Senin 05 Jan 2015 06:00 WIB

Obama Gagalkan Kado Tahun Baru Palestina

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Kalau tidak digagalkan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, bisa jadi berikut ini menjadi kado awal tahun yang paling membahagiakan buat bangsa Palestina. Kado itu berisi bahwa Madinatul Quds (Jerusalem Timur) merupakan Ibu Kota Negara Palestina, pembebasan para pejuang Palestina dari penajara-penjara Israel, dan realisasi kesepakatan damai yang adil dan menyeluruh antara Palestina-Israel. Termasuk di dalam ‘kesepakatan damai yang adil dan memenyeluruh’ itu adalah penarikan pasukan dan warga sipil Israel ke batas sebelum Perang 1967 dalam dua tahun, penyelesaian persoalan air dalam jangka waktu 12 bulan, serta adanya pihak ketiga untuk mengawasi penarikan pasukan Israel dan menjamin kedaulatan Negara Palestina dan Israel.

Sayangnya, kado yang berupa rancangan resolusi untuk mengakhiri penjajahan Zionis Israel atas Tanah Air Palestina itu langsung ditolak oleh Obama tepat menjelang pergantian tahun. Dalam sidang Dewan Keamanan (DK) Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) yang membahas rancangan resolusi yang diajukan Yordania -- mewakili 22 negara Arab -- pada 30 Desember lalu, delapan dari 15 negara anggota DK mendukung. Mereka adalah Prancis, Rusia, Cina, Argentina, Chad, Cile, Luksemburg, dan Yordania. Lima negara abstain alias tidak memberikan suara, yaitu Inggris, Lithuania, Nigeria, Korea Selatan, dan Rwanda. Sementara itu, dua negara -- Amerika Serikat (AS) dan Australia -- menolak.

Namun, lantaran AS merupakan anggota tetap DK PBB yang mempunyai hak veto, rancangan resolusi tersebut otomatis gugur seketika. Empat negara lain yang menjadi anggota tetap DK PBB adalah Rusia, Cina, Inggris, dan Prancis. Pengajuan rancangan resolusi untuk mengakhiri penjajahan Israel atas Tanah Air Palestina itu dilakukan lantaran Palestina marah terhadap AS dan Israel. Palestina -- yang kemudian didukung Liga Arab -- menuduh Presiden Obama lewat delegasi yang dipimpim menteri luar negerinya, John Kerry, tidak serius ketika memprakarsai perundingan antara Palestia dan Israel. Presiden Palestina, Mahmud Abbas, menuding AS terlalu didikte oleh Zionis Israel.

Ia menunjuk tentang persyaratan perundingan yang diajukan Palestina selalu ditolak AS, sementara mereka selalu menerima persyaratan Israel. Sebagai misal, Palestina menuntut agar sebelum dimulai perundingan Israel harus menghentikan pembangunan pemukiman Yahudi di tanah Palestina. Namun, hal ini selalu diabaikan oleh AS. Obama menyatakan perundingan harus tanpa syarat apapun. ‘‘Jangan dokar disuruh menarik kuda,’’ ujarnya ketika ia berkunjung ke Timur Tengah beberapa waktu sebelum proses perundingan dimulai dua tahun lalu. Lantaran AS sebagai pemrakarsa perundingan terlalu berat sebelah, maka sudah bisa diprediksi bahwa pembicaraan perdamaian antara Palestina dan Israel akan menemui jalan buntu alias gagal total.

AS sendiri mengakui perundingan damai selama genap setahun telah berakhir pada April tahun lalu tanpa membuahkan hasil. Karena itu bisa dimaklumi bila kemudian Palestina mendesak Liga Arab lewat Duta Besar Yordania untuk PBB, Dina Kara, untuk mengajukan rancangan resolosi ke DK PBB bagi mengakhiri pendudukan Zionis Israel di Tanah Air Palestina. Namun, lagi dan lagi, rancangan itu pun ditolak mentah-mentah oleh AS. Apalagi negara Tuan Barack Obama itu mempunyai senjata pamungkas yang bernama ‘hak veto’. Alasannya pun sangat klasik. Seperti disampaikan juru bicara departemen luar negeri AS, rancangan resolusi Palestina itu tidak konstruktif dan tidak memenuhi kebutuhan keamanan Israel.

Menanggapi penolakan AS itu, Presiden Palestina dikabarkan sangat marah. Ia pun langsung menandatangani Statuta Roma buat bergabung dengan Mahkamah Kejahatan Internasional (International Criminal Court/Pengadilan Kriminal Internasional) atau ICC. Dengan bergabung dengan ICC, maka akan memungkinkan pihak-pihak di Palestina untuk menuntut para pejabat Israel -- sipil maupun militer -- dengan dakwaan kejahatan perang. Langkah Presiden Mahmud Abbas ini akan semakin mudah setelah Majelis Umum PBB pada November 2012 meningkatkan status Palestina menjadi ‘negara pengamat bukan anggota. Statuta Roma atau yang sering disebut sebagai The International Criminal Court Statute adalah sebuah penjanjian atau pakta untuk mendirikan the International Criminal Court (ICC).

Ide pembentukan ICC muncul dari sebuah konferensi yang diikuti para delegasi diplomatik di Roma pada 1998. Pada 2002, ICC yang berada di bawah payung PBB ini mulai diterapkan. Kini sebanyak 122 negara telah ambil bagian. ICC atau Pengadilan Kriminal Internasional ini bermarkas di Den Haag, Belanda. Fokus ICC adalah untuk menyeret dan mengadili para pelaku kejahatan genosida, kejahatan terhadap perikemanusiaan, dan kejahatan perang -- baik secara individu maupun kelompok. Bila proses pengadilan di ICC dilakukan dengan adil dan jujur tanpa ada campur tangan kekuatan besar dunia, para pejabat Palestina yakin bahwa mereka akan bisa menyeret para pejabat Negara Zionis Israel -- baik yang masih menjabat maupun yang mantan pejabat -- dengan tujuhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Namun, langkah menuju ke sana -- menyeret para pejabat dan mantan pejabat Israel yang terlibat terhadap kejahatan perang dan kemanusiaan -- masih sangat panjang dan berliku. Kekuatan-kekuatan besar dunia seperti AS dan beberapa negara Barat lainnya akan terus melindungi kepentiangan Zionis Israel. Karena itu, berbagai pihak yang peduli kepada kemerdekaan, kemanisaan, dan anti penjajahan diharapkan untuk terus menerus mendukung perjuangan bangsa Palestina.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement