Ahad 06 Sep 2015 07:53 WIB

Relevansi Pancasila dalam Hidup Kekinian (2)

Red: M Akbar
The coat of arms of Indonesia, Garuda Pancasila (illustration)
Foto: en.wikipedia.org
The coat of arms of Indonesia, Garuda Pancasila (illustration)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yudi Latif

Akutnya krisis yang kita hadapi mengisyaratkan untuk memulihkannya kita memerlukan lebih dari sekadar politics as usual. Kita memerlukan visi politik baru. Peribahasa mengatakan,“Where there is no vision, the people perish.” Visi ini harus mempertimbangkan kenyataan bahwa krisis nasional ini berakar jauh pada krisis moralitas dan etos yang melanda jiwa bangsa. Suatu usaha “penyembuhan” perlu dilakukan dengan memperkuat kembali fundamen etis dan karakter bangsa berlandaskan dasar falsafah dan pandangan dunia bangsa Indonesia sendiri.

Ibarat pohon, sejarah perkembangan bangsa yang sehat tidak bisa tercerabut dari tanah dan akar kesejarahannya, ekosistem sosial-budaya, sistem pemaknaan (signification), dan pandangan dunianya tersendiri. Pancasila dirumuskan oleh para pendiri bangsa sebagai dasar dan tuntutan bernegara dengan mempertimbangkan aspek-aspek itu, lewat usaha penggalian, penyerapan, kontekstualisasi, rasionalisasi, dan aktualisasinya dalam rangka menopang keberlangsung dan kejayaan bangsa.

Akibat keteledoran, ketidaktaatan dan penyelewengan atas nilai-nilai Pancasila oleh bangsa sendiri, terutama oleh para penyelenggara negara, bintang pimpinan itu pun redup tertutup kabut. Pelan-pelan menimbulkan kegelapan dalam rumah kebangsaan. Lantas anak-anak negeri berusaha mencari kunci jawaban atas persoalan negerinya dari luar “rumah”; pada tempat-tempat yang tampak benderang.

Seseorang bertanya kepada mereka,“Apa gerangan yang kalian cari?” Anak-anak negeri itu pun menjawab, “kunci rumah”. “Memangnya di mana hilangnya kunci itu?” Jawabannya, “Di dalam rumah kami sendiri”. Lantas, “Mengapa kalian cari di luar rumahmu?” Jawabannya, “Karena rumah kami gelap.”

Kunci jawaban atas krisis kebangsaan itu sesungguhnya bisa ditemukan dari dasar falsafah dan pandangan hidup negara Indonesia sendiri yang tercermin melalui Pancasila. Saat ini yang diperlukan adalah mengikuti cara Soekarno, menggali kembali mutiara yang terpendam itu, mengargumentasikan dan mengkontekstulisasikannya dalam kehidupan semasa, dan mengupayakan aktualisasinya dalam kehidupan masa kini dan masa depan.

Dalam perjalanannya, sejarah konseptualisi Pancasila melintasi rangkaian panjang fase “pembibitan”, fase “perumusan”, dan fase “pengesahan”. Fase “pembibitan” setidaknya dimulai pada 1920-an dalam bentuk rintisan-rintisan gagasan untuk mencari sintesis antarideologi dan gerakan seiring dengan proses “penemuan” Indonesia sebagai kode kebangsaan bersama (civic nationalism). Fase “perumusan” dimulai pada masa persidangan pertama Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), 29 Mei-1 Juni 1945, dengan Pidato Soekarno (1 Juni) sebagai mahkotanya yang memunculkan istilah Panca Sila.

Rumusan Pancasila dari Pidato Soekarno itu lantas digodok dalam pertemuan Chuo Sangi In yang membentuk “Panitia Sembilan”,  yang melahirkan rumusan baru Pancasila dalam versi Piagam Jakarta, pada 22 Juni. Fase “pengesahan” dimulai pada 18 Agustus 1945 dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang melahirkan rumusan final, yang mengikat secara konstitusional dalam kehidupan bernegara.

Sejak tanggal 18 Agustus 1945, Pancasila telah menjadi dasar falsafah negara (Philosophische Gronslag), ideologi negara dan pandangan hidup (Weltanschauung) bangsa Indonesia. Istilah-istilah tersebut bisa dimaknai dengan merujuk pada pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945. Dalam pidato tersebut, ia menyebut istilah “Philosfische Gronslag” sebanyak 4 kali plus 1 kali menggunakan istilah “filosifische principe”; sedangkan istilah “Weltanschauung” ia sebut sebanyak 31 kali.

Tentang istilah “Philosophische Grondslag”, ia definisikan sebagai “Fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka.” Frase “untuk diatasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka” menjelaskan bahwa Pancasila sebagai Philosophische Grondlag merupakan padanan dari istilah “Dasar Negara”.

Alhasil, pengertian Pancasila sebagai “dasar negara” tak lain adalah Pancasila sebagai “dasar filsafat/falsafah negara”. Dengan kata lain, Pancasila sebagai pandangan hidup/pandangan dunia (Weltanschauung) bangsa Indonesia hendak dijadikan sebagai ideologi negara.

Pembumian Pancasila

Diperlukan penyegaran pemahaman dan aktualisasi nilai-nilai Pancasila untuk menangkal berjangkitnya beragam ancaman ekstremisme. Dengan menguatkan nilai-nilai Ketuhanan yang berkebudayaan, kebangsaan yang berprikemanusiaan, serta demokrasi permusyawaratan yang berorientasi keadilan sosial, Indonesia akan mampu menghadapi perkembangan baru dengan suatu visi global yang berkearifan lokal.

Tinggal masalahnya, bagaimana memperdalam pemahaman, penghayatan, dan kepercayaan akan keutamaan nilai-nilai yang terkandung pada setiap sila Pancasila dan kesalingterkaitannya satu sama lain, untuk kemudian diamalkan secara konsisten di segala lapis dan bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam konteks ini, yang diperlukan adalah apa yang disebut Kuntowijoyo (2001) dengan proses “radikalisasi Pancasila”. “Radikalisasi” dalam arti ini adalah pengakaran ideologi, demi membuat Pancasila tegar, efektif, dan menjadi petunjuk bagaimana negara ini ditata-kelola dengan benar. 

Radikalisasi Pancasila yang dimaksudkannya ialah (1) mengembalikan Pancasila sebagai ideologi negara, (2) mengembangkan Pancasila sebagai ideologi menjadi Pancasila sebagai ilmu, (3) mengusahakan Pancasila mempunyai konsistensi dengan produk-produk perundangan, koherensi antarsila, dan korespondensi dengan realitas sosial, (4) Pancasila yang semula hanya melayani kepentingan vertikal (negara) menjadi Pancasila yang melayani kepentingan horizontal, dan (5) menjadikan Pancasila sebagai kritik kebijakan negara.

Proses radikalisasi itu dimaksudkan untuk membuat Pancasila menjadi lebih operasional dalam kehidupan dan ketatanegaraan; sanggup memenuhi kebutuhan praktis atau pragmatis dan bersifat fungsional. Pemikiran-pemikiran lain yang bersifat abstraksi-filosofis juga bukan tanpa makna. Tetapi pemikiran yang bersifat abstraksi-filosofis menjadi lebih bermakna sejauh diberi kaki operasionalisasinya agar bisa menyejarah dan memiliki makna bagi kehidupan kemanusian dalam konteks negara-bangsa Indonesia.

Catatan: makalah disarikan dari diskusi yang digelar Yayasan Suluh Nuswantara Bakti/YSNB

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement