Rabu 01 Apr 2015 23:59 WIB

Seandainya Menterinya Jokowi Mau Urusi Televisi

Tayangan televisi yang tidak sehat untuk ditonton publik.  (ilustrasi)
Foto: Antara/Agus Bebeng
Tayangan televisi yang tidak sehat untuk ditonton publik. (ilustrasi)

Oleh: Sri Nurhidayah, GM Pendidikan Dompet Dhuafa

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Di tahun 2009, American Economic Journal mempublikasi penelitian Benjamin A. Olken mengenai pengaruh televisi dan radio (http://economics.mit.edu/files/4120). Catatan penting dari penelitian tersebut adalah bahwa pertambahan channel televisi otomatis menambah jumlah waktu menonton dan pertambahan channel berpengaruh pada tingkat partisipasi kegiatan sosial yang lebih rendah. Orang lebih suka menonton televisi daripada terlibat dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan.

Saat Olken melakukan penelitian, di tahun 2009 ada 11 stasiun televisi, jumlah yang pasti bertambah setelah lima tahun ini. Satu hal yang penting dicatat dari penelitian ini adalah televisi menjadi kebutuhan primer masyarakat. Rumah boleh sempit, kotor, dan hampir roboh, namun televisi harus ada di rumah.

Survei AC Nielsen 2011, orang Indonesia menghabiskan waktu sebanyak 20 jam 15 menit seminggu untuk menonton televisi. Pada 2013 menjadi 28 jam per minggu atau lebih dari empat jam setiap hari. (http://www.kpk.go.id/id/berita/berita-sub/1893-virus-antikorupsi-dalam-film)

Mencemaskan melihat waktu yang dihabiskan masyarakat untuk menonton televisi. Sejumlah penelitian terkait hubungan perilaku dan kebiasaan menonton sudah banyak dikemukakan. Berbagai ajakan untuk mengurangi waktu menonton televisi juga dilakukan oleh sejumlah gerakan sipil, juga aduan terkait berbagai tayangan yang tidak mendidik. Selebaran (leaflet) tentang dampak negatif dari menonton televisi juga sudah banyak beredar.

Namun semua usaha itu tentu tidak sebanding dengan derasnya upaya stasiun televisi mengiklankan acara-acara mereka. Perlu usaha lebih keras dan itu hanya bisa dilakukan oleh yang diamanahi mengelola negara, pengambil kebijakan untuk masyarakat, yaitu pemerintah.

Sedikitnya ada dua departemen di pemerintah yang bisa sangat berperan dalam mengambil kebijakan terkait pertelevisian.  Kementerian Komunikasi & Informatika serta Kementerian Pendidikan & Budaya.  Seharusnya,  kedua menteri mau menggunakan kewenangannya dalam upaya mencerdaskan masyarakat dan membangun budaya yang lebih baik. Namun kenyataannya menteri Rudiantara dan mas Menteri, Anies Baswedan lebih senang menunggu masyarakat menggunakan kewenangannya menggunakan remote untuk mematikan televisi.

Frekuensi  sebagai ranah publik yang merupakan sumber daya alam terbatas, seharusnya ditujukan untuk kemaslahatan masyarakat sebesar-besarnya. Namun hari ini secara kasat mata pemerintah membiarkan berbagai acara yang memberikan teladan buruk bagi anak-anak sebagai penontonnya. Sinetron dengan cerita yang tidak masuk akal ditayangkan berseri, film asing disulihsuarakan yang mematikan minat baca, juga acara debat kusir setiap hari.

Seandainya pemerintah mau mengatur, masyarakat dapat dipaksa cerdas lewat menonton televisi. Bukan otomatis bodoh karena menonton televisi. Jika masyarakat yang berpunya, mungkin termasuk para artis yang membintangi sinetron berseri, dapat memilih saluran berbayar berkualitas untuk anak-anaknya, tidak dengan masyarakat kebanyakan. Seri-seri ilmu pengetahuan;  discovery, national geographic, BBC dan lainnya hanya bisa dinikmati masyarakat berpunya. Pengetahuan, stimulasi berpikir semua diperoleh. Sementara masyarakat kebanyakan diberikan informasi kebencian lewat sinetron, contoh pemimpin lewat perdebatan, berita remeh perceraian & hedonisme serta iklan-iklan yang merangsang berbagai keinginan bukan kebutuhan.

Bapak Menteri Rudi dan Mas Menteri Anies, apakah akan anda biarkan budaya televisi kita di sinetron menjadi budaya anak-anak kita? Beranikah anda membuat kebijakan sebagai sedekah anda sebagai pemimpin? Kami menunggu anda!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement