Selasa 23 Dec 2014 06:00 WIB

Islam Dalam Krisis (III)

Professor Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Professor Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Puncak kemegahan rezim Turki Usmani terjadi pada abad ke-16, terutama di bawah Sultan Sulaiman Yang Agung (1520-1566). Kemegahan ini terjadi juga dengan melibas suku-suku kecil Turki yang semula bersifat otonom dalam bentuk keamiran, sehingga protes mereka berbunyi: “Mengapa sultan menghabisi kami sesama Muslim, bukan yang non-Muslim.” Sesungguhnya yang dihabisi itu bukan hanya suku-suku kecil Turki itu, rezim Safawi yang syi’ah juga diperangi, di samping  memerangi daerah Balkan, Hungaria, bangsa-bangsa Arab di Asia Barat dan Afrika Utara. Lagi-lagi, sebuah imperium memang dibangun di atas tengkorak manusia, Muslim atau non-Muslim. Umat Islam pada umumnya larut dalam kemegahan kekuasaan rajanya, tetapi sedikit sekali yang mau merenung dan mengoreksi proses kemegahan itu diraih. Sikap moral kebanyakan kita lemah sekali.

Tidak berapa lama setelah puncak kemegahan Turki Usmani di bawah Sulaiman, menjelang akhir abad ke-16, pihak Barat yang Kristen mulai memasang tali lasso untuk mencekik leher umat Islam di berbagai bagian wilayah dunia. Inilah kesaksian Toynbee tentang masalah ini: “Sungguh, menjelang akhir abad ke-16, pihak Barat, berkat penaklukkannya atas Lautan, telah berhasil melemparkan tali lasso ke sekitar leher Islam; tetapi barulah di abad ke-19 pihak Barat berani menarik tali itu dengan kuat.” (Lih. A.J.Toynbee, Civilization on Trial and The World and the West (Cleveland and New York: The World Publishing Company, 1963, hlm. 248). Artinya, di abad itu, hampir seluruh  bangsa Muslim tersungkur menjadi manusia terjajah. Turki yang pernah perkasa itu menjelang akhir abad ke-18 sudah diberi gelar sebagai “Orang sakit Eropa.”

Krisis panjang yang hina ini sangat melelahkan umat Islam sejagat, tetapi untuk menjadi siuman betul, alangkah sulitnya. Penguasa Muslim yang menyukai rakyatnya sebagai penurut paling bertanggung jawab atas segala malapetaka ini. Pukulan sejarah bertubi-tubi rupanya belum cukup untuk membangunkan dan menyadarkan umat akan tugas besar sejarah yang dipikulkan Alquran ke atas pundaknya. Jangankan sadar, sebagian mereka malah menikmati hidup di bawah sistem penjajahan itu sebagai manusia budak yang penurut dan peniru. Iqbal menulis: “Kredo si budak adalah tiruan. Dan kerjanya adalah membuat citra palsu. Dalam beragama, pembaruan baginya adalah sebuah dosa….Matanya terpaku pada masa silam, tetapi buta tentang masa depan.” (Lih. Iqbal, Gulshan-I-Râz-I-Jadîd dan Bandagî Nâmah, terjemahan M Hadi Hussain. Kashmiri Bazar-Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1977, hlm. 59).

Lagi Iqbal dengan lebih tajam tentang mental budak ini: “Si budak secara murahan terbelah dua antara agama dan kearifan: dia mengusir jiwanya untuk mengamankan badannya dan, sekalipun nama Tuhan bertengger di bibirnya, sasaran sesembahannya adalah keperkasaan penguasa.” (Hlm. 60). Penguasa busuk semacam inilah yang menghancurkan Islam dari dalam sepanjang sejarah, sekalipun bangsa-bangsa Muslim telah merdeka dari sistem penjajahan asing. Pergolakan dunia Arab sejak 2010 yang lalu adalah perlawanan keras terhadap rezim-rezim  Muslim yang busuk dan rakus ini.

Tetapi krisis belum usai. Sejak beberapa waktu yang lalu muncul pula kelompok ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) dengan Abu Bakar al-Baghdadi sebagai pemimpin puncaknya yang mengaku sebagai khalifah dunia Islam. Faksi Kawarij baru ini akan membunuh siapa saja yang tidak sefaham dengannya, Muslim dan non-Muslim. Kekacauan politik yang dahsyat di dunia Arab adalah pemicu utama bagi munculnya gerakan semisal ISIS ini. Barat, khususnya Amerika Serikat, turut bertanggung jawab bagi lahirnya kelompok teror-radikal di dunia Islam yang rapuh. Dengan berantakannya Afghanistan, Iraq, Lybia, Suria, dan lain-lain, penguasa formal dunia Arab yang busuk telah kehilangan wibawa.

Kekosongan ini segera diisi oleh tipe manusia garang dan ganas, seperti al-Baghdadi sebagai penerus Usamah bin Ladin. Di Afrika selatan sahara juga ada kelompok Boko Haram, gerakan teror yang bersembunyi di balik jubah agama. Dunia Islam kalang kabut dibuatnya. Indonesia yang relatif aman, mengikuti semua drama ini dengan sikap awas dan penuh keprihatinan, tetapi tidak dapat berbuat banyak. Agen-agen teror juga berkeliaran di negeri ini.

Pertanyaannya, untuk berapa lama lagi krisis ini melanda Islam dan dunia Islam? Tak seorang pun di antara kita yang bisa menjawabnya, apalagi saya. Tetapi suasana iman pasang-surut yang sederhana mengingatkan saya akan ayat 110 surat Yûsuf (12) yang artinya: “Sampai ketika para rasul sudah dalam keadaan putusasa dan mengira mereka sungguh telah dibohongi [oleh kaumnya], datanglah pertolongan Kami kepada mereka. Kami selamatkan orang yang Kami kehendaki, dan hukuman Kami tidak dapat terhindar dari kaum pendosa.” Oleh sebab itu, jalan masih terbuka lebar untuk mengundang pertolongan Allah agar keluar dari krisis, dengan syarat adanya kesediaan kita yang tulus untuk menjadi Muslim yang benar, lurus, dan merdeka. Mental budak harus diusir sejauh-jauhnya, sehingga kepala kita tegak berhadapan dengan siapa pun di muka bumi ini. Kemerdekaan umat yang hilang menjadi peluang emas bagi penguasa Muslim yang jahat dan bejat.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement