Senin 25 Jan 2016 06:00 WIB

Mayjen Agus SB, Bahrun Naim, dan Cyberterrorism

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Bagi Bahrun Naim, terduga otak teror bom Thamrin, Jakarta, tampaknya tidak terlalu sulit untuk menggerakkan "para koleganya" untuk melancarkan serangan bom. Jarak yang jauhnya ribuan kilometer dan bahkan lintas negara bukan menjadi penghalang bagi mereka untuk saling berhubungan dan merencanakan mufakat jahat. Bahrun kini berada di Suriah, bergabung dengan kelompok teroris yang menamakan diri Islamic State of Iraq and Syria alias ISIS. Sedangkan para koleganya, sebagai pelaksana serangan bom di Thamrin, berada di Indonesia. 

Jarak yang jauh kini sudah didekatkan oleh media online/internet. Dalam istilah Panglima Kodam (Pangdam) VII Wirabuana, Makassar, Mayjen TNI Agus Surya Bakti (Agus SB), media internet adalah secepat tangan kita menekan satu "klik". Artinya, dengan sekali "klik", Bahrun Naim yang berada di Suriah bisa mengorganisasi, "klik" yang lain memberi pengarahan, dan "klik" berikutnya memerintahkan "para anak buahnya" di Indonesia untuk melancarkan serangan teror. 

Apalagi, Bahrun dikenal sebagai ahli IT, hacker, pengajar, dan motivator alias menguasai IT dan sekaligus mengisi kontennya. Lihatlah, begitu blog pribadinya diblokir beberapa saat setelah terjadinya bom Thamrin pada 14 Januari, pada 18 Januari ia sudah bisa mem-posting ulasan serangan bom Thamrin dengan judul "Nasehat untuk Penonton". "Serangan tersebut adalah bentuk qishas terhadap serangan pasukan salibis terhadap kaum muslimin di Indonesia,” tulis akun Bahrun Naim, www.bahrunnaim.site, sebagaimana dikutip sebuah media di Jakarta.

Agus SB dalam bukunya, Deradikalisasi Dunia Maya, menyebut terorisme dengan memanfaatkan internet itu sebagai cyberterrorism. Yaitu, pemanfaatan dunia maya oleh teroris sebagai media penebaran pesan, propaganda permusuhan, dan promosi tindakan kekerasan. Caranya, dengan menggunakan dunia maya untuk merilis manifesto, propaganda, pernyataan agitatif, menggalang dukungan dan penguatan jaringan, mengomunikasikan antarjaringan, dan merekrut anggota baru.

Sebagai orang yang hampir lima tahun menjabat sebagai deputi Pencegahan Perlindungan dan Deradikalisasi BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), Agus tampaknya paham betul mengenai sepak terjang kelompok-kelompok teroris. Hal ini terlihat pada empat buku yang telah ia tulis. Dua buku--Deradikalisasi Nusantara dan Deradikalisasi Dunia Maya--baru ia luncurkan beberapa pekan lalu. Sebelumnya, ia juga telah menerbitkan dua buku lainnya, Darurat Terorisme serta Merintis Jalan Mencegah Terorisme.

Menurut Agus, jaringan kelompok teroris kini sudah semakin canggih. Mereka memanfaatkan betul media online. Dalam bukunya, Deradikalisasi Dunia Maya, ia menunjukkan bagaimana jumlah dan ragam situs yang dikelola oleh kelompok-kelompok teroris dari tahun ke tahun selalu meningkat. Jika pada 1998 ada 12 situs, pada 2003 situs kelompok teroris ini sudah mencapai 2.650. Pada 2014, angka itu meningkat tajam menjadi 9.800. Pada 2016 ini diperkirakan mereka akan mengelola lebih dari 15 ribu situs.

Selain kuantitas, bentuk dan pola penyebaran terorisme di dunia maya pun semakin berkembang. Dari yang awalnya hanya melalui fasilitas website, lalu memanfaatkan media interaksi, seperti pembuatan forum dan chatrooms, hingga kemudian menggunakan media sosial, seperti Youtube, Facebook, Twitter, dan platform media sosial lainnya.

Situs atau website digunakan sebagai sarana penanaman ideologi radikal lewat cara-cara argumentatif yang bersifat religius (dalil naqli). Sementara, media sosial diperuntukkan melakukan interaksi dan perluasan penyebaran informasi dan gagasan radikalisme yang sebelumnya hanya berada di website. Tahapan selanjutnya, media sosial menjadi mentor dan alat rekrutmen kader dalam jejaring sosial.

Dengan kelebihan-kelebihan yang ditawarkan dunia maya, lanjut Agus, para kelompok teroris pun sangat serius mengelolanya. Kelebihan itu, antara lain, akses yang mudah, tidak ada kontrol dan regulasi yang mengikat, audiens yang luas, anonimitas (menyembunyikan identitas), kecepatan arus informasi, dapat digunakan sebagai media interaktif, sangat murah untuk membuat dan mengelolanya, bersifat multimedia--cetak, suara, foto, dan video. Dan, yang lebih penting internet telah menjadi media mainstream.  

Menurut media al Sharq al Awsat, ISIS menggelontorkan dana yang besar untuk membangun dan mengelola media online ini. Sementara itu, hasil penelitian internal BNPT menyatakan, ISIS telah mengalokasikan hampir 50 persen keuangannya untuk kepentingan media, terutama online/internet, temasuk media sosial.

Di Indonesia, menurut Agus SB, pertumbuhan situs radikal cukup masif. Dari yang terang-terangan berafiliasi dengan jaringan teroris hingga yang secara samar-samar dan sembunyi-sembunyi memberi dukungan kepada gerakan radikal-terorisme. 

Berdasarkan fakta lapangan, jelas jenderal bintang dua yang sejak Oktober 2015 menjabat sebagai panglima Kodam (Pangdam) VII Wirabuana, Makassar ini, media internet ini bahkan mereka manfaatkan untuk penggalangan dana dengan melakukan tindak kriminal. Mereka menyebutnya sebagai cyber fa’i (perampokan lewat dunia maya). Hal ini pernah terjadi pada kasus peretasan situs investasi online speedline yang berhasil mengumpulkan dana sebesar Rp 7 miliar untuk kepentingan teroris kelompok Poso.

Dengan data seperti itu, bisa jadi cyberterrorism lebih berbahaya daripada terorisme konvensional. Dalam terorisme konvensional, proses rekrutmen dan indoktrinasi terjadi di ruang tertutup melalui berbagai perantara orang terdekat. Kini, proses rekrutmen menjadi sangat terbuka. Bahkan, pertemanan yang diawali dengan perkenalan lewat online antarnegara pun dapat mengajak seseorang untuk bergabung dalam jaringan teroris.

Menurut Agus SB, radikalisasi sekarang tidak lagi membutuhkan tempat dan ruang rahasia dan tertutup. Proses seseorang menjadi radikal bisa terjadi di ruang belajar, kamar tidur, ruang sekolah, dan ruang santai lainnya. Dengan kata lain, siapa pun yang bisa mengakses internet, mereka bisa terpengaruh dengan situs dan media sosial kelompok radikal. Anak-anak muda kini bisa menjadi radikal tanpa sepengetahuan orang tuanya, dengan hanya berdiam diri di dalam kamar ditemani komputer dan gadget-nya.

Yang perlu diwaspadai, lanjut Agus SB,  adalah fakta bahwa generasi muda merupakan salah satu target kelompok teroris yang paling rentan di dunia maya. Kehadiran informasi internet yang cocok dengan gaya hidup anak muda menjadi sangat efektif dimanfaatkan oleh kelompok teroris dalam penyebaran paham mereka. Data APJII (Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia) menunjukkan, 70 persen pengguna jasa layanan internet adalah generasi muda berusia 16-40 tahun. Bahkan, Aljazeera.net menyebutkan, sekitar 25 ribu orang dari negara-negara Eropa yang telah bergabung dengan ISIS rata-rata berusia sekitar 16-30 tahun. Sebanyak 80 persen dari mereka direkrut lewat media internet.

Sayangnya, meskipun cyberterrorism sangat berbahaya, seperti telah dipertontonkan oleh Bahrun Naim dan koleganya, aspek legislasi sebagai dasar hukum tidak berjalan sinergis dan dinamis, seperti dinamika terorisme yang terjadi. Fenomena radikalisme dunia maya, seperti diulas Mayjen Agus SB dalam buku Deradikalisasi Dunia Maya, semustinya menjadi momentum yang tepat bagi bangsa ini untuk melihat kembali (merevisi) peraturan dan perundang-undangan yang berkaitan dengan penanggulangan terorisme. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement