Rabu 06 May 2015 20:50 WIB

Penjelasan Ahli Kebumian Terkait Longsor Pangalengan

Rep: C85/ Red: Djibril Muhammad
 Sejumlah personil gabungan TNI, Basarnas dan polisi melakukan pencarian korban longsor di Kampung Cibitung, Desa Margamukti, Pangalengan, Kabupaten Bandung, Rabu (6/5).   (foto : Septianjar Muharam)
Sejumlah personil gabungan TNI, Basarnas dan polisi melakukan pencarian korban longsor di Kampung Cibitung, Desa Margamukti, Pangalengan, Kabupaten Bandung, Rabu (6/5). (foto : Septianjar Muharam)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Longsor di Pangalengan, Jawa Barat yang terjadi Selasa (5/5) kemarin setidaknya menelan korban empat jiwa. Pipa uap panas bumi yang terhubung pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Wayang Windu yang dikelola Star Energy juga ikut rusak parah bahkan sempat menimbulkan suara ledakan karena tertimbun longsoran.

Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Surono menjelaskan, daerah yang terjadi longsor memang diketahui rawan longsor. Pangalengan bagian utara, menurut Surono, disebut tergolong aman. Hanya saja, Pangalengan bagian timur, selatan, dan barat tercatat rawan longsor.

"Daerah selatan barat timur memang sebagian besar masuk zona kerentanan gerakan tanah menengah sampai tinggi. Artinya daerah situ sering ada gerakan tanah. Gerakan tanah lama bisa aktif kembali bila dipicu curah hujan lebat yang lama," jelas Surono, Rabu (6/5).

Lebih lanjut Surono menyebut, Badan Geologi sebetulnya telah memberikan peringatan kepada pemerintah dan pengelola WKP Wayang Windu terkait daerahnya yang rawan longsor.

Pada akhir Maret, kata Surono, sudah ada retakan-retakan yang terlihat di lokasi kejadian. Kemudian 15 April 2015 lalu Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengirim surat kepada Badan Geologi untuk melakukan pemeriksaan di lapangan.

"Surat kita terima sekitar tanggal 28, dan selama dilakukan pemeriksaan tanggal 2 Mei di lapangan, memang sudah ada mahkota longsoran dengan panjang 150 meter dan lebar 253 meter. Lebar rekahan sekitar 20 sampai 30 cm. Bahkan ada penurunan tanah yang tingginya lebih dari 2 meter," ujar Surono.

Sejak itu, Surono mengaku pihaknya telah lakukan sosialisasi dengan BNPB daerah dan juga Star Energy untuk memberikan peringatan akan terjadinya longsor.

Saat ini, lanjut Surono, timnya sudah ke lapangan untuk menentukan apakah diperlukan relokasi atau tidak. Menurutnya, ada beberapa daerah yang harus direlokasi tapi ada daerah yang tidak harus direlokasi.

Lebih lanjut Surono menolak pernyataan pemerintah bahwa penyebab longsor lebih sebagai akibat gundulnya hutan. Surono menilai, daerah rawan longsor adalah murni karena kondisi geologi.

"Walaupun hutan kayak apapun juga, kalau daerah itu rawan longsor hutan hanya sekadar menghambat saja. Kalau longsor mungkin kayu dan tanah saling timbun. Gundul memang mempercepat proses longsor. Tapi dihutankan bukan berarti mengubah daerah rawan longsor menjadi tidak rawan longsor," lanjutnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement