Selasa 20 Oct 2015 22:10 WIB

Mari Hijrahkan Sepak Bola

Pesepak bola Indonesia Lestusen Manahati (atas) memeluk Muchlis Hadi Ning Syaifulloh setelah kalah melawan Thailand dalam pertandingan Semifinal Sepak Bola Sea Games ke-28, Sabtu (13/6).(ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana)
Foto: Antara Foto/Nyoman Budhiana
Pesepak bola Indonesia Lestusen Manahati (atas) memeluk Muchlis Hadi Ning Syaifulloh setelah kalah melawan Thailand dalam pertandingan Semifinal Sepak Bola Sea Games ke-28, Sabtu (13/6).(ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ali Mansur

Twitter: @13alie

Satu hari jelang Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI di Surabaya, Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) mengeluarkan keputusan yang mengejutkan, yakni membekukan federasi sepak bola Indonesia, PSSI. Keputusan yang tak populer itu tertuang pada Surat Keputusan (SK) bernomor 01307. Kemenpora percaya SK yang kini berlanjut ke meja hijau itu dianggap sebagai langkah perubahan tata kelola sepak Indonesia yang lebih baik.

Kini, hampir tujuh bulan lamanya persepakbolaan Indonesia kemelut dalam konfik. Perubahan  yang dijanjikan Kemenpora belum juga tampak tanda-tandanya ke arah yang lebih baik. Justru langkah tersebut banyak menuai kecaman dari berbagai pihak, termasuk para stakeholder sepak bola sendiri.

Memang realitasnya banyak dampak buruk yang diterima oleh pelaku sepak bola akibat SK Pembekuan tersebut. Tidak sedikit para pemain sepak bola yang beralih profesi demi menjaga dapur tetap mengepul di tengah-tengah badai krisis ekonomi yang menerpa negeri nusantara ini.

Kemenpora kemudian membentuk Tim Transisi untuk mengambil paksa tongkat estafet pengurus sepak bola Indonesia. Sayangnya skuat Tim Transisi yang buta dunia sepak bola menjadi kendala, bahkan malah menjadi blunder untuk Kemenpora. Terbukti saat Tim Transisi membuat hajatan Piala Kemerdekaan, turnamen awalnya diagung-agungkan sebagai percontohan tata kelola sepak bola. Faktanya, turnamen tersebut malah menjadi pagelaran yang tak patut dicontoh.

Kejuaraan yang melibatkan tim-tim Divisi Utama (DU) itu lebih banyak menuai protes dari para pesertanya ketimbang menimbulkan puja-puji, salah satunya terkait hak-hak para peserta. Terakhir PSMS Medan, sang juara turnamen, melancarkan protes karena dana hadiah belum juga diberikan.

Akibat sibuk mengurusi Piala Kemerdekaan, Kemenpora seolah lupa akan misi utamanya, yakni membentuk pengurus baru PSSI. Maka menjadi hal yang wajar jika masyarakat mempertanyakan janji Kemenpora untuk merevolusi PSSI.

Menyoal perubahan tata kelola sepak bola yang berjalan melambat, seharusnya Kemenpora belajar dari peristiwa tahun baru Hijriyah, yang baru dirayakan umat Islam tengah pekan ini. Semangat perubahan yang dilakukan oleh Kemenpora harus didasari niat yang murni, bukan karena uang, politik, apalagi jabatan, sebagaimana hijrah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu hijrah sebagai momentum kebangkitan umat Islam.

Peristiwa hijrah umat Islam dari Makkah ke Yatsrib (Madinah) tidak hanya mengandung nilai sejarah dan juga strategi perjuangan. Bahkan hijrah itu dilakukan bukan lantaran takut berhadapan secara fisik terhadap lawan-lawan politik di tanah kelahirannya. Namun, Nabi Muhammad SAW melakukannya dengan penuh perhitungan dengan lebih mementingkan mewujudkan misi besar "menghijrahkan" masyarakat dari kebusukan nilai menuju masyarakat yang beradab.

Tentu hijrah yang dilakukan umat Islam saat itu memiliki risiko, yakni mereka harus meninggalkan kampung halaman yang mereka cintai. Begitu juga dengan sepak bola Indonesia. Para stakeholder  harus rela meninggalkan kebiasaan lama, seperti disiplin yang kendor serta organisasi yang tak transparan menuju sistem yang lebih baik. Meskipun sangat sulit untuk dilakukan tetapi hal itu harus dilakukan bak meminum jamu yang pahit.

Tidak ada alasan untuk tidak menghijrahkan sepak bola Indonesia yang sudah mulai menua, bahkan lebih tua dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ironis memang, PSSI sudah 85 tahun berdiri namun persepakbolaan Indonesia sangat minim prestasi baik di tingkat dunia maupun Asia. Dengan demikian sudah seyogyanya konflik horizontal antara PSSI dan Kemenpora diakhiri agar bisa dengan kusyuk menghijrahkan sepak bola Indonesia ini.

Memang kehadiran turnamen Piala Presiden setidaknya sedikit menghapus kerinduan publik akan hiburan rakyat.  Namun hal itu bukanlah yang diharapkan untuk bisa membentuk tim nasional Indonesia yang tangguh. Timnas yang tangguh lahir dari tempaaan kompetisi yang panjang bukan turnamen yang singkat. 

Pemerintah juga harus memiliki sikap yang tegas terhadap perbaikan sepak bola, mengingat FIFA sudah terlanjur menjatuhkan sanksi kepada sepak bola Indonesia. Perlu diketahui, Islam meraih kejayaan di Yatsrib usai kaum muslimin hijrah dari Makkah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement