Senin 02 Feb 2015 21:35 WIB

ERI, Gerbang Menuju Pemilu Nan Demokratis

Rep: Rr Laeny Sulistyawati / Red: Djibril Muhammad
Pemilu 2014
Foto: Republika/Musiron
Pemilu 2014

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Indonesia meresmikan berdirinya Institusi riset di bidang kepemiluan atau Electoral Research Institute (ERI).

ERI berdiri untuk mewujudkan tata kelola pemilihan umum (pemilu) menjadi lebih baik, sederhana, dan efisien.

Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI, Dr Adriana Elisabeth mengatakan, ERI merupakan sebuah lembaga riset kepemiluan yang bersifat independen, non-partisan, dan inklusif.

Gagasan pembentukan ERI berawal saat LIPI bekerja sama dengan Komisi Pemilihan Australia (Australian Electoral Committee/ AEC) dengan melakukan penelitian.

Riset penjajakan itu dimulai pada Februari sampai April 2014 lalu. Studi penjajakan itu awalnya untuk mengetahui respon intelektual, wartawan, KPU, Bawaslu.

Hasil riset itu, kata dia, kemudian dipresentasikan 22-24 April 2014. Dari pemaparan riset itu diketahui bahwa perlunya dibentuk institusi riset yang khusus di bidang kepemiluan untuk perkembangan perbaikan substansial pemerintahan Indonesia.

Hal itu yang mendorong sejumlah peneliti politik dan kepemiluan membentuk lembaga riset bernama ERI.

"Riset-riset yang dihasilkan ERI akan mendukung dan para pembuat kebijakan dan penyelenggara pemilu. Lembaga ini diharapkan dapat memberikan sumbangan untuk peningkatan kualitas pemilu di Indonesia," ujar Adriana saat acara Desain Pemilu Serentak 2019 dan Peluncuran ERI, di Jakarta, Senin (2/2).

Kelahiran ERI ini ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara KPU dan LIPI di Jakarta pada 24 November 2014 lalu.

"Proses pembentukan ERI ini mendapat dukungan pemerintah Australias, antara lain berupa pertukaran pengetahuan tentang riset kepemiluan dengan AEC dan Commisioner Advisory Board for Electoral Research (CABER)," katanya.

Sementara Ketua KPU Indonesia Husni Kamil Manik mengatakan, meski telah menggelar empat kali pemilu sejak reformasi 1998, ternyata masih banyak permasalahan dalam tata kelola dan pelaksanaan pemilu.

Misalnya, masih saja dijumpai masalah daftar pemilih, politik uang, tingginya angka golongan putih (golput), hingga surat suara tidak sah. Bahkan hasil akhir sidang penetapan pemenang pemilihan umum presiden (pilpres) 2014 lalu sempat alot dan sampai diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK).

Masing-masing kubu calon presiden (capres) juga memberikan penilaian yang tidak bagus kepada KPU. Kubu capres yang menang hanya memberikan nilai biasa, sementara capres yang kalah tentu merasa tidak puas dengan hasil MK.

Persoalan itu diakuinya belum banyak direspon melalui kebijakan yang tepat. Apalagi, belum banyak kebijakan kepemiluan yang dilakukan secara obyektif berdasarkan hasil penelitian.

Untuk itu, pihaknya sengaja menggandeng KPU Australia dalam pembentukan ERI ini, karena ia mendengar ada lembaga riset di Australia yaitu CABER yang sangat berpengaruh terhadap penyelenggaraan pemilu negaranya.

Namun, kata dia, KPU tidak dibenarkan mendapatkan bantuan dari asing atau luar negeri secara langsung. Untuk itu, karena ERI merupakan lembaga untuk kepentingan riset maka pihaknya memilih LIPI untuk mengembangkan ERI bersama-sama.

"ERI diperlukan untuk penyelenggaraan pemilu di Indonesia sudah baik atau perlu ada catatan peningkatan, hingga perbaikan kekurangan. Kami ingin dinilai obyektif," ujarnya.

Diakui Husni, walaupun usia ERI masih muda, tetapi ada beberapa gagasan yang sudah dihasilkan.

Menurut peneliti senior ERI yang juga peniliti LIPI, Prof (Ris) Dr Syamsuddin Haris, pihaknya fokus pada tata kelola pemilu agar lebih baik, sederhana, dan efisien.

Lembaga ERI ini berbentuk konsorsium yang terdiri dari tokoh-tokoh yang ahli dalam kepemiluan seperti mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sri Nuryanti dan Ramlan Surbakti. Lalu ada mantan komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan mantan ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD).

Selain Syamsuddin Haris, peneliti LIPI lainnya juga ikut terlibat yaitu Ikrar Nusa Bhakti dan Nur Hasyim. Sedangkan dari kalangan perguruan tinggi ada Saldi Isra dari Universitas Andalas, Mada Sukmajati dari Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Siti Aminah dari Universitas Airlangga.

Kalangan organisasi non-pemerintah kepemiluan juga ikut bergabung seperti Direktur Populi Center Nico Harjanto, hingga aktivis Perludem Didik Supriyanto. "Dengan pengalaman-pengalaman itu, kami yakin rekomendasi ERI bisa membangun tata kelola pemilu yang lebih baik, efisien, dan sederhana," katanya.

Ke depannya, kata dia, rekomendasi yang dihasilkan ERI tidak menutup kemungkinan mencakup standarisasi kaidah akademik lembaga survei, sertifikasi lembaga survei ketika akan melakukan survei, hingga opsi e-voting yang dilihat sejauh mana mampu diadopsi pada pemilu serentak 2019 mendatang.

Sementara itu, Kepala LIPI Iskandar Zulkarnain mengatakan, pengembangan ilmu pengetahuan menjadi sesuatu yang penting untuk menjawab persoalan bangsa ini. Dalam hal ini, ilmu pengetahuan seperti riset memiliki hasil yang bisa dipertanggungjawabkan dan memberikan alternatif kebijakan yang ideal untuk mengatasi berbagai masalah yang sedang terjadi.

"Oleh karena itu, saya berharap agar ERI dapat berkiprah dan berkontribusi melalui konsep dan pemikirannya dalam memperbaiki kebijakan kepemiluan atas dasar riset-riset yang dihasilkan," ujarnya.

Ia yakin, melalui penelitian, keinginan untuk mendorong kualitas prosedural dan substansial demokrasi pada satu sisi dan pada sisi yang lain mendorong peningkatan kualitas proses dan substansi tata kelola penyelenggaraan pemilu di Indonesia yang lebih baik dapat diwujudkan.

Pada akhirnya, kata dia, rekomendasi ERI bisa melahirkan pemikiran yang bisa memperbaiki kehidupan demokrasi dan memperbaiki kualitas tata kelola pelaksanaan pemilu di Indonesia.

Sementara itu, Representative of CABER Professor Ian McAllister menyambut baik kerja sama antara CABER dan KPU maupun LIPI dalam pembentukan ERI. Menurutnya, keterlibatan lembaganya dalam ERI mampu menjadi wadah pertukaran pikiran mengenai permasalahan penelitian kepemiluan.

Menurutnya, adanya lembaga ERI mampu menciptakan diskusi yang lebih terstruktur. Hasil dari diskusi dan penelitian yang berupa riset ini diharapkan dapat menambah kontribusi positif pembenahan badan penyelenggara pemilu.

Di Australia, ia menyebutkan, CABER selama ini melakukan banyak riset yang mengangkat topik menarik untuk pemilu. "Kami melakukan penelitian mengenai suara sah, hak pengetahuan politik, hingga rancangan kertas suara. Semua kegiatan ini untuk bagaimana badan penyelenggara pemilu memetik hasil riset kepemiluan," ujarnya.

Selain itu, pengetahuan dibagikan ke masyarakat dengan tujuan untuk memperbaiki sistem kepemiluan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement