Senin 11 Jan 2016 07:23 WIB

Sampai Kapan Menyepelekan Kesalahan “Soekarno” dan “Megawati Soekarnoputri”?

Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri memekikan salam kebangsaan Merdeka ketika menyampaikan pidato politiknya pada acara pembukaan Rapat Kerja Nasional I PDI Perjuangan di Hall D2 Pekan Raya Jakarta, Kemayoran, Jakarta, Minggu (10/1).
Foto: Antara/Widodo S. Jusuf
Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri memekikan salam kebangsaan Merdeka ketika menyampaikan pidato politiknya pada acara pembukaan Rapat Kerja Nasional I PDI Perjuangan di Hall D2 Pekan Raya Jakarta, Kemayoran, Jakarta, Minggu (10/1).

Oleh: M Akbar Wijaya/ Wartawan Republika

 

REPUBLIKA.CO.ID -- Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menggelar Rapat Kerja Nasional (Rakernas) I di Jakarta International Expo (JIExpo), Kemayoran, Jakarta, Ahad (10/1). Seperti rakernas-rakernas PDIP sebelumnya, Megawati sebagai ketua umum berkesempatan menyampaikan orasi politik.

Pidato Mega kemarin sejalan dengan tema rakernas: “Mewujudkan Trisakti Melalui Pembangunan Nasional Semesta Berencana Untuk Indonesia Raya”. Dalam pidatonya Mega kembali mengeluhkan absennya ajaran Sukarno dalam pengambilan kebijakan pemerintah. Namun bukan hal ini yang menarik perhatian saya.

Perhatian saya justru tertuju pada tulisan di latar belakang panggung saat Megawati berpidato. Begini isi lengkap tulisan itu: “PIDATO POLITIK MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Mewujudkan Trisakti Melalui Pembangunan Nasional Semesta Berencana Untuk Indonesia Raya”.

Apanya yang menarik? Yang menarik ialah penulisan nama belakang Megawati yang masih menggunakan ejaan “Soekarnoputri”.

Sukarno dalam otobiografinya, Sukarno Penyambung Lidah Rakyat pernah menyinggung perihal penulisan ejaan namanya. Sukarno mengatakan ejaan yang benar untuk menulis namanya menggunakan huruf “u” bukan “oe”. 

“Waktu di sekolah tanda tanganku dieja Soekarno mengikuti cara Belanda. Setelah Indonesia merdeka aku menginstruksikan supaya segala ejaan ‘oe’ kembali ke ‘u’. Ejaan dari perkataan Soekarno sekarang menjadi Sukarno,” kata Sukarno kepada penulis otobiografinya Cindy Adams.

Pengubahan ejaan “oe” menjadi “u” dilakukan pemerintah Indonesia pada 17 Maret 1947 lewat keputusan Menteri Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan Soewandi Noetokoesoemo. Ejaan ini – kemudian dikenal istilah ejaan Soewandi atau ejaan republik – menggantikan ejaan Van Ophuijsen yang diberlakukan pemerintah Kolonial Hidia Belanda sejak 1901.

Meski telah mengubah ejaan namanya, Sukarno mengaku kesulitan mengubah ejaan pada tanda tangannya. Dia beralasan ejaan “Soekarno” pada tanda tangannya telah digunakan sejak masa sekolah. 

“Akan tetapi, tidak mudah untuk mengubah tanda tangan setelah berumur 50 tahun, jadi kalau aku sendiri menulis tanda tanganku masih menulis S-O-E,” terang Sukarno.

Sukarno juga pernah menyinggung kesalahan wartawan dalam menulis nama belakang anak-anaknya. Saat berpidato dalam acara Musyawarah Nasional Teknik di Istora Olahraga Senayan Jakarta 30 September 1965 malam, Sukarno mengatakan penulisan yang benar untuk nama belakang anak-anaknya ialah Sukarna, bukan Sukarno. 

“He wartawan, kenapa wartawan itu selalu salah tulis. Guntur Soekarnoputra, salah! Sukarnaputra. Begitu pula Megawati Sukarnaputri. Bukan Soekarnoputri, meskipun namaku adalah Sukarno,” kata Sukarno seperti dilansir dari buku Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato Presiden Soekarno 30 September 1965-Pelengkap Nawaksara.

Dua anak Sukarno yakni Guruh Irianto Sukarnaputra dan Rachmawati Sukarnaputri juga pernah menyinggung perihal kesalahan penulisan ejaan nama ayah mereka. 

Guruh mengatakan pengubahan ejaan kolonial “oe” menjadi ejaan republik “u” memang terkesan sepele. Namun dia percaya kebijakan ini terkait upaya pemerintah menguatkan identitas bahasa Bangsa Indonesia yang telah merdeka. 

“Remeh sebenarnya tentang penulisan nama Sukarno. Ejaan sekarang kita menganut EYD, dalam penulisan kita menulis ‘u’ bukan ‘oe’. Itu ejaan Belanda,” kata Guruh saat meresmikan pengubahan nama Jalan Cikapundung Timur menjadi Jalan Dr Ir Sukarno, 10 November 2015, di Bandung.

Puteri ketiga Sukarno, Sukmawati Sukarnaputeri menyerukan koreksi terhadap kesalahan penulisan ejaan nama ayahnya. Dia mengatakan koreksi terhadap penulisan nama Sukarno harus dilakukan secara menyeluruh menyasar semua dokumen, baik terhadap buku maupun teks tertulis lainnya. “Jadi, penulisan Bandara Soekarno-Hatta juga mestinya dibenarkan menjadi Sukarno-Hatta,” katanya.

Pertanyaannya sekarang, sampaikan kapan kita terus menyepelekan kesalahan penulisan “Soekarno” dan “Megawati Soekarnoputeri”?

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement