Sabtu 15 Aug 2015 11:10 WIB

Menggagas Bank Wakaf

Dhani Gunawan Idat
Foto: dok pri
Dhani Gunawan Idat

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh Dhani Gunawan Idat*

Seperti publik mafhum bersama bahwa potensi wakaf di Indonesia ini begitu besar. Apapun yang terjadi dengan perekonomian negeri ini, sesungguhnya tetap masih banyak sekali orang kaya yang kelebihan hartanya bingung untuk menyalurkannya. Sementara mereka sangat sadar bahwa tidak mungkin harta itu dibawa meninggal, padahal untuk diwariskan kepada anak-cucunya pun belum tentu.

Yang menjadi problem selama ini adalah lembaga penyalur yang mampu menampung harta wakaf dalam berbagai bentuk. Wakaf pada dasarnya memang tidak selalu dalam bentuk fisik tanah, bisa saja dalam bentuk uang atau harta kekayaan lainnya. Namun, apapun bentuknya, yang jelas harta tersebut harus ada yang menampung  secara professional sebab bukan jumlah yang kecil.

Jika kita bicara zakat, infak dan sedekah itu pun sangat besar potensinya. Namun yang seringkali menjadi kebingungan bagi banyak calon muwakkif adalah penyaluran harta yang akan diwakafkan dalam berbagai bentuk dengan model pemanfaatan yang tepat. Walaupun kemudian bank wakaf ini juga sebenarnya akan menampung dana lain seperti infak dan sedekah.

Bank wakaf pada dasarnya akan menjawab keraguan banyak pihak akan keberadaan harta aghniya yang disalurkan kepada lembaga-lembaga yang tidak memiliki manajemen keuangan yang terstandar. Dengan adanya bank wakaf ini, publik yang menginfakkan atau mewakafkan hartanya akan lebih puas karena mendapatkan banyak keuntungan.

 

Pertama, service. Dengan system perbankan, tentu saja service akan lebih terstandar dan lebih baik. Profesionalisme yang dibangun oleh perbankan akan memberikan kepuasan kepada nasabah atau muwakkif tentang sistem pelayanan yang lebih baik. Di sana juga akan disuguhi kemudahan dalam berbagai hal, termasuk cara wakaf dan infak yang lebih maju. Jika selama ini orang masih bingung harus datang ke mana dan bagaimana caranya, dengan service perbankan ummat akan sangat dimudahkan. Baik bertemu langsung ke bank atau tidak, proses pelayanan tetap bisa dilakukan.

Kedua, transparansi. Dengan sistem perbankan, umat bisa mengontrol harta yang diwakafkan atau diinfakkannya. Dengan disalurkan kepada bank wakaf, setiap orang akan dapat melihat posisi hartanya, aliran penyalurannya ke mana, dan digunakan untuk apa. Dengan system yang lebih transparan ini, setidakna keraguan untuk melakukan wakaf atau infak ini akan terminimalisir. Atau nantinya, karena setiap muwakkif itu telah memilih objek saluran hartanya, dia akan tahu apakah hartanya telah sesuai dengan tujuannya atau tidak.

Ketiga, manajemen. Syitem perbankkan jelas akan memiliki system yang lebih ketat, lebih terstandar dan professional. Manajemen perbankan juga akan menempatkan orang-orang yang memiliki kompetensi khusus di berbagai bidang pengelolaannya. Karenanya, manajemen bank akan lebih memberikan kepuasan kepada umat.

 

Keempat, kontrol. Lembaga perbankan ini akan lebih mudah dikontrol. Setiap orang bisa saja melakukan kontrol terhadap keberadaan bank ini dengan berbagai aktivitas penyaluran harta ummatnya. Namun secara khusus, kontrol ini dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga khusus yang mereka memiliki kompetensi dan pengalaman di bidang ZIS dan wakaf, baik yang berbasis pada mesjid, yayasan keagamaan, atau Ormas keagamaan, bahkan mungkin saja MUI.

Intinya, bank wakaf ini akan memiliki standarisasi yang jauh lebih baik sehingga dapat membangun kepercayaan kepada publik. Upaya ini tentu saja bukan dalam rangka membangun persaingan dengan lembaga ZIS dan wakaf yang sudah ada dan berperan di masyarakat, tetapi setidaknya dapat menampung harta para aghniya yang selama ini masih mencari lembaga yang tepat untuk menyalurkan hartanya.

Dari dulu sudah banyak kajian tentang potensi zakat, infak, dan wakaf di tanah air. Yang kini tertampung di lembaga zakat masih sangat minim dan jauh dari yang seharusnya, bahkan hanya untuk zakat saja yang sifatnya wajib. Apalagi jika kita berbicara infak atau wakaf yang pada dasarnya tidak bisa dihitung secara matematis, karena akan bergantung pada kesadaran dan kerelaan, bukan pada berapa persen yang harus dikeluarkan.

Jika potensi zakat saja masih jauh dari harapan, maka sesungguhnya kita akan tercengang jika berbicara potensi wakaf yang jauh lebih dahsyat lagi. Mungkin sebagian muwakkif sudah memberikan hartanya kepada lembaga-lembaga yang dapat menampung hartanya, namun prosentasenya sangat kecil. Karena dengan model yang saat ini berjalan, mereka yang melakukan wakaf kemungkinan hanya mengandalkan relasi, perkenalan, atau kebetulan aktif di lembaga atau Ormas keagamaan tertentu.

Namun, jika berbicara potensi wakaf, kita akan melihat kondisi para aghniya yang mereka tidak memiliki relasi atau hubungan dengan Ormas tertentu, sehingga mereka tidak tahu bagaimana cara mewakafkan hartanya. Padahal, mungkin juga banyak para aghniya yang memiliki relasi ke lembaga ZIS dan Ormas tertentu, tetap tidak mau mewakafkannya karena terkendala trust.

Kehadiran bank wakaf ini diyakini akan memberikan solusi dunia dan akhirat. Di dunia, selain kepada muwakkifnya menjadi lebih mudah dan percaya, harta tersebut juga akan memberikan dampak sosial yang sangat besar bagi masyarakat. Sebab dari harta yang diwakafkan itu akan melahirkan sejumlah program kemasyarakatan dalam rangka membantu pendidikan, ekonomi, sosial, dan kesehatan rakyat.

Sedangkan solusi akhirat yaitu bahwa banyak setiap orang ingin khusnul khatimah, dimana harta yang telah dikumpulkannya ingin dipergunakan untuk kepentingan agama atau disalurkan kepada yang membutuhkannya, karena tidak akan dibawa meninggal. Maka di sini harta akan menjadi amal yang terus mengalir walaupun muwakkif itu telah tiada.  Wallahu a’lam

*Penulis adalah Director of Islamic Banking Research, Development, Regulation and Lecencing Directorate Islamic Banking Departement

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement