Rabu 13 Jan 2016 17:24 WIB

Menakar Resuffle Kabinet Jokowi-JK

Pelantikan menteri hasil reshuffle Kabinet Kerja di Istana Negara, Jakarta, Rabu (12/8).
Foto: Antara/Yudhi Mahatma
Pelantikan menteri hasil reshuffle Kabinet Kerja di Istana Negara, Jakarta, Rabu (12/8).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Roni Tabroni

(Penulis adalah Dosen Komunikasi Politik Universitas Sangga Buana YPKP dan UIN SGD Bandung)

Jauh sebelum isu resuffle kabinet jilid dua ini berhembus, gelagat kuat mencuat ketika Partai Amanat Nasional (PAN) memberikan dukungan terbuka di bawah kepemimpinan yang baru Zulkifli Hasan. Dalam pemerintahan, resufle tentu bukan hal tabu. Bagi-bagi kekuasaan dari satu sisi merupakan sesuatu yang lumrah bahkan harus dilakukan.

 

Kendati demikian, kita akan melihat fenomena politik ini dari sisi yang berbeda. Di tengah gonjang-ganjing pemerintahan Jokowi-JK yang banyak diterpa cobaan yang tidak ringan, isu profesionalisme yang didengung-dengungkan sejak awal tenggelam di tengah riuh rendahnya politik nasional yang memaksa pembagian kekuasaan secara proporsional. Setiap dukungan partai politik harus ditebus dengan kursi jabatan yang tidak murah. Sedangkan menggeser kursi yang berbasis partai politik juga sama tidak mudahnya.

Kekuasaan selalu “menelan kroban,” terutama mereka yang tidak memiliki basis dukungan kuat secara politik. Professionalisme menjadi kabur maknanya ketika berhadapan dengan kepentingan politik. Professional yang awalnya adalah orang non partai, bisa juga diklaim oleh partai politik karena di dalamnya banyak kader yang memiliki keahlian tertentu yang sesuai dengan kebutuhan kementrian yang diincarnya.

Fakta ini juga sekaligus menepis angan-angan Jokowi yang sejak awal menebar janji akan membentuk kabinet ramping. Tampak di sini Jokowi tidak begitu kuat menghadapi terpaan kepentingan politik baik itu partai pengusung maupun mitra koalisinya. Selain kabinet yang saat ini gemuk, beberapa posisi pejabat Negara juga banyak menuai kritik dari publik.

Pilihan untuk membentuk kabinet ramping ditanggapi miring oleh publik sejak awal, sebab kemenangan Jokowi-JK dihadapkan pada kekuatan seimbang dari Koalisi Merah Putih (KMP). Pilihan kabinet ramping menjadi tidak mungkin terwujud, sebab pemerintahan Jokowi-JK dipastikan tidak akan berjalan mulus, selama tidak ada perpindahan kekuatan dari partai yang bergabung di KMP untuk mendukung pemerintah. Tambahan kekuatan politik juga dibutuhkan untuk memuluskan berbagai agenda di parlemen, yang sejak awal notabene dimenangkan justru oleh koalisi KMP.

Namun, pengorbanan Jokowi-JK memang tidak ringan. Selain harus melanggar janji-janjinya sejak awal, dia juga harus beradaptasi dengan kekuatan baru dengan keragaman kepentingan yang mengikutinya. Setiap dukungan baru harus ditebus dengan sesuatu yang tidak murah. Walaupun bisa jadi akan lebih baik, namun bongkar-pasang kabinet sebenarnya isyarat ketidakmampuan seorang pemimpin dalam membangun pondasi sejak awal – sehingga dalam waktu yang relative singkat harus melakukan dua kali resufle kabinet.

Kini resuffle tinggal menunggu tanggal mainnya. Jokowi harus mencari waktu dan situasi yang tepat untuk mengeksekusinya, agar semuanya aman dan lancar. Tentu saja hal ini sesuai dengan moto PAN yaitu “berpolitik tanpa gaduh”. Moto ini juga yang berlaku dalam proses pergantian kabinet kali ini, dimana PAN relatif tidak terlalu bising, tetapi meyakinkan publik akan cara berpolitik yang efektif.

Yang menjadi soal, apakah PAN adalah partai politik terakhir yang akan mengisi posisi kabinet Jokowi-JK? Jawabannya tentu saja tergantung dari konstalasi politik yang ada. Jika Golkar pun melakukan hal yang sama, maka bukan hal yang mustahil resufle jilid tiga akan dilakukan. Begitulah selanjutnya, hingga akhirnya dunia politik ini memberikan keyakinan kepada publik bahwa pemerintah dibangun atas dasar kesepakatan para elitnya.

Atraksi politik akan tetap dinamis dan tidak akan bergerak mundur. Dia akan tetap pada perubahannya hingga akhirnya publik dipertemukan kembali dengan hajat demokrasi untuk melakukan pergantian kepemimpinan nasional. Peristiwa itu akan tetap terjadi, transaksi politik juga tidak akan berhenti, dan publik terus dipertontonkan berbabagi transaksi kekuasaan yang terkadang menggelikan.

Semua alasan selalu demi perbaikan kinerja, hasil evaluasi, dan untuk pemerintahan yang lebih baik lagi. Alasan-alasan klasik selalu menghiasi media massa, yang ujung-ujungnya mudah ditebak. Bagaimana pemerintah akan meperkuat kekuasaannya dengan cara membangun mitra koalisi yang lebih kuat, baik di eksekutif maupun di wilayah parlemen. Keduanya saling terkoneksi karena berada di bawah komando partai politik.

Karenanya, keuntungan ganda dari sebuah resuffle kabinet yaitu digantikannya menteri yang dianggap kurang kompeten oleh orang yang (dianggap) lebih kompeten, juga dapat memperkuat barisan koalisi di parlemen. Dengan langkah ini maka semakin mudah bagi partai penguasa untuk menggolkan agenda-agendanya, sebab hanya menghadapi kekuatan minoritas yang berada di luar kekuasaan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement