Selasa 09 Jun 2015 13:21 WIB

Hujan Bulan Juni Jadi Kenyataan, Ini Tafsiran Penulisnya

Rep: c34/ Red: Muhammad Fakhruddin
  Meski hujan, banyak warga yang mengisi waktu libur dengan berwisata ke kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Kamis (19/2).  (foto : MgROL_34)
Meski hujan, banyak warga yang mengisi waktu libur dengan berwisata ke kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Kamis (19/2). (foto : MgROL_34)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Hujan kembali melanda Jakarta, Selasa (9/6). Padahal, bukan hal yang lazim jika hujan turun di bulan Juni.

Lalu apa kata Sapardi Djoko Damono  penyair yang menciptakan puisi berjudul Hujan Bulan Juni, melihat fenomena saat ini. "Justru karena Juni tidak hujan, kalau ada hujan kan istimewa," kata Sapardi kepada Republika, Jumat (5/6).

Sapardi menulis sajak itu pada 1989. Kala itu banyak yang menyangsikan jika hujan terjadi di Bulan Juni, mengingat Bulan Juni biasanya sudah masuk musim kemarau.

Menurut Sapardi, meski kemarau sedang panas-panasnya, selalu dijumpainya sekali dua kali hujan turun di bulan Juni. Pria kelahiran Surakarta itu menginformasikan, orang Jawa menyebut fenomena itu sebagai hujan kiriman atau udan kiriman. “Bagi saya itu perlambang kasih sayang. Sayangnya hujan kepada pohon,” katanya.

Pemaknaan tersebut ia gambarkan dalam sajaknya. Dalam benaknya, hujan yang datang pada bulan Juni sungguh tabah, bijak, dan arif, karena mengetahui kerinduan yang dirasakan sang pohon.

Walaupun, hujan pun sesungguhnya menyimpan kangen dan ingin jatuh. Ada sebuah hubungan timbal-balik antara hujan dan pohon. Namun, ia menyampaikan bahwa penikmat sajaknya bebas membuat interpretasi apa saja. Sapardi mengatakan, mayoritas puisi yang ia buat bersifat umum, terbuka, dan bisa diartikan macam-macam.

“Saya hanya melukis dengan kata-kata. Perkara ditafsirkan apa saja terserah,” ujar Guru Besar Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta itu.

Sejak kecil, Sapardi sangat menggandrungi hujan dan acap bermain-main di bawah deras air langit. Hingga kini, saat berusia 75 tahun, ia tetap setia pada devosinya.

Baginya, hujan penuh berkah yang membuat Indonesia indah itu mengandung suatu polaritas yang memikat. Riuh suara yang disebabkannya berlawanan dengan kedamaian senyap dalam diri yang mengendap. “Di tengah ribut, ada suasana sunyi yang aneh bagi saya,” ia menjelaskan.

Puisi “Hujan Bulan Juni” termasuk salah satu karya istimewa bagi Sapardi, selain “Aku Ingin”. Peraih Penghargaan untuk Pencapaian Seumur Hidup dalam Sastra dan Pemikiran Budaya dari Akademi Jakarta tahun 2012 itu, menyukai imaji, kiasan, dan penggambaran yang ada di dalamnya.

Signifikansi itu membuat Sapardi mengembangkan sajak “Hujan Bulan Juni” menjadi sebuah novel. Tanggal 14 Juni mendatang, novel dengan judul yang sama akan diluncurkan secara resmi di Gramedia Central Park, Jakarta.

Pencinta hujan itu memaparkan, alur cerita dalam novel berakar dari isi sajak. Bedanya, hujan dan pohon ia konversikan dalam wujud tokoh laki-laki dan perempuan.

Proses kreatif Sapardi cenderung unik. Ia menikmati berkarya secara mengalir dan kerap terkejut dengan hasil akhir yang dibuatnya. Seolah tokoh rekaannya turut berpartisipasi membuat jalan cerita.

“Tokoh yang saya ciptakan itu berhak hidup dan membuat ceritanya sendiri,” tutur penyair yang menerbitkan buku kumpulan puisi “Sihir Hujan” pada 1984 itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement