Kamis 31 Dec 2015 06:00 WIB

Kerukunan, Kekerasan, dan Terorisme

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID, Kerukunan intra dan antar-umat beragama merupakan agenda yang tak kunjung selesai. Meski Indonesia secara umum adalah negara di mana kerukunan umat beriman yang berbeda aliran, mazhab, denominasi dan agama cukup baik, perkembangan di dalam dan luar negeri bukan tidak sering memunculkan tensi, konflik, kekerasan dan bahkan terorisme atas nama agama.

Dalam waktu empat tahun terakhir dapat dikatakan tidak terjadi peristiwa kekerasan atau terorisme berskala besar. Kekerasan terhadap warga Ahmadiyah di Cikeusik, Banten terjadi empat tahun lalu (6/2/2011). Begitu juga bom bunuh diri di Masjid Polresta Cirebon (Jumat 15/4/2011). Lalu ada kekerasan terhadap penganut Syiah di Sampang Madura (26/8/2012). 

Selain itu ada kasus gereja Yasmin Bogor yang penyelesaiannya belum diterima semua pihak; lalu ada insiden Tolikara ketika massa Gereja Injili di Indonesia (GIDI) membubarkan jamaah Muslim yang sedang salat Idul Fitri (17/7/2015) dan pembakaran gereja di Singkil (13/10/2015).

Semua kasus yang dapat mengganggu kerukunan umat beragama berbeda itu dapat disebut sebagai isolated cases—kasus-kasus terpencil; bukan merupakan gejala umum yang berlaku di seluruh tanahair. Kasus-kasus itu lebih merupakan letupan terkait situasi lokalitas tertentu sehingga tidak menyebar ke wilayah lain di tanahair. Karena itu pula, secara umum dapat dikatakan kekerasan atas nama atau bermotif agama menurun cukup signifikan.

Keadaan ini juga terlihat dari kesimpulan temuan Pusdiklat Kehidupan Agama, Balitbang-Diklat yang diumumkan dan diekspos pada 22/12/15 lalu. Penelitian menemukan secara umum terjadi peningkatan tingkat kerukunan di berbagai provinsi Indonesia. Walaupun demikian, jelas masih terdapat sejumlah ‘titik panas’ (hot spots) di beberapa kota atau kabupaten seperti tercermin dalam laporan Indeks Toleransi (16/11/2015). Di kawasan kota atau kabupaten ini masih terdapat masalah tertentu yang mengganggu kerukunan baik intra maupun antar-agama.

Dalam skala lebih serius, ancaman terhadap kerukunan atau bahkan stabilitas sosial-politik Indonesia datang dari warga Indonesia yang tergabung dalam kelompok, sel atau simpatisan IS (ISIS). Dalam silaturahim dengan para pimpinan Ormas dan tokoh Islam yang diprakarsai Wakil Presiden Jusuf Kalla (16/12/15), terungkap ada sembilan kelompok atau sel di berbagai tempat di Tanah Air yang aktif mendukung IS.

Menurut Kapolri Jenderal Polisi Badroddin Haiti, warga terindikasi terkait dengan IS di seluruh Indonesia berjumlah 1.085 orang; kelompok inti 543, pendukung 246 dan simpatisan 296 orang. Lalu ada 408 warga Indonesia yang sudah atau terindikasi bakal bergabung dengan IS. Dari jumlah itu, tewas di IS 54 orang; kembali ke Indonesia 47, dan rencana berangkat 70 orang.

Mereka ini, khususnya yang sudah kembali sebagai veteran atau bakal kembali nanti potensial melakukan kekerasan atau aksi teror sebagai bukti loyalitas mereka kepada IS. Mereka dapat memanfaatkan momentum tertentu seperti suasana liburan keagamaan akhir dan penggantian tahun untuk melakukan aksi. Indonesia patut mewaspadai kemungkinan ini, karena Indonesia sejauh ini terhindar dari aksi kekerasan atau terorisme terkait IS.

Menghadapi gejala cukup mencemaskan terkait IS, Wakil Presiden menyatakan  pemerintah dan aparat kepolisian dan keamanan memilih ‘pendekatan lunak’ (soft approach) dari ‘pendekatan keras” (hard approach). Para pimpinan ormas Islam sepakat dengan pendekatan lunak; pemerintah dan aparat keamanan perlu bertindak tegas tapi harus tetap terukur. Pendekatan keras bisa memunculkan lingkaran kekerasan dan dendam yang sulit diakhiri. “Menghadapi kekerasan dan terorisme tidak bisa dengan aliansi militer,” tegas Wapres Jusuf Kalla.

Karena itu, penguatan kerukunan dan pencegahan kekerasan dan terorisme  memerlukan pendekatan komprehensif. Dari sudut negara, Indonesia harus tetap mampu memelihara stabilitas politik, ekonomi dan sosial. Alasannya jelas, kekerasan dan terorisme seperti membiak di Timur Tengah bersumber dari negara gagal (failed states) yang tidak mampu menciptakan ketidakstabilan politik. Di sini ini pemerintah Indonesia berkewajiban menciptakan keadilan ekonomi, politik, sosial, dan hukum. Kegagalan menciptakan keadilan menjadi sumber utama keresahan dan pergolakan sosial dan politik.

Instabililitas politik karena berbagai faktor domestik maupun luar—seperti penyerbuan AS dan sekutu ke Iraq—mendorong radikalisasi terutama di kalangan mereka yang disebut Jusuf Kalla sebagai ‘anak-anak muda pemarah’ (angry young people). Banyak di antara mereka semula tidak akrab dengan agama, tetapi kemudian melalui cuci otak dan indoktrinasi tertentu mengalami radikalisasi—siap melakukan kekerasan dan terorisme.

Dalam konteks terakhir ini, ormas Islam yang memiliki jangkauan anggota, lembaga dan jaringan sampai ke tingkat akar rumput berkewajiban senantiasa meneguhkan pemahaman dan praksis Islam wasathiyah yang inklusif, toleran dan damai. Tak kurang pentingnya, seperti ditegaskan Ketua Umum PB NU, KH Agil Siroj, perlu penguatan kepaduan keislaman dan keindonesiaan. Kepaduan Islam dengan nasionalisme Indonesia merupakan faktor penting untuk memelihara Indonesia yang rukun, damai, dan berkeadaban.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement