Kamis 11 Jun 2015 14:12 WIB
Berkaca pada Agrowisata Selandia Baru (1)

Rahasia Bisnis Peternakan Sapi Ala Maori

 muhammad fakhruddin
muhammad fakhruddin

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhammad Fakhruddin/wartawan Republika

Jay Arifin (35 tahun) tampak semringah ketika bertemu orang asal negara kelahirannya. Pria asal Malang, Jawa Timur, ini antusias menjelaskan tentang peternakan sapi perah di daerah Mokai, Taupo, Selandia Baru, tempat dia kini bekerja.

Dengan posisinya sekarang sebagai wakil manajer di peternakan sapi itu, Jay merasa tertantang bergelut dengan sapi Selandia Baru yang terasa gatal di kulit jika bersentuhan. “Saya menangani sekitar 660 ekor sapi,” kata Jay kepada Republika, Rabu (27/5).

Bersama sembilan rekannya, Jay telah bekerja selama tujuh tahun di beberapa peternakan milik industri susu Miraka. Miraka adalah perusahaan pertama di dunia yang menggunakan listrik terbarukan dengan memanfaatkan uap dari energi panas bumi untuk menjalankan operasi pengolahan susu murni menjadi susu bubuk. Miraka memproduksi produk susu UHT dan susu bubuk yang diekspor ke 23 negara di seluruh Afrika, Timur Tengah, Asia, Pasifik, dan Amerika Latin.

Republika berkesempatan mengunjungi peternakan itu untuk memenuhi undangan dari Perdana Menteri Selandia Baru John Key sekaligus merayakan hubungan 40 tahun ASEAN dengan Selandia Baru atau ASEAN 40th New Zealand Family. Miraka merupakan industri susu yang unik karena dimiliki oleh suku Maori, penduduk pribumi Selandia Baru. Miraka dalam bahasa Maori artinya susu.

Pabrik ini mendapat pasokan susu yang berasal dari 100 peternakan lokal yang berada pada radius 85 kilometer dari pabrik. Miraka memiliki kekuatan dan kemampuan untuk memproses lebih dari 250 juta liter susu menjadi susu bubuk dan produk susu lainnya setiap tahun. Pabrik mampu menghasilkan susu bubuk kering sebanyak 35 ribu metrik ton per tahun.

Pabrik yang dibangun dengan pendekatan kearifan lokal suku Maori ini sangat memperhatikan faktor kelestarian alam. Nilai-nilai dasar dari budaya suku Maori menjadi etos dan budaya perusahaan yang sedang membangun kekuatan bisnis di Asia Tenggara ini. “Miraka memiliki hubungan yang mendalam dengan masyarakat lokal, komitmen terhadap pemanfaatan sumber daya alam,” kata General Manager Business Development and Innovation Miraka, Kusal Perera.

Untuk lebih memahami rahasia bisnis perusahaan, ASEAN 40th Project Coordinator Anna Thomas mengajak Republika dan 20 wartawan lain dari 10 negara ASEAN mendatangi suku Maori yang berada setengah jam perjalanan menggunakan bus dari lokasi pabrik.

Setiba di the Marea (tempat pertemuan suku Maori), kami disambut tokoh masyarakat setempat. Sejumlah aturan pun harus kami taati selama berada di lokasi. Di antaranya, membuka sepatu sebelum masuk wharenui (rumah pertemuan leluhur Maori) dan tidak berjalan di depan tokoh Maori yang sedang menjadi pembicara.

Saat prosesi penyambutan, tokoh masyarakat Maori menyambut kami dengan menggunakan bahasa asli Maori. Seusai mereka berbicara, salah seorang di antara kami menjadi juru bicara untuk memberikan salam dengan menggunakan bahasa Maori yang sudah kami pelajari sebelumnya. Kemudian, kami menyanyikan salah satu lagu berbahasa Maori.

Bill Hall, salah seorang tokoh masyarakat Maori, menjelaskan apa yang disampaikan dalam bahasa Maori itu mengenai asal usul sukunya. Maori adalah penduduk pribumi yang tiba di Selandia Baru sekitar 1.000 tahun lalu. Kini, 15 persen dari populasi Selandia Baru adalah suku Maori dan 87 persen orang Maori tinggal di wilayah utara.

Pada 2010, ekonomi suku Maori menyumbang 37 miliar dolar AS bagi Selandia Baru dari investasi yang signifikan dalam bidang pertanian, perikanan, kehutanan, properti, pariwisata, energi, dan infrastruktur.

Prosesi penyambutan diakhiri bersalaman dengan cara unik yang disebut hongi, yakni menyatukan kening dan hidung sambil saling menghirup napas yang keluar dari hidung. Setiap rekan bisnis suku Maori juga melakukan hal serupa. Mereka meyakini rasa saling percaya yang menjadi modal utama berbisnis akan semakin terjalin erat setelah bersalaman ala Maori itu. Suasana terasa lebih akrab ketika tarian dan nyayian khas Maori yang dibawakan oleh para pelajar suku Maori juga menjadi suguhan bagi rekan bisnis, tamu, dan wisatawan yang hadir.

Perpaduan antara profesionalisme bisnis modern dan etika budaya lokal ini seolah menggambarkan bahwa untuk memajukan bisnis tidak perlu meninggalkan kearifan lokal. Selain itu, bisnis ala Maori ini menunjukkan industri modern juga bisa berdampingan secara harmonis dengan masyarakat setempat, bahkan penduduk pribumi bisa menjadi salah satu pemilik perusahaan tersebut.

Dan, yang paling penting adalah bagaimana peternakan sapi bisa digarap secara serius menggunakan teknologi tinggi yang ramah lingkungan sehingga menjadi pemasukan devisa yang besar dalam bidang agrobisnis sekaligus agrowisata bagi Selandia Baru.

Keesokan harinya, Brian, pemadu wisata yang juga sopir bus kami, mengajak ke pabrik susu lainnya, yakni Fonterra, yang terletak di daerah Waitoa, Waikato, Selandia Baru. Pabrik ini mampu menampung sekitar 3,5 juta liter susu per hari. Fonterra memproduksi sebanyak 97 ribu ton susu bubuk per tahun.

Waitoa terhubung dengan kereta api sebagai penghubung ke jalur utama distribusi. “Cara ini merupakan bagian dari strategi pengiriman logistik selama 20 tahun untuk mengurangi emisi karbon dan kemacetan di jalan raya,” kata General Manager Trade Strategy Cooperative Affairs Fonterra, Robb Stevens.

Menjaga kelestarian alam menjadi salah satu keharusan untuk menjaga ekosistem setempat agar tetap cocok sebagai ‘rumah’ bagi ratusan ribu sapi. Dengan iklim yang sejuk dan hamparan perbukitan luas yang ditumbuhi rumput, membuat sapi leluasa berkeliaran di sana. Proses penggemukan sapi dan produksi susu pun mendapatkan hasil yang maksimal.

Berkeliling di peternakan sapi di Mokai dan Waitoa tidak seperti melintasi peternakan yang kumpuh dan jorok, tetapi seperti melintasi hamparan taman yang luas dengan panorama alam yang indah. Sejauh mata memandang hanya rumput dan tumbuhan hijau yang terlihat. Kawanan sapi yang hidup berkelompok menambah hidup suasana selama perjalanan berwisata.

Dengan pemandangan itu, tidak membuat jenuh siapa pun jika harus menempuh tiga jam perjalanan menggunakan bus dari lokasi wisata alam Danau Taopu dan Sungai Waitoa, kembali ke jantung Kota Auckland yang menjadi pusat perdagangan Selandia Baru.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement