Selasa 09 Dec 2014 06:00 WIB

Islam Dalam Krisis (1)

Professor Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Professor Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Syafii Maarif

               

Jika turunnya wahyu pertama pada tahun 610 Masehi sebagai awal kenabian dapat diterima menjadi tonggak karier Islam di muka bumi, maka karier itu sudah berlangsung dalam lipatan abad yang panjang. Islam bukan lagi agama sederhana, ia sudah kompleks sekali. Tafsiran terhadap agama terakhir ini sudah berlapis-lapis, sehingga untuk menentukan mana yang emas dan mana yang loyang menjadi tidak mudah, kecuali di tangan orang yang dikurniai ‘aqlun shaĥîh wa qalbun salîm (minda yang sehat tak terbelah dan hati yang tulus tanpa cacat), sekalipun tidak pernah sempurna. Alquran pasti membuka diri terhadap orang dengan kualitas prima ini. Tetapi manusia tetap manusia dengan segala keterbatasannya, ada saja sisi-sisi yang lemah yang mengganggu.

Dari sudut pandang relativisme manusia inilah kita harus memahami mengapa telah berlaku peperangan antara kelompok ‘Aisyah binti Abû Bakr, janda nabi, yang dipimpin oleh Thalĥâh bin ‘Ubaidillâh dan Zubair bin ‘Awwâm berhadapan dengan pendukung Khalifah ‘Alî bin Abî Thâlib (656-661), sepupu dan menantunya. Menurut hadist, sebagai sahabat nabi, mereka yang terlibat dalam peperangan ini telah dijamin masuk surga. Ini adalah krisis politik pertama yang berdarah dalam sejarah Islam yang dikenal dengan Perang Onta, terjadi tahun 35 H/656 M, segera setelah berlaku pembunuhan keji atas diri Khalifah ‘Ustmân bin ‘Affân (644-656) oleh pemberontak Muslim yang menentang kebijakan khalifah yang dinilai tidak adil.

Krisis kedua yang lebih dahsyat di periode awal itu terjadi dalam perang Shiffîn (657) antara pasukan’Ali dan Mu’awiyyah bin Abû Sufyân, gubernur Suria yang diangkat Khalifah ‘Umar bin Kaththâb (632-644) di masa kekhalifahannya. Dalam perang saudara yang masih dikait-kaitkan dengan Parang Onta ini, ribuan yang mati dari kedua pihak. Ketika pasukan ‘Alî nyaris menang, utusannya Abû Mûsâ al-‘Asy’arî ditipu oleh utusan Mu’âwiyah, ‘Amr bin ‘Ash yang cerdik, agar peperangan dihentikan dan berdamai (taĥkîm) di Daumatul Jandal, sebuah oase di lembah Sirhan yang terletak antara Damaskus dan Madinah.

Peluang ini digunakan dengan licik oleh ‘Amr bin ‘Ash untuk mengganti ‘Alî sebagai khalifah dengan menobatkan Mu’âwiyah, idolanya. Tetapi kekuasaan penuh Mu’awiyah harus menanti dulu kematian ‘Ali karena ditikam oleh mantan pengikutnya di masjid Kufah. Kelompok garis keras ini kemudian dikenal dalam sejarah sebagai golongan khawarij (yang memisahkan diri) dari ‘Ali karena menentang taĥkîm di Daumatul Jandal. Tetapi sebenarnya yang tetap setia kepada ‘Ali sampai detik terakhir adalah kaum Anshar. Adapun orang Iraq dan apa yang dikenal dengan golongan al-Qurra tidak sepenuh hati mendukung ‘Ali. Kelemahan ini dibaca dan dimanfaatkan oleh pihak Mu’awiyah untuk memecah belah kubu ‘Ali dan berhasil.

Saya rekamkan kejadian tragis ini bukan untuk membuka luka yang telah berusia belasan abad, tetapi untuk menyadarkan kita semua bahwa sengketa yang berdarah-darah di atas sepenuhnya adalah gejala Arab, bukan mewakili Alquran yang dengan tegas memerintahkan agar orang beriman itu bersaudara dan berdamai. (Lih. Aquran . Al-Ĥujurât: 10). Ironisnya adalah perpecahan yang bercorak Arab ini kita warisi sampai detik ini. Seakan-akan kelakuan para sahabat yang terlibat dalam sengketa dan peperangan itu menjalankan perintah Alquran, sama sekali tidak. Adapun mereka itu dijamin masuk surga sepenuhnya adalah urusan Allah dengan mereka, kita tidak tahu.

Dari tragedi Shiffîn inilah kemudian berkembang tiga faksi besar umat yang tidak pernah berdamai: sunni, syi’ah, dan khawarij. Sunni yang muncul sebagai golongan mayoritas merasa diri selalu berada di pihak yang benar dengan menuduh kelompok syi’ah dan khawarij sebagai pihak yang salah. Cara pandang yang semacam ini harus dihalau jauh-jauh dengan menjadikan Alquran sebagai hakim dan rujukan yang tertinggi. Kepentingan politik sesaat dengan dalil agama sekalipun bagi saya adalah sebuah pengkhianatan. Sunni, syi’ah, dan khawarij adalah buah dari perpecahan politik, mengapa kemudian diberhalakan? Pemberhalaan inilah yang selama ratusan tahun telah menghancurkan persaudaraan sejati umat Islam, termasuk umat Islam yang tidak ada hubungannya dengan yang budaya Arab yang suka berpecah belah itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement