Senin 02 Feb 2015 08:49 WIB

Tak Acuhkan Sejarah Tamatlah Kita

Kota Baghdad, salah satu warisan kejayaan Islam.
Foto: YouTube
Kota Baghdad, salah satu warisan kejayaan Islam.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nashih Nashrullah/[email protected]

Tragedi pembumihangusan Baghdad pada 1258 M oleh Hulagu Khan menyisakan trauma yang mendalam dalam sejarah Islam. Bukan hanya meninggalkan korban jiwa yang tak sedikit, lebih dari itu, peristiwa jatuhnya Baghdad di tangan Mongol adalah awal dari tercerabutnya umat Islam dari sejarah keemasan mereka. Dari bangunan hingga karya-karya tulis berharga, sebagian besar dimusnahkan. Selama beberapa abad kemudian, peradaban Islam berada di titik nadir.

Ketakutan yang sama juga muncul dari sebagian kalangan pada era sekarang. Perang tak berujung di negara-negara sentral, pusat peradaban Islam, meliputi Irak, Suriah, Palestina, dan Yaman mengancam kelestarian situs-situs bersejarah. Pada saat yang bersamaan, lanskap pembangunan juga ikut andil memantik keresahan serupa, seperti apa yang berlangsung di Arab Saudi kini.

Berbagai tanda tanya besar pun muncul jika mengaitkan benang merah di berbagai wilayah itu. Benarkah ada skenario sistematis untuk menjauhkan genarasi Islam mendatang dari akar sejarah mereka?

Sangat mungkin. Peninggalan sejarah apa yang kelak akan kita dongengkan ke anak cucuk kita?

Warisan peradaban Islam secara pasang surut terus mendapat ancaman kebinasaan. Ini beriringan dengan situasi dan kondisi perpolitikan. Apa yang terjadi di Suriah dan Irak dulu adalah bukti kekhawatiran itu terjadi.

Dalam kasus Suriah, perang saudara yang melibatkan Rezim Basyar al-Asad dan pejuang revolusioner meng akibatkan setidaknya empat titik utama kawasan bersejarah terancam binasa. Keempat wilayah itu telah ditetapkan sebagai situs warisan dunia oleh Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB, yakni Damaskus yang resmi masuk warisan dunia pada 1979, Kota Bosra pada 1980, Palmyra pada 1980, dan kota bersejarah, Aleppo, 1986.

Efek bombardir artileri berat, bangunan- bangunan bersejarah tak luput dari ancaman tersebut. Masjid Jami' al- Umawi, misalnya. Masjid yang dibangun Khalifah al-Walid bin Abdul Malik itu belum lama ini mendapat serangan luar biasa dari rezim Asad. Untuk kedua kalinya, masjid bersejarah ini menjadi sasaran.

Aksi brutal atas Masjid al-Umawi memicu reaksi keras cendekiawan Muslim. Mereka yang tergabung di Persatuan Ulama Syam memprotes tindakan tersebut. Ini dianggap menodai kehormatan Islam dan sejarahnya. Asad secara resmi menyadari kesalahannya itu dan memerintahkan Gubernur Aleppo, Muhammad Wahid Aqqad, segera merenovasi kerusakan.

Ketika rezim Hulagu Khan melakukan agresi dan ekspansi ke beberapa wilayah Islam--termasuk Suriah (dulu Syam)--masjid al-Umawi, kembali mengalami kehancuran. Tentara Hulagu Khan membakar masjid tersebut dan membunuh warga.

Sadar bahwa warisan bersejarah berfungsi identitas sebuah kaum maka saat Rezim Dinasti Mamluk berkuasa di Suriah, Masjid al-Umawi, mendapat perhatian serius. Renovasi besar-besaran dilakukan. Pada 684 H/ 1285 M Khalifah al-Manshur Saifuddin Qalawun al-Ulufi al-Alai as-Shalihi menyempurnakan pembangunannya.

Seorang filsuf dan juga seniman asal Irak yang hidup pada abad 12 M Muwaffaq al-Din Abdl al-Latif al-Baghdadi, mendo kumentasikan gairah para penguasa itu untuk mempertahankan dan menjaga wa risan bersejarah. Sosok yang pernah bertemu langsung dengan Shalahuddin al- Ayyubi itu melakukan lawatan ke beberapa negara, seperti Palestina, Syam (Suriah kini), Irak, dan Mesir.

Tokoh yang dikenal pula sebagai pelancong itu mencatat dalam kitabnya yang berjudul Al-Ifadah wa al-I'tibar fi al-Umur al-Musyahadah wa al-hawadits al-Muayanah fi al-Ardh, kesadaran pelesta rian situs-situs tersebut dianggap sebagai bentuk mempertahankan sebuah identitas. Agar, generasi mendatang mengatahui dinamika perjalanan bangsa terdahulu mereka. Dengan demikian, bisa mengambil pelajaran dan tak mudah tercerabut dari akar budaya.

Kepedulian untuk melestarikan situs-situs bersejarah peninggalan masa lalu tersurat dengan tegas di kutipan bait syair gubahan seorang qadi yang hidup pada abad keenam Hijriyah, yaitu Abu Ya'la al-Ma'ari. Ia menulis:

Aku melintasi sisa puing-puing peninggalan Firaun

Ada tumpukan batu dan cangkul di sana

Jika itu dibiarkan, maka bisa memancing pengerusakan

Baik oleh orang yang lalu lalang atau pengunjungnya

Di puisinya itu, tokoh yang yang bermazhab Syafii itu bertutur tentang kurangnya pemeliharaan terhadap warisan nenek moyang. Ini terlihat dari menumpuknya bebatuan sehingga bisa mengancam eksistensi situs tersebut.

Abu Ya'la prihatin. Dia mencermati, berempati, peka, lalu mencatat. Tangan jahil dan ulah brutal manusia bisa membumihanguskan warisan berharga itu. Jauh sebelum dunia Barat melek akan pentingnya pemeliharaan warisan leluhur melalui pendirian UNESCO pada 1945.

Situs-situs sejarah itu merupakan warisan yang tak ternilai. Terlepas dari apa pun identitas dan maksud sebuah bangunan, setidaknya, peninggalan para pendahulu itu menjadi bahan renungan bagi generasi muda, sejauh manakah urgensi sejarah dan tentang identitas!

Negara-negara adidaya menjadi kuat dan besar justru karena mempertahankan sejarah dan segala 'aksesorinya', sementara kita, entah sengaja atau tidak, malah memusnahkan jejak leluhur kita.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement