Kamis 07 May 2015 20:31 WIB

Kepedulian, Mengatasi (Melestarikan) Kemiskinan

Kemiskinan adalah salah satu faktor penyebab gizi buruk.
Foto: Republika/M Fakhrudin
Kemiskinan adalah salah satu faktor penyebab gizi buruk.

Oleh: Budiyanto (Direktur Sekolah Kepemimpinan Bangsa)

 

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Beberapa hari yang lalu, masyarakat dihebohkan dengan pemberitaan media. Anak usia 11 tahun terpaksa mengemis di jalanan, untuk membayar hutang ayah dan ibunya yang telah meninggal. Hutang yang awalnya sebesar 2 juta, berkembang menjadi 6 juta-an. Angka yang cukup besar, bagi keluarga tidak mampu. Apalagi, ditengah kehidupan yang semakin sulit. Akibat naiknya harga berbagai kebutuhan hidup.

Syukur. Tak lama setelah diekspos media,  dengan sigap pak lurah, camat, dan Kepala Dinas Sosial Kabupaten Banyumas bersama-sama iuran melunasi hutang anak itu. Dan mulai saat itu, Dewi bisa bernafas dengan lega. Tak perlu lagi di jalanan, untuk mendapatkan uang 70 ribu/hari. 50 ribu buat  mengangsur hutang, sementara 20 ribu buat kebutuhan hidup.

Sungguh, apa yang dilakukan oleh pak lurah, camat, dan Kepala Dinas Sosial Kabupaten Banyumas, adalah perbuatan mulia yang patut di apresiasi. Layak menjadi contoh bagi setiap aparat pemerintahan. Bahkan setiap orang dalam kehidupan sosial. Tidak perlu bertanya-tanya lagi dalam hati, apalagi sampai curiga. Bagaimana keadaan Dewi jika tidak terekspos media? Adakah orang yang mau menolong? Yang jelas, apa yang pak lurah, camat dan Kepala Dinas Sosial Kabupaten Banyumas, lakukan adalah perbuatan mulia, sebagaimana diajarkan agama.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, bahwa tiada beriman kepadaku orang yang bermalam (tidur) dengan kenyang sementara tetangganya lapar padahal dia mengetahui hal itu. Cukuplah menjadi peringatan bagi orang yang beriman. Agar peduli kepada orang-orang yang ada disekitarnya. Bagaimana dengan pejabat negara yang terus menghendaki tambahan berbagai fasilitas kemewahan ditengah kemiskinan rakyatnya? Adakah (tersisa) iman pada diri mereka? Entahlah. Hanya tuhannya yang tahu.

Ada tiga pelajaran menarik yang dapat diambil, dari kasus Dewi Anggraini, yaitu: Pertama, bahwa kasus Dewi, sesungguhnya hanya satu diantara contoh kasus kemiskinan yang ada di Indonesia. Masih banyak lagi, Dewi-dewi lainnya yang tidak terberitakan oleh media. Bila mencermati data kemiskinan, akan didapati angka kemiskinan di Indonesia yang sangat tinggi. Bahkan diprediksi akan terus mengalami peningkatan.

Jumlah  penduduk miskin di Indonesia di tahun 2014 berada pada angka sekitar 28,28 juta jiwa, atau 11,25 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Dengan adanya kebijakan kenaikan harga BBM, listrik, elpiji, dan berbagai kebutuhan hidup lainnya, ditambah dengan terus melemahnya mata uang rupiah terhadap dolar, tentu akan semakin memperbesar angka kemiskinan. Diprediksi pada tahun 2015 ini, jumlah kemiskinan akan naik menembus angka 30,25 juta orang atau sekitar 12,25 persen dari jumlah penduduk Indonesia.

Kedua, tingkat kepedulian masyarakat Indonesia pada dasarnya sangat tinggi. Terlebih setelah memperoleh informasi adanya berita persoalan kemiskinan. Menjamurnya  lembaga kemanusiaan yang berhidmat membantu orang miskin, disatu sisi adalah bukti bahwa kepedulian masyarakat dalam persoalan kemiskinan cukup tinggi. Meskipun pada sisi yang lain juga menggambarkan bahwa persoalan kemiskinan terus meningkat, meski telah di tangani banyak lembaga kemanusiaan.

Ketiga, kemiskinan yang ada di Indonesia adalah kemiskinan struktural. Kemiskinan yang disebabkan oleh kebijakan negara yang berakibat memiskinkan rakyatnya. Jumlah kelas menengah di Indonesia, memang mengalami penambahan, namun kesenjangannya juga semakin menganga. Berbagai kebijakan yang memberatkan kehidupan, ditambah dengan kondisi ekonomi yang kurang stabil, membuat rakyat miskin bertambah miskin, kelas menengah bawah potensial menjadi miskin.

Kemiskinan yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah, mustahil diselesaikan dengan cara kegiatan sosial. Karena tidak akan banyak memberi pengaruh.  Keadaan semacam ini hanya bisa diselesaikan dengan cara struktural, melalui kebijakan. Cara charitas dan kegiatan sosial hanya mampu menyentuh wilayah permukaan dan dalam lingkup terbatas.

Teringat kata-kata Eri Sudewo, Founder Yayasan Dompet Dhuafa Republika, bahwa aktivitas penanggulangan kemiskinan di ranah grass-root, hanya berakibat pada tiga (3) T: Tidak Adil, Tidak Merata, dan Tidak Maksimal. Bahwa hanya mustahik yang punya akses yang dapat bantuan. Hanya mustahik yang mendapat rekomendasi yang lebih dapat bantuan. Dan hanya mustahik yang lokasinya terdekat yang mendapat manfaat. Yang tak punya akses, tak kenal, dan jauh keberadaannya, tak mendapat apa-apa.

Apa yang dilakukan oleh pak lurah, camat dan Kepala Dinas Sosial Kabupaten Banyumas, patungan melunasi hutang Dewi Anggraini, adalah perbuatan yang sangat mulia dan patut diteladani oleh semua. Bentuk kepedulian terhadap sesama yang membutuhkan. Secara personal, apa yang telah mereka lakukan adalah kebajikan. Sedekah kepada yang membutuhkan.

Namun, jika masih banyak kemiskinan, maka sebagai pemanggu kebijakan mereka belum sedekah, karena sedekahnya pemimpin adalah kebijakan.

Membantu satu atau dua orang miskin dalam lingkup bertetangga, cara charitas masih bisa diandalkan.

Namun, untuk mengatasi kemiskinan dalam sekala desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, apalagi dalam sekala negara sebesar Indonesia. Cara-cara charitas menjadi tidak effektif. Apalagi dilakukan oleh seorang presiden. Jika tidak hati-hati, dalam dosis tertentu  bisa merusak karakter. Alih-alih menyelesaikan kemiskinan, justru yang terjadi adalah melestarikan kemiskinan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement