Selasa 30 Dec 2014 06:00 WIB

Perpecahan Partai Politik

Professor Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Professor Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Dalam teori politik modern, partai politik (parpol) merupakan salah satu pilar demokrasi terpenting. Orang tidak mungkin membayangkan demokrasi tanpa parpol. Jika suatu negara yang menyebut dirinya memakai sistem demokrasi, tetapi tanpa parpol atau hanya dengan partai tunggal, maka publik dunia akan mencibirkannya sebagai sesuatu yang  absurd (di luar nalar).

Sesungguhnya juga tidak kurang absurd-nya jika pada suatu negara ada beberapa parpol, tetapi hanya satu yang menjadi parpol negara, sedangkan yang lain hanyalah sekadar pengiring, seperti yang berlaku di Indonesia antara 1973-1998: Golkar, PPP, dan PDI. Golkar yang pada waktu itu masih malu-malu menyebut dirinya sebagai parpol, dalam realitas politik sepenuhnya berfungsi sebagai partai penguasa, kendaraan Presiden Soeharto dalam format demokrasi semu.

Dengan lengsernya Soeharto pada 1998 dan munculnya gerakan reformasi, peta politik Indonesia berubah secara dramatis dan drastis. Parpol baru segera bermunculan sebagai pesaing partai yang ada. Anehnya Golkar yang sudah menjadi partai di bawah kepemimpinan Akbar Tandjung malah tidak turut hancur bersama dengan tumbangnya sistem Orba (Orde Baru) dan berakhirnya sejarah dwi-fungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) yang sekian lama menjadi pendukung rezim Soeharto.

Pertanyaan yang kemudian harus dijawab adalah: dengan jumlah parpol yang ada, apakah demokrasi Indonesia sudah semakin sehat dan kuat? Bagaimana pula dengan perpecahan parpol, apakah bukan berarti bahwa demokrasi Indonesia sedang mengidap penyakit kekanak-kanakan? Bagi saya, demokrasi Indonesia belum sehat dan belum kuat karena belum mampu keluar dari penyakit anak kecil yang suka bertengkar, sekalipun pemimpinnya adalah orang tua yang gagal menjadi negarawan.

Perpecahan politik bukanlah fenomena baru di negeri ini. Jauh di abad yang lalu, tiga ideologi politik besar: Islam, marxisme, dan nasionalisme, semuanya pernah dilanda sengketa oleh berbagai sebab: perbedaan dalam menafsiran ideologi yang dinaut atau karena perbedaan kepentingan sesaat. Perpecahan yang seru sekarang ini sedang menimpa PPP dan Golkar, sedangkan PDI yang kemudian mengalami metamorfosis menjadi PDI-P di bawah kepemimpinan Megawati telah lebih dulu diancam perpecahan. Arus besarnya tetap berpihak kepada trah Bung Karno via Megawati yang dinilai cukup tegar berhadapan dengan rezim Orba. Anak-anak Bung Karno lainnya yang juga punya ambisi kekuasaan tidak seorang pun yang mampu menyaingi Megawati. Apakah pasca-Megawati misalnya, PDI-P akan tetap utuh dan bebas dari perpecahan, kita serahkan saja kepada sejarah untuk menjawabnya. Siapa tahu akan muncul pemimpin baru, baik dari trah Bung Karno atau tokoh lain yang berwibawa, demi masa depan PDI-P yang utuh sebagai pilar demokrasi yang sehat dan kuat.

Dibandingkan dengan perpecahan PPP sekarang, apa yang melanda Golkar tampaknya lebih berat dan kompleks, kekuatan kedua kubu hampir berimbang. Sedangkan PPP Djan Faridz hanya didukung oleh tiga wilayah: Yogjakarta, Bali, dan Papua Barat. Sisi yang agak memalukan dari PPP adalah ambisi Surya Dharma Ali (SDA) sebagai tersangka masih saja bersikukuh untuk bertahan sebagai Ketua MPP, sementara wibawanya telah terkuras.

Begitu juga posisi KH Maimoen Zubair yang diperebutkan oleh pihak-pihak yang bertikai dalam PPP sungguh tidak patut. Sebaiknya kiyai yang sudah berusia 86 tahun ini melepaskan dirinya dari semua jebakan politik yang dapat menguras energinya di usia lanjut. Baiknya PPP Romahurmuzy mau pun PPP Djan Faridz menasehati Kyai Maimoen agar tidak lagi turut bermain dalam politik yang ganas dan sering tidak beradab itu. Begitu juga pihak KPK agar segera menuntaskan kasus SDA. Jangan dibiarkan berlama-lama tergantung tak bertali. Kasihan PPP dan kasihan yang bersangkutan.

Sebagai partai yang lahir dari rahim Orba, PPP harus berani keluar dari kotak pengap perpolitikan Indonesia, jika mau bertahan secara bermartabat. Islam yang masih sering disebut di lingkungan partai ini jangan hanya dipajang sebagai etalase politik, sedangkan dalam prilaku keseharian tidak banyak berbeda dengan lain. Rakyat sekarang sudah semakin cerdas dalam menentukan pilihan terhadap parpol.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement