Kamis 08 Oct 2015 06:00 WIB

Makkah al-Mukarramah (1)

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra

Musim haji yang baru saja usai (1436/2015) menyisakan rasa duka pada para jamaah, khususnya keluarga-keluarga dari berbagai negara yang wafat dalam dua malapetaka yang terjadi di kota suci Makkah. Pertama, tumbangnya crane yang menewaskan lebih 107 jamaah termasuk 11 dari Indonesia; dan kedua musibah tabrakan antarjamaah di Jalan 204 Mina yang mengorbankan lebih dari 1.000 jiwa, termasuk sekitar 100 jiwa dari Indonesia.

Musibah demi musibah hampir selalu terulang dari tahun ke tahun. Meski Pemerintah Arab Saudi, telah berusaha meningkatkan sarana dan fasilitas untuk penyelenggaraan prosesi ibadah haji, tetapi musibah yang mengorbankan banyak jiwa tetap saja terjadi.

Ada beberapa faktor yang mengakibatkan terjadinya kejadian mengenaskan itu. Pertama, SDM petugas Arab Saudi di lapangan yang tidak memadai secara kuantitas maupun kualitas. Mereka tidak berdaya atau tidak punya kreativitas, misalnya, untuk mengalihkan di antara arus jamaah haji yang pergi ke Jamarat dengan yang pulang sehingga tidak terjadi tabrakan.

Musibah juga terjadi karena ada jamaah haji yang lebih mengutamakan fadha'il (keutamaan) melontar Jamarat di pagi hari-waktu yang sebenarnya rawan dari sudut keamanan. Jamaah haji umumnya dalam kondisi fisik tidak sepenuhnya segar setelah berangkat dan wukuf di Arafah, dan selanjutnya pergi mabit di Mudzdalifah-yang waktunya lebih afdhal sampai selesai shalat Subuh untuk kemudian segera dilanjutkan dengan melontar Jamarat di Mina dalam waktu yang dipandang lebih utama.

Dalam kondisi fisik jamaah yang tidak kondusif-tapi didorong niat dan semangat melontar Jamarat pada waktu lebih afdhal-tanpa mempedulikan keselamatan diri sendiri dan jamaah lain, mereka berdesak-desak dan kemudian bertabrakan di Jalan 204; saling dorong, jatuh dan terinjak-injak jamaah yang terus bergerak. Akibatnya, korban terus berjatuhan, termasuk di antara mereka adalah jamaah haji Indonesia yang tidak mematuhi jadwal melontar Jamarat sejak pukul 11.00 siang ke atas seperti telah ditetapkan Kementerian Agama dan sebaliknya ikut arus jamaah haji dari negara-negara lain yang mengejar waktu lebih utama.

Dalam konteks itu sangat menarik menyimak argumen Ziauddin Sardar tentang penyebab musibah demi musibah yang terjadi di Makkah, khususnya seputar prosesi melontar Jamarat. Simak insiden-insiden berikut: pada 1990 terjadi musibah tabrakan antarjamaah di terowongan al-Mu'assim yang menewaskan 1.426 jiwa.

Selanjutnya, musibah terus berulang di kawasan Jamarat: pada 1994 dengan korban 270 jiwa; pada 1998 tewas 118; tahun 2001 tewas 35 orang; pada 2003 korban jiwa 14; tahun 2004 tewas 251; pada 2006 tewas 346; dan pada 2015 tewas lebih 1.000 jiwa.

Di samping itu, ada insiden-insiden lain yang mengorbankan banyak jamaah. Misalnya, kebakaran kemah pada 1975 yang menewaskan sekitar 200 jamaah dan pada 1997 yang menewaskan 343 jiwa. Lalu ada kejadian robohnya Hotel al-Ghaza yang menewaskan sekitar 76 jiwa.

Dalam buku Mecca: The Sacred City (2014), Sardar berhujah, penyebab malapetaka di sekitar kawasan Jamarat dan Mina yang mengorbankan banyak jamaah adalah buruknya perencanaan pembangunan besar-besaran (ill-conceived grandiose developments) di Makkah dan sekitarnya sehingga secara alamiah menyimpan potensi bahaya. Menurut Sardar, di antara musibah demi musibah, Pemerintah Arab Saudi membangun kembali wilayah Jamarat. “Tetapi kerangka dasarnya tetap sama, dan karena itu risiko dan bahayanya tetap sama,” tulis Sardar.

Sardar melihat penyebab musibah dan malapetaka yang terjadi di wilayah Jamarat dan Makkah secara keseluruhan ke akar-akar masalah yang jauh lebih dalam dan lebih rumit, yang tidak pernah dibayangkan banyak orang. “Dengan pembangunan yang mengubah Makkah menjadi Disney Land berdasarkan visi buruk Saudi tentang modernitas, Tanah Suci jelas bakal menjadi situs permanen bencana, satu bencana besar yang saya prediksikan terjadi setiap tiga tahun."

Jika Sardar mengkritik keras pembangunan yang dilakukan Pemerintah Arab Saudi selama bertahun-tahun, khususnya sejak awal dasawarsa 1970-an, ia memiliki latar belakang riset yang cukup kuat. Ia pernah bekerja selama lima tahun (1974-1975) di Pusat Riset Haji yang didirikan Sami Angawi, arsitek asal Makkah (orang Hijazi) bersama seorang intelektual Hijazi lain, Abdullah Nassef, penyandang gelar PhD dalam geologi dari universitas di Inggris.

Pusat Riset Haji bertujuan menyelamatkan Makkah dari “pembantaian” modernitas telanjang (onslaught naked modernity). Angawi yakin, penggunaan teknologi semena-mena secara radikal telah mengubah Makkah, Madinah, dan Jeddah. Dana dalam jumlah astronomis digelontorkan untuk mengubah Makkah menjadi semacam Houston, Amerika Serikat, di mana banyak menteri dan pejabat tinggi Pemerintah Saudi menghabiskan banyak waktu untuk studi lanjutan.

Sardar yang berkolaborasi erat dengan Angawi dan Nasseef sejak masa mahasiswa dan bekerja sama dalam Pusat Riset Haji, tidak heran bersikap kritis. Dia adalah salah satu dari sedikit intelektual Muslim internasional yang berani bersikap kritis.

Maka, Sardar menyesali mengapa begitu sedikit orang yang mau berdiri tegak dan mengkritik secara terbuka kebijakan resmi Pemerintah Arab Saudi tentang pembangunan Tanah Suci. Kebanyakan negara-negara Muslim terlalu terlalu takut pada Saudi-khawatir kalau jumlah kuota haji mereka dikurangi jika kritis.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement