Jumat 24 Apr 2015 06:00 WIB

Pudarnya Negara di Indonesia

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha

Negara hadir karena ada penduduk, ada wilayah, dan ada pemerintahan. Namun, negara bukan hanya itu karena bernegara berarti bersepakatnya orang-orang untuk melindungi segenap tumpah darah-manusia dan teritorinya.

Pergeseran kesepakatan dari tribalisme ke monarki, lalu ke sistem yang modern pada intinya pergeseran bobot dari kesejahteraan dan keadilan keluarga dan kelompok menuju ke kesejahteraan dan keadilan umum. Itulah negara modern.

Jika penyelenggaraan negara tak lagi mengindahkan kesejahteraan umum dan keadilan umum, makna negara pun pudar. Ini berarti bisa kembali ke sifat tribalistik, yang artinya fungsi pemerintahan menjadi dipertanyakan.

Situasi Indonesia saat ini mendekati ke arah pudarnya negara. Awalnya adalah terdikotomi ke dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP). Dua koalisi-pemenang dan pecundang pilpres-ini bertarung memperebutkan posisi pimpinan di DPR dan MPR.

Pihak yang kalah di parlemen membentuk pimpinan tandingan di DPR. Ujungnya adalah kompromi pembagian pimpinan di komisi. Setelah itu pertarungan bergeser di partai. PPP dan Golkar terbelah saat muktamar dan munas. Terjadi kepengurusan kembar. Ada faktor pull dari luar dan faktor push dari dalam. Bergabung ke KMP atau ke KIH, menjadi oposisi atau bergabung dengan pemerintah.

Pertarungan juga berlanjut dalam kepemimpinan Polri dan KPK. Secara kasat mata seolah itu kasus hukum belaka. Namun, sejatinya itu masih menjadi bagian dari pertarungan politik. Namun kali ini lebih rumit, tak tampak perkubuan politiknya. Tak lagi ke dalam dua kubu, tapi sudah multipolar-banyak kubu, termasuk faksi-faksi di koalisi pemerintah.

Hal ini juga terlihat pada pertarungan perebutan posisi wakil kepala Polri, lebih mencerminkan pertarungan internal koalisi KIH. Yang paling ekstrem adalah kontroversi pembentuk lembaga kepala staf kepresidenan. Kali ini lebih mengerucut lagi: pertarungan antara inner circle presiden melawan pimpinan KIH.

Pada sisi lain, pimpinan partai oposisi yang besar-besar mulai mendapat deal-deal ekonomi dari pemerintah. Rumitnya perundingan Blok Mahakam serta kontrak karya pertambangan lain, dan rencana divestasi saham sejumlah BUMN juga tak lepas dari soal perebutan kue ekonomi. Masuknya para relawan-lebih dari 600 nama yang berebut-menjadi komisaris di BUMN maupun perizinan bisnis serta proyek pengadaan di pemerintahan tak lepas dari politik balas jasa pada pemilu lalu.

Semua pertarungan politik dan perebutan kue ekonomi itu sama sekali tercerabut dari wacana yang konseptual. Tak ada lagi wacana Nawa Cita atau Revolusi Mental. Semua ini akibat belum beresnya konsolidasi politik. Hingga kini, belum ada tanda-tanda kapan akan berakhir. Padahal, ekonomi jalan terus-pada akhirnya, ekonomi menjadi penjurunya.

Pada awal pemerintahan, Jokowi telah mengambil langkah cepat: mengurangi segala subsidi. Semua masuk pada mekanisme pasar, harga-harga barang dan jasa naik dengan cepat. Akibatnya, beban hidup masyarakat meningkat. Nilai tukar rupiah anjlok pada titik terendah. Sedangkan, counter balance akibat pencabutan subsidi tak kunjung mengalir.

Sementara, pemasukan pajak pada kuartal pertama tak mencapai target. Roda ekonomi juga melesu. Para pengusaha mengeluh. Pada sisi ekonomi, memang ada faktor ekonomi global yang melemah. Juga jatuhnya harga komoditas serta menguatnya Amerika Serikat. Namun, sesuai hasil polling, popularitas Jokowi merosot secara signifikan setelah enam bulan berkuasa.

Jokowi adalah presiden yang bukan tokoh partai. Ini untuk kali pertama dalam sejarah reformasi. Kendatipun ia orang partai dan dicalonkan oleh partai, Jokowi tak memiliki kekentalan sebagai orang partai. Pada satu sisi, ini adalah kekuatan karena publik muak dengan kelakuan politisi.

Terbukti pula para kepala daerah yang moncer umumnya 'bukan orang partai', seperti Ridwan Kamil, Tri Rismaharini, maupun Nurdin Abdullah. Di sisi lain, ini adalah kelemahan. Jokowi mengalami kesulitan untuk melakukan konsolidasi politik.

Jokowi dipilih karena cinta publik terhadap dirinya. Bernegara adalah sesuatu yang sederhana. Kembalikan segala sesuatu kepada urusan publik kepada kepentingan rakyat banyak. Balaslah cinta dengan cinta. Radar kemanusiaan akan mudah bergetar setiap penguasa membuat kebijakan. Abaikan semua urusan keseimbangan dan pertarungan politik. Jadilah pendekar buta yang mengandalkan segala sesuatunya pada naluri dan nurani.

Jika Jokowi ikut dalam politik normal, Jokowi akan terus terjebak pada pertarungan para elite pemegang kuasa politik (oligarki) dan pertarungan para pemilik uang (plutokrasi). Situasi Indonesia saat ini memang memprihatinkan, Indonesia sedang berada dalam genggaman kaum oligarkis dan kaum plutokrat.

Mereka tak pernah memikirkan rakyat. Mereka sedang merobek layang-layang Indonesia hingga tak berbentuk lagi. Masing-masing puas dengan potongan-potongan yang mereka dapatkan. Tak ada lagi Indonesia.

Jika Jokowi merasa bukan bagian dari itu semua, ikuti naluri dan nurani saja. Kembali kepada asas lahirnya negara: untuk segenap tumpah darah-manusia dan teritori. Ujungnya adalah kesejahteraan, keadilan, dan kedaulatan. Dengan demikian, negara akan kembali hadir dan perlahan kita campakkan ramai-ramai para oligarkis dan plutokrat itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement