Kamis 05 Feb 2015 06:19 WIB

ISIS, Irak, dan PSSI

Didi Purwadi
Didi Purwadi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Didi Purwadi

Email: [email protected]

Pesta akbar Piala Asia 2015 telah selesai, tuan rumah Australia keluar sebagai juaranya. Sementara timnas Irak, yang berambisi mengulangi momen indah saat menjadi juara 2007, gagal mewujudkan mimpinya tersebut.

Meski hanya mampu menembus babak semifinal, timnas Irak patut diberikan dua jempol. Karena mereka tetap mampu berprestasi di tengah konflik negeri yang terus berkecamuk. Bahkan belasan nyawa melayang selepas Irak mengalahkan Yordania 1-0 di laga pembuka Grup D Piala Asia 2015 pada 12 Januari lalu.

Raqqa, kelompok anti-ISIS, menyebut 13 anak remaja dieksekusi mati karena dinyatakan bersalah lantaran menonton siaran pertandingan antara Irak kontra Yordania tersebut. Mereka ditangkap lalu dikumpulkkan di sebuah lapangan di distrik Mosul dan kemudian ditembaki dengan senapan mesin di depan umum, termasuk di depan orang tua mereka.

"Anak-anak ini bersalah!!! --melanggar aturan agama karena menonton sepak bola-- disuarakan dengan keras lewat loudspeaker sebelum mereka akhirnya dieksekusi," sebut laporan Raqqa yang dikutip Daily Mail.

Jasad para suporter muda timnas Irak itu dibiarkan tergeletak di tengah lapangan. Para orang tua tidak berani mengambil jasad anak-anak mereka karena khawatir ikut dibunuh.

Ini bukan kali pertama kelompok militan memanfaatkan momen akbar turnamen sepak bola untuk mempertontonkan aksinya. Pada perhelatan Piala Dunia 2014, aksi tak kalah kejamnya terjadi.

ISIS memenggal kepala seorang mayor polisi lalu mengunggahnya lewat akun Twitter dan mengaitkannya dengan Piala Dunia. "Inilah bola kami, terbuat dari kulit manusia #Piala Dunia," tulisnya seperti dikutip Daily Mail.

Konflik sektarian yang mendera Irak ketika mereka menjuarai Piala Asia 2007 hingga kini mereka tampil di Piala Asia 2015 sudah pasti mengganggu timnas mereka. Pelatih timnas Irak, Radhi Shenaishil, mengakui kondisi Irak yang tengah porak-poranda membuat timnya kesulitan untuk melakukan latihan dan laga persahabatan.  

Namun, krisis politik yang mendera Irak itu justru menjadi motivasi tersendiri bagi para pemain Irak. "Kami telah melalui banyak masalah di negara kami. Karena itu, sangat penting bagi kami untuk bisa membawa kebahagiaan kepada warga di negara kami," kata bek Dhurgham Ismail. "Kami ingin memberikan kesan yang baik. Kami tentu ingin menghadirkan kegembiraan," kata Radhi.

Ke mana Nasionalisme?

Kondisi dalam negeri Irak boleh porak poranda, tapi timnasnya sebaliknya justru kompak ingin memberikan kebahagiaan bagi rakyat Irak. Semangat nasionalisme telah memberi energi ekstra sehingga timnas Irak tetap mampu berprestasi meski kondisi dalam negeri mereka karut marut. 

Lalu, apakah semangat nasionalisme telah luntur atau bahkan telah hilang sehingga timnas Indonesia selalu menemui kegagalan? Rully Nere setidaknya salah satu yang menyakini hal tersebut. 

Dalam acara talkshow di Cikini, Jakarta, pada 20 Desember lalu, legenda sepak bola nasional itu mengatakan. hilangnya rasa kebanggaan para pemain sepak bola menjadi faktor menurunnya kualitas sepak bola nasional.

"Para pemain saat ini tidak ada rasa kebanggaan terhadap timnas. Perasaan itu yang beda dengan pemain timnas era saya," kata Rully Nere. "Saat ini faktor uang yang dominan. Beberapa pemain yang saya latih belum apa-apa mereka sudah tanya berapa nilai kontraknya."

Sementara anggota Tim Sembilan, Imam Prasodjo, menilai persoalan sepak bola Indonesia lebih karena telah hilangnya national buildings.

Persoalan itulah yang kemudian menginfeksi segala persoalan lainnya di tubuh sepak bola. Mulai kasus sepak bola gajah, mafia pengaturan skor, pengelolaan manajemen yang kurang baik, hingga merosotnya performa timnas.

"Kami mencoba memahami bahwa ada nilai-nilai kebangsaan yang telah hilang di sepak bola Indonesia," kata sosiolog Universitas Indonesia tersebut.

Mempertanyakan Nasionalisme PSSI

Bagaimana dengan para petinggi PSSI? Apakah rasa nasionalisme juga telah hilang pada diri mereka? Apakah mereka menjadi pengurus PSSI karena memang ingin memajukan sepak bola nasional?

Untuk jawaban dari pertanyaan tersebut, pernyataan Isran Noor patut dicermati. Isran, yang dilengserkan La Nyalla Mattalitti dari posisi ketua Badan Tim Nasional (BTN), menilai masalah sepak bola nasional karena hilangnya kesadaran pengurus PSSI untuk memajukan prestasi.

"Saat ini yang terjadi, banyaknya pengurus yang berlomba-lomba menjadikan PSSI sebagai alat mengeruk kekayaan," ujar Isran yang gagal masuk daftar 11 bakal calon ketua umm PSSI 2015-2019 yang telah ditetapkan Komisi Pemilihan pada Januari lalu.

Ucapan Isran cukup beralasan karena PSSI memang menjadi tempat perputaran uang. Faktanya, meski sepak bola nasional minim prestasi, PSSI masih tetap bisa mengeruk pemasukan miliaran rupiah. Sekretaris Jenderal PSSI, Djoko Driyono, menyebut angka Rp 131 miliar untuk pemasukan PSSI selama 2014.

Pergerakan jelang Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI pada 18 April juga patut dicermati untuk mendapatkan jawaban, apakah para pengurus memang benar-benar ingin memajukan sepak bola nasional atau mempertahankan kekuasaan.

Persija Muda disebut-sebut mengusung La Nyalla Mattalitti sebagai calon ketua umum PSSI 2015-2019. Apakah dukungan tersebut sebagai bentuk balas jasa karena Persija Muda baru saja disahkan sebagai anggota PSSI dalam kongres pada Januari kemarin?

Semen Padang pun kabarnya memberikan dukungannya untuk La Nyalla. Sekali lagi, apakah dukungan ini sebagai balas jasa karena Semen Padang telah dimaafkan atas ‘dosa besarnya’ bergabung dengan Liga Prima Indonesia?

PSSI yang bisa menjawabnya. Namun, yang pasti adalah kekejaman ISIS tidak mampu memporak-porandakan rasa nasionalisme pada timnas Irak. Tapi, kepentingan kelompok yang menghancurkan nasionalisme.

Karena itu, kita berharap Kongres PSSI pada 18 April mendatang tidak ditunggangi oleh kepentingan kelompok demi kekuasaan. Karena, jika itu terjadi, jangan terlalu berharap timnas kita mampu meraih prestasi. Wallahualam bissawab.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement