Senin 16 Mar 2015 05:53 WIB

Koalisi Sunni-Syiah untuk Lawan ISIS

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Dalam beberapa kali berkunjung ke Iran saya melihat telah banyak perubahan terjadi di negara Imam Khamanei itu. Amerika Serikat (AS) dan Israel memang masih mereka jadikan musuh utama. Namun, tensi permusuhan terhadap dua negara yang sering dianggap sebagai ‘banyak dipengaruhi Lobi Yahudi itu’ sebenarnya sudah sangat menurun.

Sekitar sepuluh tahun lalu nada kebencian kepada dua negara itu masih sangat masif. Baik lewat coretan dan tulisan di dinding-dinding rumah warga, spanduk, dan umbul-umbul, maupun diteriakkan dalam aksi-aksi unjuk rasa. Atau disampaikan lewat pidato para pejabat dan tokoh masyarakat. Termasuk dalam khutbah Jumat.

Kini rasa permusuhan terhadap AS dan Israel hanya tampak di pagar tembok bekas Kedutaan Besar AS di Tehran. Atau lewat perbincangan dengan sejumlah pejabat Iran. Misalnya ketika kami bertemu dengan Manouchehr Mottaki (mantan Menlu Iran yang kini menjadi debuti kepala Majma’ at Taqrib), Hossein Entezami (Debuty Minister for Press and Information Iran), dan Mohammad Hosein Hashemi (Deputi Presiden Iran untuk urusan Budaya).

Semua perubahan itu tampaknya by design. Para pemimpin Iran agaknya sadar untuk mensejahterakan rakyat tidak cukup dengan yel-yel kebencian. Yang diperlukan adalah memobilisasi potenti rakyat. Revolusi mental untuk bekerja keras dan kreativitas warga pun dicanangkan.

Apalagi Iran masih harus menghadapi sanksi PBB (baca: Barat) berupa embargo ekonomi. Sanksi yang diterapkan lantaran Iran dituduh sedang membangun reaktor nuklir. Reaktor nuklir yang dimaksudkan sebagai kemandirian energi listrik Iran, namun ditanggapi pihak Barat dengan tuduhan ingin membangun senjata nuklir.

Sebagai bangsa besar, sanksi itu dihadapi Iran dengan kepala tegak. Kini dalam beberapa tahun saja Iran telah berhasil menjadi sebuah bangsa dan negara yang mandiri dan berdikari. Sandang, pakan, dan papan pun sudah tercukupi. Mereka bahkan juga mampu memproduksi pensenjataan canggih sendiri.  Kita pun sering dikejutkan dengan berita tentang uji coba persenjataan militer Iran yang jarang atau bahkan tidak pernah kita dengar.

Ada rudal balistik yang bernama ‘Kautsar’,  terpedo bawah laut yang berjuluk ‘Hoot’, rudal jarah jauh yang dinamai ‘Shahab’, senjata penghancur tank dan helikopter militer Apache, meriam ‘Al Hanud’ dan ‘An Nour’, dan lainnya. Di bidang transportasi, mereka sudah lama mampu memproduksi mobil nasional dengan berbagai merek. Ada Saipa, Runna, Samand, Pride, dan Tondar.

Di bidang ilmu pengetahuan, Iran sudah mempunyai Royan Institut di Tehran. Institut ini merupakan  pusat riset di sektor reproduksi, bio medicine, dan stem cell. Mereka bahkan sudah berhasil menkloning domba. Dua orang periset Indonesia kini sedang bekerja di Royan Institut ini.

Sedangkan di bidang teknologi, Iran sudah mempunyai Pardis Techno Park yang merupakan pusat riset dan pengembangan teknologi tinggi. Menempati lokasi seluas 100 hektare -- dan baru terpakai 38 hektar --, pusat teknologi canggih di pinggiran Teheran ini berada langsung di bawah kendali lembaga kepresidenan. Mereka bekerja sama dengan berbagai industri nasional Iran untuk mengembangkan hasil riset yang dihasilkan oleh lembaga ini.

Sebagai kebanggaan nasional, di Teheran juga sudah berdiri sebuah tower berketinggian 435 meter yang diberi nama Tehran Milad Tower. Menara yang selesai dibangun pada 2007 ini tampak gagah menjulang ke langit. Ketinggiannya hanya bisa dikalahkan oleh Tokyo Skytree, Canton Tower (Guangzhou), CN Tower (Toronto), Ostankino Tower (Moskow), dan Oriental Pearl Tower (Shanghai). Dibandingkan dengan gedung-gedung tertinggi di dunia, Milad Tower menempati urusan ke-17.

Milad Tower ini merupakan bagian dari The Tehran International Trade and Convention Centre. Di dalamnya terdapat menara telekomunikasi, restoran dengan pemandangan panorama Teheran, hotel bintang lima, ruang konferensi, ruang pameran karya seni, perdagangan, dan teknologi. Dan, yang terpenting dari semuanya, pengerjaan tower dari awal hingga akhir dilakukan oleh ahli-ahli Iran sendiri, tanpa melibatkan orang asing.

Di bidang sosial dan budaya, Iran pun  sudah lebih terbuka. Kaum perempuan bebas beraktivitas di luar rumah. Mereka berbakaian modis, menyetir mobil, dan bekerja di berbagai sektor. Bahkan para jurnalis yang di banyak negara didominasi kaum laki-laki, di Iran 60 persen juru warta adalah perempuan.

Sementara itu, dalam bidang agama, seperti disampaikan Debuti Kepala Majma’ at Taqrib, Mottaki, Iran adalah negara yang moderat, toleran, dan menghargai perbedaan. Meskipun mayoritas warga Iran menganut Syiah, kata Mottaki, namun para penganut  Sunni, pemeluk agama Kristen, Yahudi, Zeroaster, dan lainnya bebas melaksanakan agama dan keyakinannya.

Baik Mottaki, Hashemi maupun Entezami menolak bila dikatakan Iran merupakan negara Syiah. Mereka pun menyebut bahwa revolusi yang dipimpin Imam Khomeini untuk menggulingkan Shah Iran pada 1979 adalah Revolusi Islam dan bukan Revolusi Syiah. Nama negara juga bukan Republik Syiah Iran tapi Republik  Islam Iran.

Maj’mak at Taqrib adalah sebuah lembaga independen yang berada langsung di bawah Mursyid A’la Iran yang kini dijabat Ayatullah Imam Khamenei. Keberadaan lembaga ini, menurut Mottaki, dimaksudkan untuk menjalin kerja sama antar-mazhab, termasuk yang menyangkut hubungan Sunni-Syiah. Kerja sama yang sudah mulai dirintis oleh Al Azhar, Mesir, pada masa Sheikh Mahmud Syatut. Sedangkan di Indonesia kerja sama itu telah dirintis secara aktif ketika KH Hasyim Muzadi menjadi Rois ‘Aam PBNU lewat   International Conference of Islamic Scolar (ICIS).

Menurut Mottaki, kerja sama ini harus terus dilanjutkan. Kerja sama yang didasarkan pada kesamaan dan bukan perbedaan. Ia pun mengajak para ulama  Indonesia yang menganut Sunni untuk berkoalisi dengan ulama Iran dalam memberantas keberadaan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). ‘‘Da’isy adalah musuh bersama, baik bagi Iran maupun Indonesia. Keberadaan Da’isy sangat membahayakan,’’ katanya. Da’isy adalah singkatan dari Daulah Islamiyah fi al Iraq wa as Syam/Suriah alias ISIS.

Ajakan Mottaki ini diamini Duta Besar Indonesia untuk Iran, Dian Wirengjurit. Menurut Dian, pihaknya akan segera menghubungi sejumlah ulama Indonesia untuk menyelenggarakan pertemuan, baik di Teheran maupun di Jakarta, untuk menjalin kerja sama antar-ulama kedua negara. ‘‘Yang perlu diingat, kerja sama ini harus didasarkan atas kesamaan. Misalnya, bagaimana kita sama-sama melawan ideologi takfiri ISIS,’‘ katanya dalam suatu pertemuan di Teheran.  Ideologi takfiri adalah yang mengkafirkan orang lain yang berbeda pandangan dengan mereka/ISIS.

Namun, lanjut Dian, kerja sama ini semustinya tidak terbatas antar-ulama dua negara, namun juga antar-pelaku ekonomi. Dalam pandangan Dian, dengan kemajuan ekonomi dan teknologi yang dicapai Iran sekarang ini seharusnya kerja sama itu bisa menguntungkan pihak Indonesia. Yang paling menjanjikan, ia menyebut tentang kerja sama perdagangan di bidang minyak dan gas yang sangat melimpah di Iran.

‘‘Sayangnya, pengusaha Indonesia yang datang ke Iran seringkali level keempat atau kelima. Bukan bosnya langsung. Ketika pihak Iran langsung menyetujui kerja sama itu, pihak Indonesia langsung gelagapan, karena bukan pengambil keputusan. Intinya, pengusaha Indonesia belum siap,’’ keluh Dian.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement