Sabtu 31 Jan 2015 22:06 WIB

Budaya Malu dan Mengundurkan Diri

Asma Nadia
Foto: Republika/Daan
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Asma Nadia

Di Indonesia, budaya malu dalam pertanggungjawaban moral masih rendah. Nyaris tidak pernah kita melihat seorang tokoh atau pemimpin mundur ketika melakukan kesalahan atau gagal dalam menjalankan tugasnya.

Terlepas setuju atau tidak,  mundurnya Bambang Widjojanto dari jabatannya sebagai wakil pimpinan KPK,   adalah salah satu bentuk kepeloporannya bagi budaya bangsa, untuk menjunjung tinggi rasa pertanggungjawaban moral.

"Saya tunduk pada konstitusi, undang-undang, dan kemaslahatan kepentingan publik. Itu sebabnya saya mengajukan surat itu dengan alasan di atas kepada pimpinan KPK," seru Bambang ketika mengumumkan pengunduran dirinya.

Sekalipun ia menyadari  bahwa kasus yang menjeratnya ini (terkesan) diada-adakan, Bambang akan mengikuti proses hukum yang berlaku.  Ia sadar, ini bukan sekedar salah atau tidak bersalah, tapi persolan hukum yang (lagi-lagi terkesan dipaksakan) menjerat tentu akan banyak menyita waktu dan perhatian.

Ada dua pelajaran  yang bisa diambil oleh bangsa Indonesia atas peristiwa ini. Pertama budaya taat hukum. Terlepas apa yang kita yakini dan apa yang kita ketahui, hukum harus dihormati. Proses hukum harus tetap dijalani.

Kedua, budaya malu. Saya percaya sebenarnya Bambang Widjojanto bisa saja menemukan berbagai alasan untuk tidak mundur,  tapi ia memilih mundur.  Lelaki yang puluhan tahun mengabdikan hidupnya dalam membela kepentingan rakyat ini ingin menunjukkan pada bangsa Indonesia budaya patuh hukum dan budaya malu jika tidak patuh pada hukum.

Kadang ketika kita bicara malu, kita sama sekali tak menyinggung tentang melanggar hukum atau tidak.

Rasa malu sebetulnya bisa membuat seseorang berhenti melakukan sesuatu yang buruk sekalipun keburukan tesebut belum di atur hukum dan undang undang.

Dalam sebuah hadist Rasulullah bahkan bersabda, budaya malu adalah pesan yang dibawa para nabi sejak dulu dan budaya malulah yang membuat manusia bisa mengontrol diri.

“Sesungguhnya di antara ungkapan yang dikenal manusia dari ucapan kenabian terdahulu ialah: Jika engkau tidak malu, berbuatlah semaumu.” [HR. al-Bukhari]

Saya teringat ketika klub Wigan Athletic dikalahkan Tottenham Hotspur di White Hart Lane, pada tahun 2011 dengan skor yang memalukan 9 -1. Para pemain tidak hanya kecewa juga malu, hingga semua pemain sepakat  mengembalikan uang tiket penonton sebagai kompensasi atas penampilan buruk mereka. Apakah mereka punya kewajiban mengembalikan uang tiket? Tidak. Tapi kenapa dilakukan semata terdorong rasa malu.  Mereka menghukum diri sendiri agar punya alasan kuat untuk bisa bangkit.

Di tahun 2013 Menteri Pendidikan Jerman Annette Schavan mundur setelah gelar doktornya dari sebuah universitas dicabut karena tuduhan menjiplak. Meski memilih mundur,  Annette Schavan  menggugat putusan universitas tersebut.

"Saya tidak akan menerima putusan universitas tersebut dan akan membuat gugatan hukum. Saya tidak pernah menyontek atau menjiplak. Tudingan ini sangat berat."

Ia meninggalkan pos kementrian demi kepentingan bangsa, karena tidak mau masalah pribadinya mengganggu tugas, sekalipun yakin tidak bersalah.

"Sebagai pemegang gelar doktor yang sudah dianugerahkan 31 tahun lalu dan telah mengawasi sejumlah kandidat doktor, saya malu (dipermalukan)," tegasnya.

Di Jerman juga tahun sebelumnya 2012, Presiden Jerman, Christian Wulff, mengundurkan diri setelah terjebak dalam skandal korupsi. Jika dilihat nilai yang diungkap benar-benar skandal kecil dibanding banyak kasus korupsi di Indonesia. Ia dituduh mendapat gratifikasi dari temannya ketika berlibur serta mendapat pinjaman kredit rumah (bukan hadiah) dengan bunga rendah.

Sekalipun bersikeras "selalu bertindak benar menurut hukum"  sang presiden tetap memilih mundur karena tidak ingin masalah pribadi mengganggunya menjalankan tugas .

"Tanah kita membutuhkan presiden yang dapat mendedikasikan dirinya untuk tantangan nasional dan internasional." jelasnya.

Masih ada begitu banyak contoh yang sebenarnya bisa dipaparkan sebagai pembelajaran banyak pihak di tanah air.

Mengutip perkataan orang, di Indonesia banyak politisi unggul tapi sedikit negarawan bijak. Banyak orang yang bisa berhasil mencapai puncak kekuasaan tapi tidak bisa menjalankan kekuasaan untuk rakyat,

Kalau saja rasa malu bisa menjadi budaya bangsa, Indonesia akan jauh lebih sejahtera dan terhormat.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement