Jumat 16 Jan 2015 06:00 WIB

Charlie Hebdo; Kebebasan vs Kekerasan

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha

Tariq Ramadan, seorang cendekiawan muslim Eropa, pernah berdialog dengan Stephane Charbonnier, pemimpin redaksi majalah satiris Charlie Hebdo, yang terbunuh pada serangan 7 Januari lalu. Pria kelahiran Jenewa, Swiss, ini adalah profesor di Universitas Oxford. Dia juga cucu Hassan Al Banna, pendiri Ikhwanul Muslim. Dalam artikelnya di harian The Guardian, Inggris, ia menceritakan pengalamannya dalam suatu debat dengan Charb. Ia menghormati prinsip kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat yang dianut Charb, termasuk menolak segala bentuk sensor. Namun Tariq mengingatkannya agar hal itu dilakukan dengan lurus dan benar.

Tariq pun menyebut tindakan Charlie Hebdo yang memecat seorang kartunisnya pada 2008. Ini gara-gara sang kartunis membuat lelucon tentang seorang Yahudi yang memiliki hubungan dengan anak Presiden Sarkozy, presiden Prancis saat itu. “Saya katakan bahwa kebebasan berekspresi itu ada batasnya. Tidak setiap hal bisa dikatakan. [Namun ternyata] Ada standar ganda,” tulisnya.

Tragedi. Itulah yang terjadi di kantor Charlie. Ada 12 orang meninggal akibat serangan itu, termasuk seorang polisi beragama Islam, Ahmad Murabith. Serangan teroris itu segera menyedot perhatian dunia. Simpati pada korban, termasuk pada Charlie, segera mengalir. Kecaman terhadap teroris dan tindakan barbarnya pun bermunculan. Di ranah media sosial segera hadir tagar #NotAfraid (tidak takut). Juga #JeSuisCharlie (saya Charlie). Muncul pula #JeSuisAhmed (saya Ahmed). Juga #JeNeSuisPasCharlie (saya bukan Charlie).

Dari semua tagar itu, yang terbanyak tentu #JeSuisCharlie, sangat jauh melampui lainnya. Tagar ini dibuat Joachim Roncin, dari majalah gratis Stylist, yang terbit di Inggris. Joachim adalah wartawan musik dan film. Tagar itu dibuat satu jam setelah peristiwa. “Saya kehilangan kata-kata,” katanya. Namun hadirnya #JeSuisAhmed dan #JeNeSuisPasCharlie bukan tanpa sebab. Mereka bersimpati terhadap korban dan mengecam terorisme. Namun mereka tak mau diidentikkan dengan Charlie. Mereka menilai majalah itu telah menghina keyakinan dan perasaan orang. Majalah itu tak hanya memparodikan Islam dan Nabi Muhammad SAW, tapi juga agama lain seperti Kristen dan Katolik. Juga lelucon tentang Paus, pemimpin tertinggi Katolik, maupun siapapun dan apapun juga.

Dalam situasi itu muncul pendapat Bill Donohue, presiden Liga Katolik: umat Islam berhak marah. Sedangkan semua pemimpin Islam di dunia mengecam aksi terorisme di Paris itu, termasuk Tariq. Namun hampir semua umat Islam di dunia tak terima penghinaan yang dilakukan Charlie. Kantor majalah ini beberapa kali mendapat ancaman kekerasan dan terorisme, bahkan pernah dibom. Karena itu pemerintah Prancis memberikan pengamanan khusus terhadap Charlie. Suatu kali Charb berucap, “Saya tak memiliki istri dan anak. Juga tak memiliki anjing. Namun saya tak akan bersembunyi.” Charb seorang penganut kebebasan tulen yang pemberani. Charb lupa di seberang sana ada yang merasa telah terlampaui oleh kebebasan Charlie. Hal itu terungkap jelas di lini masa media sosial. Salah satu netizen mengutip kata-kata Voltaire, filsuf besar Prancis: “Saya tak sependapat dengan yang Anda katakan, tapi saya akan membela sampai mati hak Anda untuk mengatakan hal itu.”

Pers di Amerika Serikat memilih tak turut memuat ulang kartun-kartun yang melecehkan itu. Sedangkan media-media di negara-negara Eropa tak sedikit yang memuat ulang – atas nama memberikan konteks pemberitaan. Ada pula yang memang sengaja memuat ulang sebagai bentuk perlawanan terhadap teror dan segala bentuk sensor. Selain ada faktor mengukuhi kebebasan, negara-negara Eropa pada umumnya memang memiliki sejarah monolitik. Hal itu misalnya berbeda dengan negara Amerika Serikat yang plural sejak awal, seperti halnya Indonesia. Pluralitas itu memberikan pengalaman batin yang berbeda. Ada sensitivitas, ada tenggang rasa, ada toleransi.

Kita ingat bagaimana koran Jyllands Posten dari Denmark, atas nama kebebasan, menurunkan rangkaian kartun yang menghina Nabi Muhammad SAW. Muncul aksi protes dan demo di seluruh dunia. Namun Charlie justru menerbitkan ulang. Kartun Jyllands Posten ini menimbulkan hilangnya nyawa sekira 200 orang. Bisa saja jika ada yang mengatakan bahwa orang-orang itu tak siap berbeda pendapat. Bisa saja mengatakan bahwa tindakan teroris itu lebih menghina Nabi SAW daripada yang dilakukan mereka, termasuk oleh Charlie.

Di level obrolan warung kopi, pembicaraan soal ini bisa panas juga. Di media sosial, tak ubahnya hanya garis kontinum, bahkan bisa lebih keras. Saling caci maki dan menghinakan. Debat yang tiada putus antara liberalisme dan fundamentalisme. Karena itu bagi para pemikir harus ada diskusi yang melampaui permukaan. Slavo Zizek, filosof asal Slovenia, dalam artikelnya di NewStatesman tentang kasus Charlie, berucap: “Kini saat yang tepat menghimpun keberanian untuk berpikir.” Zizek menukik ke dasar liberalisme. Ia bertanya: “Lalu apa nilai-nilai inti dari liberalisme: kebebasan, kesetaraan, dan seterusnya?” Ia mengkritisi kaum libertarian. Karena itu ia menutup tulisannya dengan menyitir kata-kata pemikir mazhab Frankfurt, tradisi teori kritis, Max Horkheimer: Siapapun yang menolak mengkritisi kapitalisme harus bungkam terhadap fasisme. Dalil itu oleh Zizek dijadikan nisbah untuk menilai tragedi Charlie: Siapapun yang menolak mengkritisi demokrasi liberal harus bungkam terhadap fundamentalisme agama.

Dalam hal ini Anthony Giddens, salah satu sosiolog terbesar saat ini, mengingatkan ihwal bangkitnya fundamentalisme, bukan hanya fundamentalisme agama tapi juga fundamentalisme jender dan ekologi. Dalam sebuah bukunya, ia mencatat lema fundamentalisme muncul pada akhir 1950an di kamus Oxford. Sesuatu yang relatif baru. “Fundamentalisme merupakan penolakan terhadap model kebenaran yang dihubungkan dengan keterlibatan dan pertukaran gagasan secara dialogis di ruang publik. Fundamentalisme itu berbahaya karena dipersenjatai dengan potensi kekerasan.” Namun Giddens tak hendak cuma mengecam fundamentalisme. Ia justru menilai, seperti gugatan Zizek, “Pencerahan telah kehabisan tenaga...yang kita butuhkan saat ini adalah semacam pencerahan baru...Kita hidup di dalam dunia yang benar-benar rusak, yang memerlukan perbaikan radikal.”

Era modern ini lahir dari Pencerahan di Eropa pada Abad Pertengahan, yang justru dengan mengadopsi pencerahan dari peradaban Islam. Giddens menilai kini dibutuhkan pencerahan baru. “Radikalisme politik tak bisa diam puas dengan radikalisme neoliberal.” Ya neoliberal mengagungkan kekuatan pasar dan individualisme, seperti yang dikukuhi Charb.

Sudah saatnya Timur kembali menyinari Barat seperti di masa lalu. Kita menolak kebebasan yang menghinakan, menistakan, dan merendahkan. Jika sebaliknya, seperti kata Zizek, mereka tak punya hak mengkritisi fundamentalisme agama karena mereka tak akan pernah paham. Peradaban global adalah peradaban yang timbang terima, tidak searah. Ada dialog dan keterbukaan. Terjadi kesetaraan antarbudaya, tak seperti kisah Robinson Crusoe yang memandang peradaban di luar Barat harus ditaklukkan dan diadabkan dalam ukuran mereka. Harus ada saling hormat, saling percaya, dan toleransi. Itulah pers yang sehat di zaman baru, zaman ketika tiap budaya saling berinteraksi secara damai dan setara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement