Ahad 12 Apr 2015 08:40 WIB

Cita (tanpa) Nawaitu

Pemimpin yang mendapat kepercayaan rakyat harus mengedepankan prinsip keadilan.
Foto: Blogspot.com
Pemimpin yang mendapat kepercayaan rakyat harus mengedepankan prinsip keadilan.

Oleh: Budiyanto, Manajer Unit Kepemimpinan Dompet Dhuafa.

 

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Sejak putusan MK yang menolak permohonan permohonan pengujian perselisihan hasil pilpres, maka pada saat itu rakyat Indonesia telah memiliki presiden baru. Terlepas dari pendapat adanya berbagai kecurangan hasil pemilihan presiden 2014, tapi kenyataannya hukum telah memutuskan bahwa Jokowi-JK telah dipilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden periode 2014-2019. Mulai saat itu, polemik pelaksanaan pilpres harusnya telah selesai.

Pemilih Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta, ataupun yang tidak memilih dalam pilpres, sama-sama akan kembali dengan aktivitas normal sebagai rakyat.  Petani, kembali menggarap ladang dan sawahnya. Pedagang, kembali ke pasar dengan dagangannya. Nelayan, kembali dengan aktivitas berlayarnya. Pegawai dan pekerja kembali dengan tugas pekerjaannya. Sementara calon presiden dan wakil presiden terpilih harus bekerja keras memenuhi janji-janjinya.

Rakyat mencatat, Jokowi-JK memiliki janji politik yang dikenal dengan Nawa Cita. Sembilan prioritas program yang akan dilaksanakan saat terpilih menjadi presiden dan wakil presiden. Barangkali, keadaan telah berbeda. Pada saat kampanye dengan saat harus bekerja. Jika waktu kampanye, rakyat bisa di yakinkan melalui media, juru kampanye, atau ahli marketing yang hebat, namun giliran bekerja rakyatlah yang merasakan. Benar tidaknya janji yang di kampanyekan, sekarang  rakyat yang menilai karena telah merasakan.

Enam bulan telah berlalu, rakyat seakan mulai ragu. Apakah Nawa Cita hanya sekedar cita-cita? Sebagai bahan Call for Paper yang diikutkan dalam lomba? Rakyat hanya merasakan, bahwa hari ini harga BBM telah naik, tarif listrik melonjak, kereta api tiketnya semakin mahal, gas elpiji semakin tak terbeli, ataupun kebutuhan hidup yang harganya menjadi tidak menentu.

Tidak perlu marah jika ternyata rakyat mengatakan bahwa Nawa Cita nir kenyataan. Karena enam bulan cukup menjadi pembuktian. Hukum semakin tidak adil, korupsi makin menjadi-jadi, sementara politik gontok-gontokan terus menerus menjadi tontonan. Apakah mungkin Jokowi-JK telah lupa, dengan Nawa Cita?

Jokowi adalah presiden, bukan lagi Gubernur DKI Jakarta, ataupun Walikota Solo. Boleh berbangga saat jadi wali kota, atau ketika jadi Gubernur DKI Jakarta. Barangkali benar telah banyak berjasa, atau mungkin juga rakyat belum sempat menilai hasil pekerjaanmu, sebagai gubernur ataupun wali kota. Karena engkau begitu terburu-buru meninggalkan rakyat yang telah memilihmu. Jangan sampai,  rakyat engkau tinggalkan lagi, kepercayaan sebagai presiden harus cepat engkau akhiri. Apakah  engkau lupa, ataukah sebenarnya tidak tahu apa saja  janjimu pada saat kampanye dulu?

Saat engkau blusukan, mungkin akan terlihat fotomu terpampang di dinding-dinding ruang pertemuan. Karena engkau adalah presiden kita. Apakah engkau pernah menghitung, berapa banyak biaya yang harus rakyat keluarkan, untuk memajang fotomu ditengah-tengah mereka? Mengapa mereka rela memasang fotomu ditempat yang paling terdepan? Karena mereka percaya kepadamu, hormat kepadamu, dan berharap banyak  Nawa Cita mu.

Pemilu telah selesai, dan engkaulah yang terpilih sebagai presiden.  Menang dalam Pemilu Presiden 9 Juli  lalu. Engkaulah presiden bagi segenap penduduk Indonesia.  Sekitar 240-an jiwa berada dipundamu. Keadilan dan kesejahteraan rakyat, keamanan, kehormatan dan martabat bangsa ini menjadi tanggung jawabmu. Jika hari ini rakyat menuntut banyak kepadamu, jangan salahkan mereka. Jangan anggap mereka cengeng ataupun tidak peduli denganmu.  Karena rakyat yang hanya bisa menilai, karena mereka telah merasakan  sendiri kebijakan-kebijakanmu.

Selama enam bulan ini, walapun tidak mampu melihat atau mendengar wujud Nawa Cita mu. Karena mungkin, terlalu sedikit media yang memberitakan, tapi sungguh, rakyat telah merasakan bahwa semua jauh dari kenyataan. Engkau menjanjikan, akan menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, melalui politik luar negeri bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya dan pembangunan pertahanan negara Tri Matra terpadu yang dilandasi kepentingan nasional dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim. Tapi bagamana yang terjadi?

Selanjutnya, engkau akan membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya, dengan memberikan prioritas pada upaya memulihkan kepercayaan publik pada institusi-institusi demokrasi dengan melanjutkan konsolidasi demokrasi melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu dan lembaga perwakilan.

Tentu, semua bisa melihat bagaimana keadaan hari ini. Engkau juga berjanji, akan menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya. Tapi, hari ini apa yang dapat dilihat  rakyat, atas polemik KPK vs Polri, ataupun penegakan hukum di negeri ini? Engkau juga menjanjikan untuk mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.

Namun, apa yang dapat dirasakan rakyat tentang kemandirian ekonomi ini? Mungkin akhirnya rakyat, mulai bertanya-tanya. Dimanakah sebenarnya Nawa Cita-mu itu? Karena tidak kunjung dapat jawaban tentang Nawa Cita, akhirnya rakyat mengira-ngira sendiri jawabannya.

Pertama, Nawa Cita bukan milikmu. Mungkin orang lain yang memiliki, sehingga wajar jika hari ini tidak ada padamu. Dengan jawaban itu,  rakyat akan memaklumi dan  akhirnya sadar bahwa mereka salah orang. 

Kedua, Nawa Cita-mu tertinggal ditempat kampanye. Kampanye sudah selesai, dan engkau telah terpilih menjadi presiden. Kesibukanmu semakin padat. Kabinet harus segera dibentuk. Berbagai “komitmen” harus dilunasi, dan “PR” pemerintah sebelumnya harus segera dikerjakan. Engkau lupa, bahwa Nawa Cita mu tertinggal ditempat kampanye.

Ketiga, Nawa Cita-mu ketutupan dengan cita-cita lain atau mungkin juga disembunyikan orang sehingga engkau tidak mengetahuinya lagi. Sehingga wajar, berbagai kebijakan yang engkau buat jauh dari nawacita saat kampanye.  

Keempat, nawacitamu tertukar atau mungkin telah di curi orang. Jawaban keempat ini, tentu sangat mengkhawatirkan. Karena negara dalam bahaya. Nawa Cita yang menjadikan alasan rakyat memilihmu, ternyata telah tertukar dengan cita-cita lain yang tidak sesuai dengan harapan rakyat. Entah sengaja atau tidak, ketika nawacita ini berubah dengan cita-cita lain yang merugikan rakyat, alasan apapun tidak bisa dibenarkan. Dan cukup pantas jika rakyat marah kepadamu.

Apalagi yang cukup menyakitkan adalah, jika ternyata Nawa Cita-mu dicuri orang. Sengaja ataupun tidak, kondisi inipun tidak bisa dibenarkan. Bagaimana mungkin engkau tidak hati-hati atau membiarkan Nawa Cita yang telah menjadi alasan rakyat memilihmu engkau biarkan dicuri orang?  Ada apa denganmu? Apakah mereka terlalu banyak dan kuat, atau memang engkau lemah dan tidak mampu menghadapinya?

Apabila Nawa Cita adalah alasan rakyat memilih, dan ternyata engkau biarkan tidak ada lagi. Maka cukuplah alasan bagi rakyat untuk meninggalkanmu. Kepercayaan yang telah diberikan rakyat engkau sia-siakan, bahkan terkesan engkau lupakan. Dan kini engkau malah asyik dengan duniamu yang semakin jauh dari rakyat. Pada akhirnya, Nawa Cita tanpa Nawaitu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement