Jumat 14 Aug 2015 18:10 WIB

Political Game Atas Nama Agama (1)

Red: M Akbar
Anas Syahrul Alimi
Foto: Facebook
Anas Syahrul Alimi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Anas Syahrul Alimi

(Pemerhati Masalah Sosial Bermukim di Yogyakarta)

Benarkah kekerasan itu bukan menjadi bagian dari budaya bangsa kita? Pertanyaaan inilah yang akhir-akhir ini sering saya dengar dari sejumlah kawan terkait maraknya kasus kekerasan yang terjadi di berbagai daerah.

Mayoritas kita berpikir kekerasan bukanlah watak bangsa Indonesia. Masyarakat lokal yang pada mulanya hidup damai, tenang, tenteram dan harmoni, tiba-tiba terkesan beringas, penuh dendam dan amarah. Kondisi sosiologis ini jelas tidak sejalan dengan cita-cita sosial para pendiri bangsa kita.

Sebagian kawan yang lain melempar pertanyaan kepada saya dengan logika yang sebaliknya atau jangan-jangan justru dari “sono”’ masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang “hobi” dengan kekerasan? Jangan-jangan justru watak asli masyarakat atau elite kita yang sebenarnya penuh dengan api dendam dan kekerasan yang dibalut dengan agama, etnis atau ideologi yang lain?

Karena itulah kemudian para pujangga yang dekat dengan elite kekuasaan pada masa lalu membuat narasi baru bahwa masyarakat kita berwatak kekeluargaan dan mengedepankan hidup dalam harmoni. Tujuannya adalah untuk membuat sistem sosial, politik, ekonomi, dan budaya menjadi stabil dalam ruang kekuasaan.

Di tengah masyarakat yang harmoni dan kekeluargaan, stabilitas kehidupan sosial memang akan sangat menguntungkan bagi para elite di berbagai level struktur kekuasaan dalam melanggengkan legitimasi kekuasaannya akan lebih mudah.

Kawan yang ketiga kembali bertanya, bagaimana jika kondisi harmoni tersebut justru mempersempit ruang para elite lainnya dalam mendapatkan kue kekuasaan? Saya cukup terkejut juga dengan pertanyaan ini. Logika konspirasi tiba-tiba muncul dalam diskusi tersebut. Bukan tidak mungkin, baik harmoni dan kekerasan dapat menjadi obyek konstruksi sosial para elite yang ditujukan kepada masyarakat dalam mencapai ambisi kekuasaan.

Obyek Konstruksi Sosial

Baik kekerasan dan maupun harmoni, keduanya merupakan konstruksi sosial. Konstruksi sosial berkembang sebenarnya pada level individual. Kendati demikian, konstruksi sosial pada level individual ini, di tangan individu yang menjadi elite atau memiliki dukungan kekuasaan yang luar biasa dia bisa merubah konstruksi sosial yang lain. Melalui beragam medium, nilai-nilai harmoni maupun kekerasan dikonstruksikan dalam ruang interaksi sosial.

Rezim Orde Baru merupakan salah satu contoh sebuah rezim politik yang secara cerdas membangun konstruksi sosial budaya harmoni dan kekeluargaan untuk menjaga stabilitas dan kepentingan politiknya. Karena itu, Rezim Orde Baru sangat takut dengan potensi apapun di dalam masyarakat yang bisa mereproduksi resistensi, perlawanan, dan konflik atas nama kelas, etnis, agama dan budaya yang bermuara pada kekerasan.

Itulah yang kemudian membuat Rezim Orde Baru tanpa lelah mereproduksi konstruksi budaya sosial harmoni dan kekeluargaan untuk melawan arus konstruksi budaya kekerasan yang bersumber dari manapun. Kendatipun paradoks rezim Orde Baru adalah melawan konstruksi budaya kekerasan dengan metode yang penuh dengan kekerasan.

PascaOrde Baru, kontestasi para elite yang berebut kekuasaan senantiasa bertarung ke puncak inti kekuasaan. Modal politik dan modal sosial yang digunakan adalah daya dukung legitimasi sosial, politik, dan budaya yang ada pada masyarakat lokal. Masyarakat lokal yang berakar dari ideologi, budaya etnis, agama, dan kelas sosial tertentu ini kembali menjadi obyek kostruksi sosial dalam ragam identitas yang ditempelkan dari luar dirinya.

Ragam konstruksi sosial ini dibangun bisa melalui nilai-nilai yang disebarkan, interaksi dan jejaring para elite lokal dengan elite nasional hingga mewujud dan mengental dalam identitas organisasi masyarakat dan keagamaan. Ragam konstruksi sosial yang dibangun oleh para elite ini pun direproduksi oleh masyarakat lokal secara intens.

Kesadaran perbedaan identitas antara kelompok pun terus menerus menguat secara horisontal di tengah-tengah masyarakat. Tidak heran tiba-tiba ledakan kekerasan horisontal atas nama agama terjadi di derah-daerah. Mereka adalah obyek konstruksi sosial dari ambisi para elite di panggung kekuasaan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement