Jumat 14 Aug 2015 18:12 WIB

Political Game Atas Nama Agama (2-Habis)

Red: M Akbar
Anas Syahrul Alimi
Foto: Facebook
Anas Syahrul Alimi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Anas Syahrul Alimi

(Pemerhati Masalah Sosial Bermukim di Yogyakarta)

Kekerasan Struktural

Kekerasan menurut Johan Galtung (1989), kekerasan adalah deprivasi kepentingan dan penistaan terhadap kebutuhan dasar atau kehidupan manusia. Galtung, membagi kekerasan dalam tiga jenis. Kekerasan menurutnya bisa mewujud dalam bentuk kekerasan kultural, struktural, dan kekerasan langsung.

Pertama,kekerasan kultural adalah unsur-unsur budaya yang menjadi wilayah simbolis eksistensi manusia yang menjustifikasi dan melegitimasi kekerasan struktural dan langsung. Kedua, kekerasan struktural merupakan kekerasan berstruktur atau terkait dengan struktur tertentu. Ketiga, kekerasan langsung adalah kekerasan secara langsung terhadap fisik manusia dan sejenisnya.

Konstruksi sosial yang menggiring pada logika kekerasan, pada mulanya merupakan kekerasan kultural. Pada arena kekerasan kultural ini, identitas keberbedaan terus dipergunjingkan secara negatif dari fase halus hingga kasar. Ekspresi dari ucapan hingga tindakan dalam mencacimaki keberbedaan ini kemudian mewujud menjadi kekerasan psikologis. Kehadiran elit dan Negara dengan memaksakan sejumlah regulasi yang meminggirkan kelompok keagamaan merupakan bentuk kekerasan struktural.

Dasar legitimasi regulasi Negara dan juga legitimasi teologis dari para elit agama yang mendominasi ini pada akhirnya memicu ekspresi bentuk kekerasan langsung. Pada fase inilah kemudian ledakan kekerasan horisontal antar penganut agama Islam dengan Ahmadiah, antara Islam dan Kristen dan masyarakat yang menyerang pesantren Syiah YAPI Pasuruan tak dapat dibendung.

Deretan peristiwa kekerasan yang berlangsung akhir-akhir ini menurut saya jelas merupakan kekerasan struktural. Logika penegakan dibalik kekerasan tersebut memang akan sulit untuk mendeteksi bagaimana kekerasan struktural tersebut terjadi karena pikiran-pikiran dan tangan-tangan keji yang merusak ketenangan hidup masyarakat. Kendati demikian, kekerasan struktural ini jelas dapat dirasakan kalau kita secara jeli mencermati bagaimana arus konstruksi sosial yang dilakukan oleh para elite terhadap masyarakat lokal tersebut.

Ancaman Arus Politisasi

Barangkali banyak elite yang tidak menyadari bahwa arus konstruksi sosial yang dibangunnya dalam rangka memerkuat identitas agama dan ideologi keagamaannya dalam jangka panjang terus menyimpan bahaya besar.

Konstruksi sosial para elite yang mampu mendominasi tafsir dan ideologi keagamaan (termasuk dalam agama Islam) kian menjadikan masyarakat terkotak-kotak secara sempit dalam jejaring sosial yang kian eksklusif. Akibatnya, masyarakat lokal seperti menjadi obyek permainan catur dari jejaring kuasa elit dalam panggung konstruksi sosialnya untuk menopang legitimasi kekuasaan.

Kondisi ini jelas menyimpan ancaman yang luar biasa. Bahaya besar di depan mata di balik mata rantai kekerasan kultural, kekerasan psikologi, kekerasan struktural dan kekerasan langsung adalah arus politisasi terhadap peristiwa kekerasan. Potensi politisasi senantiasa terbuka. Dari level paling nyata hingga yang kasat mata, para elit senantiasa memiliki hasrat dan kesempatan yang luar biasa menjadikannya sebagai obyek politisasi.

Kita sebaiknya jangan sekadar tinggal diam atau prihatin saja menyaksikan harkat kemanusiaan masyarakat lokal kita diacak-acak dan dicederai oleh nafsu kuasa apapun atas nama agama. Sayang sekali, jika para elite politik dan agama di negeri ini tidak menyadari bahaya tersebut.

Lebih mengerikan lagi, jika mereka mengerti dan memahami bahaya tersebut namun dengan sengaja terus mengekspresikan ambisinya melalui medan konstruksi sosial dalam kehidupan masyarakat lokal di Indonesia.

Political game yang sangat berbahaya bagi keutuhan bangsa ini. Terlalu besar biaya sosialnya, karena lagi-lagi yang jadi korban adalah masyarakat lokal. Apakah ini untuk menaikkan bargain kelompok tertentu dalam eskalasi politik? Tampaknya masih terlalu dini membahasnya. Wallahu A'lam bishawab

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement