Rabu 22 Jul 2015 05:01 WIB

Antara Cina dan Muslim Rohingya (1)

Red: M Akbar
Gadis cilik Rohingnya di sebuah kamp pengungsian di Bangladesh.
Foto: AP
Gadis cilik Rohingnya di sebuah kamp pengungsian di Bangladesh.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Iqbal Setyarso (Direktur Komunikasi ACT)

Dinasti Cheng Tsu di Cina, sezaman dengan masa dakwah Maulana Malik Ibrahim di Tlatah Jawa. Islam Nusantara sedang disyiarkan, juga di Cina. Inilah salah satu Dinasti di Cina yang menghormati Islam sebagai ajaran moral dan egaliter. Potongan sejarah yang bertolak belakang dengan Cina hari ini. Juga ironi Indonesia, terkait nasib Muslim Rohingya yang mencari suaka di 'negeri manusia'.

Maulana Malik Ibrahim, mubaligh kelahiran Maghribi, menyebarkan Islam di pesisir timur pulau Jawa; saat para perantau Cina sudah mendirikan masjid di pantai barat. Melalui aktivitas niaga, mereka menjalin hubungan baik dengan pribumi. Fakta ini menunjukkan pemerintah Cina Daratan kala itu memiliki keterbukaan dalam berbagai kegiatan. Bahkan tidak canggung memberikan jabatan tinggi kepada siapa saja yang berprestasi. Termasuk kepada muslim.

Cheng Ho, misalnya, muslim taat di masa itu, diangkat menjadi ‎panglima armada laut seberang lautan dengan pangkat Laksamana. Dalam pengembaraannya, Laksamana Cheng Ho dibantu Sam Po Bo bergelar ‘Pendekar Pedang Sam Po Thay Kam’, dan ahli bahasa Ma Huan dan jurumudinya Ong Keng Hong.

Mereka adalah petinggi muslim dari Angkatan Laut Cina‎. Kata sebuah riwayat, mereka dijuluki ‘Tiga Pendekar Agung’ yang dalam bahasa Hokkian "Sam Toa Lang". Orang Jawa mengadaptasinya menjadi Dampo Awang. Sejarah bergulir, kadang menggeser keaslian, sehingga sempat diyakini Dampo Awang itu nama seseorang. Padahal aslinya julukan tiga tokoh besar Angkatan Laut Cina itu.

Saat itu, muslim hebat mengabdi di Cina yang toleran dan adil mengelola sumberdaya bangsanya. Kita kaget sekali kalau belakangan ini Pemerintah Cina menganiaya dan melarang muslim Uyghur di sana beribadah sesuai keyakinannya.

Tersebutlah sebuah catatan sejarah menarik yang dinukil (alm) KH Abdurr‎ahman Arroisi, gelar Sunan pertama diberikan kepada Maulana Malik Ibrahim asalnya dari kata Suhu Nan atau 'guru yang piawai'. Maulana Malik Ibrahim kelahiran Maroko bersahabat dengan Haji Cheng Ho dari Cina, di tanah Jawa. Sejak itu masyarakat Cina perantauan di Jawa dianggap salah satu etnis di nusantara.

Lalu kebebasan berbisnis melejitkan elite Cina perantau di Indonesia, yang terhubung dengan tanah leluhur mereka. Dan fakta zaman kini, situasi pun berubah. ‎Bersama masuknya investasi Cina, berduyun-duyunlah ribuan pekerja dari sana, bekerja di Indonesia. Dari ekspert sampai petugas keamanan dan pekerja kasar.

Tak ada celah untuk orang pribumi di sejumlah investasi konstruksi dari Cina di Indonesia. Misalnya di Banten. Ini keterlaluan. Rakyat lewat wakil-wakilnya di DPR seperti tak punya gigi dan nurani. Masuknya pekerja Cina di Indonesia, sungguh mengerikan. Provinsi miskin susah memberi lapangan kerja, lalu investor asing memasukkan penduduk mereka ke Indonesia!

Lalu‎ di seberang kasus ini, ada muslim Rohingya yang mencari suaka. Setelah dihadang dan dipersulit, tak enak dengan keterbukaan dan jiwa sosial rakyat Aceh yang merangkul Rohingya, otoritas pusat mengijinkan masuk dan menetapkan setahun saja untuk masa penampungan!

Padahal mereka (Rohingya) "kiriman langit", menolong yang teraniaya satu kewajiban berbalas pahala nan hebat. Menyelamatkan hidup Rohingya diabaikan, memasukkan Cina dengan investasinya malah nyaris tanpa syarat! Ada apa ini? Mengabdi kepada siapa negeri kita? Di mana wakil rakyat kita?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement