Senin 11 Jan 2016 06:00 WIB

Israel dan ISIS Bersorak atas Sengketa Saudi-Iran

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Siapa bersorak gembira atas persengketaan antara Kerajaan Arab Saudi (Saudi) dan Republik Islam Iran (Iran) sekarang ini? Jawabannya jelas:  Zionis Israel dan kelompok teroris yang menamakan diri Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Mereka tentu diuntungkan dengan konflik yang sedang berlangsung antardua negara penghasil minyak dunia itu. 

Konsentrasi para penguasa Saudi dan Iran kini tidak lagi pada penumpasan kelompok-kelompok teroris seperti Zionis Israel dan ISIS. Perhatian mereka 

lebih tersedot pada masalah konflik di antara mereka, berikut akibat-akibat buruk serta konsekuensi yang menyertainya. Di pihak Iran misalnya, minimal lima negara kini telah memutuskan hubungan diplomatik dengan negara para Ayatullah itu, sebagai bentuk solidaritas dan dukungan pada Saudi. Mereka adalah Bahrain, Sudan, Jibuti, Somalia, dan Saudi sendiri. 

Sedangkan Kuwait, Qatar, Kepulauan Komoro, Mauritania, Mesir, Turki, Maroko, Pakistan, Malaysia, dan Yordania masing-masing telah memanggil Duta Besar Iran sebagai bentuk protes terhadap serangan para demonstran terhadap Kedutaan Besar Saudi di Tehran dan kantor Konsulat Jenderal mereka di Masyhad. Bahkan Qatar telah menarik pulang duta besarnya di Iran. Saudi menuduh serangan para demostran itu didalangi oleh penguasa Iran.

Sementara itu, di pihak Saudi kini tidak jelas lagi bagaimana nasib koalisi negara-negara Islam yang telah dibentuk dan dipimpin oleh Negara Raja Salman bin Abdul Aziz itu. Juga kelanjutan dari koalisi internasional pimpinan Amerika Serikat (AS) yang didukung penuh oleh Saudi. Kedua koalisi itu dibentuk untuk menghabisi kelompok teroris ISIS di Irak dan Suriah. 

Saudi selama ini merupakan negara yang sering mengalami ancaman teroris, terutama dari kelompok ISIS. Beberapa masjid di Saudi telah terkena serangan bom bunuh diri, yang menyebabkan puluhan orang tewas. Juga sejumlah kantor asing. Sebanyak 1500 warga Saudi juga dikabarkan telah bergabung dengan kelompok-kelompok teroris di Irak dan Suriah. 

Bahkan 47 warga Saudi yang beberapa hari lalu dieksekusi mati, telah terbukti di pengadilan mereka terlibat gerakan terorisme di negara itu. Dari jumlah itu, empat orang adalah ulama. Tiga orang ulama Suni dan seorang ulama Syiah. 

Eksekusi mati ulama Syiah -- Sheikh Nimr al Baqir an Nimr -- inilah yang kemudian berbuntut panjang. Sejumlah petinggi Iran mengecam keras eksekusi itu. Warga Iran pun menggelar demonstrasi dan menyerang Kedubes Saudi di Tehran serta Konjennya di Masyhad. Saudi menuduh serangan itu direkayasa. Mereka pun segera mengambil langkah untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran.

Pemutusan hubungan diplomatik ini memang bukan tsunami. Ia baru berupa ombak besar. Ombak besar yang sebelumnya didahului dengan riak-riak kecil berupa perbedaan sikap dan pandang atas sejumlah isu. Antara lain tuduhan bahwa Iran ingin memperluas pengaruh Syiah di kawasan Timur Tengah, dengan membuat persekutuan Iran-Irak-Suriah-Lebanon (Hizbullah) dan persekutuan Iran-Bahrain-Yaman. 

Untuk memotong persekutuan ini, Saudi lalu membentuk koalisi negara-negara Arab untuk menyerang al Khouti di Yaman. Kelompok al Khouti merupakan penganut Syiah. Saudi juga membantu penguasa Bahrain yang Suni untuk meredam aksi-aksi demonstrasi para warga Syiah di negara itu. Dan, bukan rahasia lagi bahwa bagi mayoritas negara-negara Arab, terutama Teluk, pengaruh Syiah Iran dianggap lebih berbahaya daripada Zionis Israel.

Dalam masalah Suriah, Iran mendukung rezim penguasa Presiden Bashar Assad yang Syiah. Sedangkan Saudi dan sejumlah negara Arab berpandangan untuk mengakhiri konflik berkepanjangan di Suriah yang mayoritas warganya penganut Suni, Bashar Asad harus lengser dari singgasana kekuasaan. Karena itu, mereka membantu kelompok-kelompok oposisi moderat untuk menggulingkan rezim Assad.

Sementara itu, di Irak sejak Saddam Husein digulingkan koalisi pempinan AS, yang berkuasa di negara itu adalah kelompok Syiah yang merupakan mayoritas di negeri itu. Iran mendukung milisi-milisi Syiah untuk membantu pemerintahan Irak dalam menumpas sisa-sisa tentara loyalis Saddah Husein yang Suni. Kondisi inilah yang kemudian dimanfaatkan kelompok-kelompok radikal Suni untuk membentuk apa yang kemudian dikenal sebagai ISIS.

Perbedaan lainnya antar-kedua negara adalah menyangkut produksi minyak. Saudi merupakan produsen dan eksportir terbesar minyak dunia. Mereka mempunyai kepentingan yang berbeda dengan Iran tentang seberapa besar minyak yang diproduksi dan berapa harganya.

Saudi dikabarkan dapat mengatasi rendahnya harga minyak saat ini untuk jangka pendek. Karena itu, mereka menolak untuk menurunkan produksi minyak. Sebaliknya, Iran memerlukan pemasukan yang lebih tinggi dari minyak. Oleh sebab itu, mereka menghendaki harga minyak yang lebih tinggi untuk membantu perekonomian mereka yang bermasalah setelah bertahun-tahun ekonomi mereka diimbargo PBB.

Perbedaan berikutnya adalah menyangkut program nuklir Iran. Selama bertahun-tahun Saudi dan negara-negara Teluk lainnya menolak keras program nuklir negara Imam Ali Khamenei. Mereka khawatir Iran akan bisa mengembangkan senjata nuklir, yang dianggap bisa membahayakan keamanan kawasan Timur Tengah. 

Iran tentu saja membantahnya. Mereka menyatakan program nuklir yang dikembangkannya adalah untuk tenaga listrik. Meskipun begitu, Saudi dan negara-negara Teluk lainnya tetap marah besar ketika AS dan negara-negara Barat lainnya mencapai kesepakatan tentang nuklir Iran, yang menurut mereka tetap saja mengungtungkan Iran.

Dari berbagai perbedaan sikap dan pandang antara Saudi dan Iran -- dari masalah agama, politik, keamanan/militer, hingga ekonomi -- inilah yang kemudian membuat sensitif hubungan kedua negara. Setiap muncul masalah di dua negara tersebut langsung dijadikan isu internasional untuk saling menyerang. Termasuk ketika terjadi musibah Mina pada musim haji lalu, yang menewaskan ratusan jamaah haji, di antaranya jamaah haji dari Iran. Para pemimpin Iran menuding Saudi tidak becus menyelenggarakan prosesi ibadah haji. Mereka pun menuntut internasionalisasi penyelenggaraan ibadah haji.

Isu terakhir yang membuat panas hubungan Saudi-Iran tentu saja eksekusi mati ulama Syiah. Eksekusi yang kemudian berlanjut para serangan kepada fasilitas misi diplomatik Saudi di Iran dan dilanjutkan dengan pemutusan hubungan diplomatik dari pihak Saudi.

Persolannya adalah kedua negara -- Saudi dan Iran -- merupakan negara berpengaruh di kawasan Timur Tengah. Saudi --  di mana terdapat Mekah dan Madinah --,  dianggap sebagai benteng negara-negara Suni. Sedangkan Iran merupakan pemimpin negara-negara Syiah. 

Kita khawatir bila ombak itu berkembang menjadi tsunami, maka akibatnya bisa kemana-mana. Bukan hanya di kawasan Timur Tengah, tapi bisa juga ke Indonesia, baik ekonomi maupun sentimen keagamaan.

Karena itu harus ada langkah-langkah yang harus segera ditempuh. Yaitu, negara-negara yang mempunyai hubungan baik dengan kedua negara, terutama yang tergabung dalam Organisasi Kerja-sama Islam (OKI) harus menjadi penengah. Seperti Indonesia, Turki, Maroko, dan lainnya. Mereka harus bergabung dalam satu koalisi penengah untuk mendamaikan kedua negara.

Sebab, bila pertikaian ini terus berlanjut, kita khawatir justru kondisi ini akan dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok radikal dan teroris seperti ISIS dan Zionis Israel, untuk lebih menancapkan cengkeramannya di  Timur Tengah dan kawasan lainnya. Sesuatu hal yang tentu tidak kita kehendaki. 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement