Selasa 11 Aug 2015 11:04 WIB

Merindukan Pemimpin Penjaga Nurani Bangsa (1)

Rep: c14/ Red: Damanhuri Zuhri
Bung Hatta
Foto: [ist]
Bung Hatta

REPUBLIKA.CO.ID,

Tiba-tiba kita rindu pada Bung Hatta, Pada stelan jas putih dan pantalon putihnya, Simbol perlawanan pada disain hedonisme dunia, Tidak sudi berhutang, Kesederhanaan yang berkilau gemilang, (Taufiq Ismail, Rindu pada Stelan Jas Putih dan Pantalon Putih Bung Hatta, 2014)

Hari ini (12/8), 113 tahun yang lalu di Bukittinggi lahir salah seorang Bapak Bangsa Indonesia, Bung Hatta. Pemilik nama lengkap Muhammad Athar ini mewarisi darah ulama dan saudagar dari kedua orang tuanya.

Tidak heran, demikian kata sejarawan Universitas Indonesia, Anhar Gonggong, Bung Hatta terbiasa memadukan keilmuwan duniawi dengan keteguhan prinsipnya sebagai seorang Muslim.

“Bung Hatta adalah orang yang jujur pada dirinya dan pada diri orang lain. Artinya, kejujuran adalah pegangan utama dalam hidupnya,” ujar Anhar Gonggong, Senin (10/8).

Di tempat lain, penulis biografi Bung Hatta, Mavis Rose (1991:364), menuliskan kutipan dari sosok ko-proklamator tersebut: Salah satu hal yang harus diajarkan kepada masyarakat Islam ialah mereka harus menganut ilmu garam, yang terasa tapi tidak terlihat, bukan ilmu lipstik, yang terlihat tetapi tidak terasa. Rupanya, prinsip itulah yang dengan teguh Bung Hatta tunjukkan, baik sebagai pejuang kemerdekaan maupun pembela demokrasi.

Ketika belajar di Negeri Belanda, sebagian besar waktu kuliah Bung Hatta muda tercurah untuk memimpin Perhimpunan Indonesia (PI). Goresan penanya selalu dengan keras mengutuk penjajahan dan menyuarakan kemerdekaan.

Puncaknya, 24 September 1927, bersama dengan tiga kawan seperjuangannya di PI, Bung Hatta dijebloskan ke penjara Cassiusstraat atas tuduhan berupaya menggulingkan pemerintahan yang sah.

Pledoinya di pengadilan Den Haag menelanjangi standar ganda kolonialisme yang dinilainya “berpikiran sempit dan licik” (Rose, 1991:72). Belakangan, vonis bebas majelis hakim Den Haag terhadap empat aktivis PI tersebut justru disambut gembira sebagian rakyat Belanda yang humanis.

“Kami telah disiksa selama bertahun-tahun di negeri ini dengan segala macam cara. Kami berpikir, kami akan menikmati, di tanah Grotius, di mana orang membual tentang hak asasi dari warga negara yang bebas, hak-hak dasar yang sama,” demikian penggalan pledoi Bung Hatta, Indonesia Merdeka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement