Rabu 05 Aug 2015 17:42 WIB

NU dan Tantangan Peradaban Global (1)

Red: M Akbar
Logo NU. Ilustrasi
Logo NU. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Anas Syahrul Alimi

Pengusaha Muda NU, tinggal di Yogyakarta

 

Krisis global di sektor finansial terus merembet ke sejumlah Negara. Amerika dan sejumlah negara maju di Eropa saat ini terus berjuang untuk mampu keluar dari himpitan krisis global. Krisis global dan tumbangnya negeri para dewa Yunani tidak hanya membawa momok bagi dunia ekonomi semata (meningkatnya jumlah pengangguran, penurunan tingkat pendapatan dan hilangnya lapangan pekerjaan). Dampak krisis ini juga berpotensi merembet ke berbagai dimensi kehidupan sosial.

Lantas apa yang bisa dikontribusikan oleh Nahdlatul Ulama (NU) bagi peradaban dunia? Muktamar NU ke-33 di Jombang tanggal 1-5 Agustus rasanya menjadi momentum penting bagi organisasi masyarakat sipil yang telah berusia 89 tahun ini.

NU yang juga merupakan organisasi sosial keagamaan terbesar tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia ini, peran dan posisi NU dalam panggung publik nasional dan internasional terus mendapatkan apreasiasi positif dari berbagai kalangan. Secara institusi, NU tidak lagi berada di pinggiran kekuasaan.

Sebaliknya, NU justru kian terseret dalam arus kekuasaan. Pertama, menguatnya dependensi NU pada arena kekuasaan politik nasional dan internasional. Kedua, degradasi kemandirian NU dalam merancang masa depan umat.

Dependensi NU pada Kekuasaan

Dependensi NU pada kekuasaan kian menguat bersamaan dengan keberhasilan Gus Dur dalam membawa NU ke tengah-tengah jantung kekuasaan. Jasa terbesar Gus Dur bagi NU adalah kemampuannya dalam membawa NU berinteraksi secara luas dalam dua arena kekuasaan.

Pertama, secara kelembagaan, NU tampak kian mampu merapat dalam beragam jaringan kekuasaan dengan lembaga funding internasional. Di tengah kemampuannya dalam membangun independensi dengan rezim kekuasaan politik nasional, sejak tahun 1980an hingga akhir Rezim Orde Baru, keberadaan NU sebagai salah satu aktor penting civil society, mampu menarik perhatian sejumlah lembaga donor asing dalam berbagai program pemberdayaan masyarakat. 

Sejumlah elite NU tampak berkiprah di bidang pemberdayaan masyarakat melalui jalur LSM/NGOs. Tercatat sejumlah elite NU yang saat ini eksis memimpin PBNU merupakan elit LSM/NGOs. Keberadaannya tentu sulit dipungkiri untuk tidak memiliki sejarah ketergantungan dengan kekuasaan “funding internasional”.

Bahkan pasca Orde Baru, ketergantungan NU terhadap funding internasional pun terus berlanjut. Hal yang sulit dihindari kemudian adalah arus gerak pemikiran keislaman—baik yang formal maupun informal—yang diinisiasi dan dipromosikan oleh para elit NU tentu tak lepas dari kuasa funding internasional.

Kedua, ketergantungan NU terhadap kekuasaan politik parpol dan pemerintahan pada level nasional dan lokal. Hasrat elite NU dalam berpolitik cukup besar. Konfigurasi para elite NU selama masa Orde Baru hingga pasca Orde Baru tampak lekat dengan kekuasaan politik kepartaian dan pemerintahan.

Pascarezim Orde Baru, seiring dengan kesuksesan Gus Dur sebagai Presiden tahun 2000-an, NU kian dekat dan berada di jantung kekuasaan. Bahkan Pasca Gus Dur, sejumlah elite NU juga kian terintegrasi dengan kekuasaan.

Ketergantungan sejumlah elite NU terhadap kekuasaan politik kepartaian dan pemerintahan bahkan saat ini kian lekat. Satu sisi, arena kekuasaan politik tersebut dinilai sebagai keberhasilan (elite) NU. Sisi lain, ketergantungan tersebut dalam kadar tertentu seringkali kian menjadikan NU sebagai arena “politisasi” dan “komodifikasi” kekuasaan belaka.

Degradasi Kemandirian

Persoalan serius yang saat ini dan ke depan akan menghantui NU adalah bagaimana merancang kemandirian dalam memberdayakan umat. Para elite NU tentu saja tidak bisa selamanya mengedepankan jaringan kuasa dengan kekuasaan politik kepartaian dan kuasa funding internasional dalam pemberdayaan umat. Jika pola ini yang terus dikembangkan, maka kemandirian NU baik secara politik maupun pemikiran kian dipengaruhi oleh dua jenis arus kekuasaan tersebut.

Karena itu, NU harus mampu menyusun kembali energinya dalam melahirkan pilar kemandirian ekonomi organisasi dan ekonomi umat. Potensi menuju ke arah tersebut sebenarnya luar biasa besar jika dikelola dengan profesional, transparan dan akuntable. Hanya saja, hal ini tentu membutuhkan keseriusan, ketekunan, konsistensi dan inovasi dari para elite NU dalam memahami potensi umat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement