Sabtu 19 Dec 2015 06:00 WIB

Pejabat dan Budaya Mundur

Asma Nadia
Foto: Republika/Daan
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, Pada masa kejayaan samurai, seorang pendekar Jepang biasanya membawa dua bilah pedang. Satu katana yang panjang, satu lagi tanto yang berukuran pendek. Pedang panjang digunakan sebagai senjata untuk menuntaskan misi sedangkan pedang pendek digunakan untuk seppuku atau bunuh diri jika gagal melaksanakan tugas.

Budaya ini hanya memberi pilihan para samurai untuk menang. Daripada ditawan atau malu akibat kalah, lebih baik mati. Budaya harakiri atau memotong perut sendiri memang sudah nyaris hilang di Jepang, tapi spirit untuk malu ketika gagal atau melakukan kesalahan tetap tertanam hingga kini. Karena itu, suatu hal yang lumrah di Negeri Matahari Terbit jika pejabat yang gagal menjalankan tugas mengundurkan diri. Tidak hanya di Jepang, di negara yang menjunjung tinggi integritas kerja, pejabat mundur juga merupakan kelaziman.

Sayangnya, di Tanah Air, sangat jarang terjadi seorang pejabat rela melepas kedudukannya karena sadar telah gagal menjalankan tugas. Saking langkanya peristiwa ini, wajar ketika Dirjen Pajak mengundurkan diri sempat menjadi trending topic, beritanya banyak menghiasi media di nusantara.

Secara jabatan, sebenarnya Dirjen Pajak tidaklah sehebat menteri atau pejabat tinggi lain, tetapi mengapa menjadi berita besar? Salah satu sebab sang Dirjen mundur bukan karena bersalah atau terlibat masalah, tapi merasa telah gagal mencapai target pengumpulan pajak. Meski secara nominal apa yang dicapainya cukup memuaskan, tidak sesuai target yang ditetapkan.

Padahal, jika ini menjadi tradisi atau tuntutan--sekalipun bukan kewajiban--setiap pejabat akan berlomba-lomba bekerja secara optimal untuk mencapai target atau memenuhi janjinya pada publik.

Sebaliknya, karena belum menjadi kebiasaan, sampai saat ini pejabat tetap dapat duduk di kursi empuk meski tidak banyak perbaikan yang dilakukan atau tidak ada peningkatan berarti. Bahkan, bukannya mundur, pejabat seperti ini masih banyak yang tidak malu mencalonkan diri lagi. Anehnya, mereka yang memiliki kinerja buruk pun ada yang menang di pilkada.

Indonesia memang memiliki banyak keunikan, termasuk integritas pejabat publiknya. Di negara yang menjunjung tinggi integritas, banyak pejabat yang menjadikan mundur sebagai pilihan pertama jika gagal menjalankan tugas.

Di Indonesia, mundur hampir selalu menjadi pilihan terakhir. Banyak yang kalaupun akhirnya mundur bukan karena kesadaran diri, melainkan dipaksa atas status tersangka. Begitu pun masih ada yang berusaha berkelit agar tidak mundur. Banyak juga yang mundur karena tahu bahwa mereka tidak akan menang. Daripada kalah lebih parah, lebih baik memilih mundur duluan. Bukan sebuah bentuk kesadaran, melainkan meminimalkan risiko. Sementara, di beberapa negara, banyak pejabat publik yang mundur dipicu masalah kecil.

Sebut saja Jerman. Perdana menteri mundur karena tersangkut skandal kredit rumah berbunga ringan yang didapat dari keluarga pengusaha--mendapat diskon khusus ketika membeli rumah. Sementara, di negeri ini, pejabat yang mengumpulkan puluhan rumah dari 'hadiah' pun masih duduk tenang dan bisa pergi ke kantor memakai mobil dinas dengan wajah tanpa rasa bersalah.

Di negara yang menjunjung tinggi integritas, banyak pejabat memilih mundur sebelum kasusnya meluap sehingga kesalahan mereka tidak terekspos terlalu banyak. Sepertinya di negeri ini lebih banyak pejabat bertelinga tebal yang kebal. Sanggup tetap berdiri kokoh di posisinya sekalipun hujatan serta caci maki terus ditujukan kepadanya.

Padahal, Rasulullah SAW sudah mewanti-wanti akan tanggung jawab seorang pemimpin. "Tidak beriman orang yang tidak bisa menjaga amanah yang dibebankan padanya. Dan, tidak beragama orang yang tidak bisa menepati janjinya." (HR Ahmad bin Hambal).

Atau di hadis lain, "Sesungguhnya manusia yang paling dicintai Allah pada hari kiamat dan yang paling dekat kedudukannya di sisi Allah adalah seorang pemimpin yang adil. Sedangkan, orang yang paling dibenci Allah dan sangat jauh dari Allah adalah seorang pemimpin yang zalim." (HR Turmudzi).

Semoga saja pada masa depan akan lahir sosok-sosok pejabat Indonesia yang berintegritas tinggi. Mereka yang duduk di kursi kekuasaan karena ingin berbuat lebih banyak untuk rakyat. Mereka yang ingin menepati janji dan tahu diri jika tidak mampu dengan segera memberi kesempatan kepada orang lain. Insya Allah Indonesia tercinta akan lebih maju, kuat, juga terhormat. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement