspek-aspek buruk modernitas telah menempatkan tokoh ini sebagai penulis kontroversial, baik di kalangan umat Islam mau pun di kalangan sarjana Barat yang mencurigainya. Sekitar tahun 2007 saya pernah mengikuti ceramahnya di kantor PP Muhammadiyah Jakarta. Belum semua karya dan artikelnya sempat saya baca. Beberapa tahun yang lalu, saya telah pula mengulas pandangan El Fadl tentang Peta Umat Islam di ruang ini.

Sebelum mengawali artikel di atas, Abou El Fadl sengaja mengutip pernyataan penulis Arab lain Mahmoud Khaled Mahmoud berikut ini: “Para pemimpin Arab yang korup, pemerintahan Barat yang rakus dan rasis, massa Arab yang tergoncang berat, dan kelompok badut (buffoons) yang angkuh yang mengklaim berbicara untuk Islam, semuanya bersekongkol untuk menghabisi Musim Semi Arab.” Artikel Abou El Fadl sebenarnya ingin menjelaskan secara lebih rinci pernyataan Khaled Mahmoud yang tajam dan konklusif itu.

Pernyataan ini sedang membidik tiga aktor utama sebagai penyebab pokok kegagalan Gerakan Musim Semi Arab yang kemudian menempatkan massa Arab pada situasi luka parah dan jiwanya terpukul berat: pemimpin Arab yang korup, pemerintahan Barat yang rakus dan rasis, dan kelompok ISIS yang angkuh sebagai badut, tetapi berbicara atas nama Islam. Saya berharap tuan dan puan yang berminat untuk membaca keseluruhan artikel Abou El Fadl di atas yang dengan mudah bisa diakses lewat internet.

Apa tujuan mulia dan agung yang hendak diraih oleh Gerakan Musim Semi Arab yang dimulai dari Tunisia bulan Desember 2010 itu? Menurut Abou El Fadl, tujuan itu tersimpul dalam perkataan magis ḥurriyya (kebebasan) yang bisa bermakna lain bagi lain orang—tetapi setidak-tidaknya, perkataan itu berarti bebas dari penindasan, penghisapan, korupsi, dan lepas dari keberadaan sebagai hamba. Massa Arab mungkin sudah ratusan tahun tidak lagi merasakan ḥurriyya itu. Maka Gerakan Musim Semi Arab itu ingin merebut nilai itu kembali, tetapi masih gagal, dipukul oleh tiga aktor jahat utama di atas. Abou El Fadl menulis: “Tetapi Musim Semi Arab itu adalah ibarat janin pada sebuah klinik aborsi; ia tidak pernah mendapatkan peluang.” Bumi Arab sudah terlalu gersang bagi berkembangnya gagasan-gagasan segar yang menempatkan warga negara sebagai manusia merdeka, sebab kemerdekaan itu sudah ratusan tahun hanyalah milik penguasa yang mendapatkan pembenaran syar’i dari ‘ulama.

 

Mengapa Gerakan Musim Semi Arab harus mengalami keguguran? Abou El Fadl menjawab: “Karena sebuah Timur Tengah yang demokratis tentulah akan menjadi sebuah habitat yang papa bagi keberlangsungan rezim-rezim militer parasit dan kekuasaan syekh-syekh minyak yang tengik (putrid oil sheikhdoms), yang membasmi  ruang apa pun yang sehat bagi pengembangan lembaga-lembaga kewargaan yang dapat memperkuat dan memelihara pertumbuhan nilai-nilai kewargaan. Rezim-rezim itu tidak mungkin menguasai warga negara. Mereka hanyalah dapat menguasai para budak.” Ironisnya, iklim perbudakan ini diberi baju Islam, alangkah nistanya!

 

Terasa di sini, ungkapan yang digunakan Abou El Fadl keras sekali dan sarkastik. Tetapi sebagai seorang pemikir Arab yang tercerahkan, ya, itulah ungkapan yang mewakili realitas pahit di kawasan yang resmi beragama Islam yang tidak sepi dari kegaduhan itu. Penulis-penulis Arab semisal Mahmoud Khaled Mahmoud, Abou El Fadl, Bassam Tibi, Fatima Mernissi, Hassan Hanafi, Ali Ahmad Said (dipanggil Adonis), Azizah al-Hibri, dan nama-nama lain, adalah di antara pemikir yang berani menelanjangi diri sendiri, demi sebuah masa depan Arab yang egalitarian, adil, demokratis, dan berdaulat, bukan sebuah Arab yang dikuasai oleh para despot yang kelam yang memperalat agama untuk tujuan-tujuan duniawi.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement