Senin 01 Dec 2014 10:54 WIB

Orde Politik Berganti, Pengurus PSSI Masih Sakti

Abdullah Sammy
Abdullah Sammy

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Abdullah Sammy (wartawan Republika)

Twitter: @sammy_republika

Momen gol ketiga Filipina ke gawang Indonesia sejatinya memiliki makna yang cukup dalam. Gol itu menjawab mengapa sepak bola Indonesia sulit berprestasi. Gol itu pula yang menjawab mengapa negara lain merangkak maju sementara kita terjun bebas.

Gol itu terjadi berawal pelanggaran di dalam kotak penalti yang membuahkan tendangan bebas tak langsung. Dalam rules of the game FIFA,  tendangan tak langsung diberikan wasit jika ada pelanggaran yang tidak vatal. Sebagai contoh pelanggaran yang dilakukan Muhammad Roby saat menahan bola sambil terduduk di laga melawan Filipina.

Dalam aturan bebas tak langsung, bola harus disentuh lebih dari sekali. Itu artinya pemain yang akan mengeksekusi bola ke gawang lawan harus mendapat operan dari rekannya dari titik pelanggaran. Tendangan ini hanya perlu melihat tanda wasit mengangkat tangan ke atas. Bila tangan wasit sudah terangkat, pemain bisa langsung menendang tanpa tunggu apakah pagar betis lawan sudah siap.

Celakanya, pemain Indonesia sibuk memprotes wasit, termasuk kiper Kurnia Meiga. Kiper timnas itu pun sampai meninggalkan kosong gawangnya demi beradu alibi. Saat pemain Indonesia sibuk berbicara, lawan fokus bekerja untuk mencapai tujuannya. Maka begitu melihat tangan wasit terangkat, pemain Filipina tanpa banyak omong dan gaya, langsung menceploskan bola.

Dan, gol. Skor jadi 3-0 untuk Filipina. Negara yang sejatinya baru 12 tahun lalu kita bantai 13-1 !

Dampak Buruk ISL

Memang menyakitkan karena di laga itu Indonesia harus dipermalukan 0-4. Lebih malu lagi karena skuat Garuda harus pulang lebih cepat dari pesta sepak bola di Asia Tenggara. Ini adalah untuk kali kedua secara beruntun, Indonesia tak mampu lolos dari putaran grup Piala AFF.

Lebih dari itu, hasil ini menegaskan fakta bahwa negara yang jumlah penduduknya 240 juta, tak berdaya dalam pertarungan sepak bola di Asia Tenggara. Kita harus mengakui bahwa prestasi sepak bola negara ini semenjana. Hanya dua emas Sea Games, itu pun terakhir kali diraih 1991.

Pasti selalu ada ribuan argumentasi tentang kegagalan. Tapi nyatanya mencari satu jalan menuju perbaikan kita belum mampu.

Dalam tulisan ini, saya ingin beragumentasi tentang solusi memperbaiki prestasi. Sebab membahas kegagalan pastinya hanya akan membuat kita berkata: "sakitnya tuh di sini."

Seorang filsuf George Santayana pernah berujar  "Those who cannot learn from history are doomed to repeat it (siapa yang tak belajar dari sejarah akan ditakdirkan untuk mengulangi kesalahan)."

Perkataan sang filsuf pun sangat cocok bagi sepak bola Indonesia. Sebab selama tak belajar dari sejarah, seorang penunggang kuda yang tiap hari berjalan melewati jalur berlubang, pasti akan selalu terperosok di lubang yang sama. Pun halnya tim sepak bola kita yang selalu gagal di ajang serupa.

Dan pelajaran terbaik dari Piala AFF 2014 ini ada dalam episode gol ketiga Filipina. Saya yakin, pemain kita pada umumnya telah memahami rules of the game. Tapi celakanya, paham belum tentu mempraktikkan. Sebab praktik nyata sehari-hari adalah di kompetisi domestik. Dan di Liga Super Indonesia (ISL), rules of the game kerap diinjak-injak.

Pemandangan pemain menyerbu wasit saat ada keputusan merugikan sudah jadi hal jamak di ISL. Sebab tak jarang dengan strategi itu pemain bisa mengubah keputusan sang pengadil.

Tak hanya itu, kualitas kepemimpinan wasit yang buruk menyebabkan banyak pemain terbiasa melakukan pelanggaran seenaknya. Semua muara itu akhirnya tercermin saat timnas berlaga di internasional. Rasanya tak jarang melihat pemain kita mendapat kartu merah.

Di Piala AFF saja, jumlah kartu merah Indonesia lebih banyak dibanding jumlah kemenangan. Tim Garuda hanya menang sekali sementara kartu merah dua kali.

Dengan fakta itu saya punya pandangan bahwa ISL justru memberi pengaruh buruk bagi pemain timnas saat berlaga di mancanegara. Jadi jalan memperbaiki prestasi paling awal tentunya memperbaiki kualitas kompetisi. Perbaikan kualitas wasit jadi syarat mutlak. Agaknya, ketimbang mendatangkan pemain asing, pengadaan wasit asing jauh lebih penting.

Pembinaan vs Naturalisasi

Selain periode gol ketiga Filipina, "pelajaran sejarah" yang bisa kita ambil di Piala AFF kali ini adalah performa pemain naturalisasi dan Evan Dimas Darmono. Dengan segala hormat, saya harus mengatakan bahwa performa pemain naturalisasi macam Sergio van Dijk, Raphael Maitimo, Cristian Gonzales, dan Victor Igbonefo, tak mampu mengangkat prestasi.

Sebaliknya, kemunculan pemain muda macam Evan Dimas memberi harapan. Walau belum bisa menorehkan prestasi, Evan yang baru 19 tahun nyatanya mampu tampil apik dan mencetak satu gol dan satu assist di Piala AFF kali ini.

Fakta pun membuktikan performa persona Evan Dimas di Piala AFF lebih baik dibanding seluruh pemain naturalisasi yang minim kontribusi. Bahkan dua pemain naturalisasi di lini depan tak mampu mencetak sebiji gol pun. Kalah dibanding Evan Dimas yang berposisi sebagai gelandang.

Memang, Evan hanya tampil lawan Laos. Tapi simak saja catatan sensasionalnya. Dari dua kali debut internasional, dua gol dihasilkan eks kapten tim U-19 ini. Dari titik ini saya sangat yakin bahwa program pembinaan pemain muda jauh lebih efektif dibanding naturalisasi pemain asing.

Dari satu timnas U-19 saja, kita sudah mendapatkan seorang Evan Dimas. Bukan tak mungkin muncul Evan Dimas-Evan Dimas baru jika pembinaan timnas usia muda diatur secara lebih tertata.

Kita mutlak membentuk timnas usia muda yang solid dan dipersiapkan tak hanya ketika mau ada turnamen. Sebaliknya timnas kelompok umur dari U-12, U-16, U-17, U-19, U-21, U-23, dan senior harus memiliki program jangka panjang yang membuat sistem promosi secara berjenjang. Itu artinya pemain yang sudah matang di U-17 bisa promosi ke U-19 dan seterusnya.

Dan untuk mendukung semua itu, saya kira kompetisi mesti membuat revolusi untuk membuka pintu seluas-luasnya bagi pemain muda. Itu artinya ISL harus memiliki slot jatah khusus bagi pemain muda.

Jika selama ini di atur skala jumlah maksimal pemain asing, maka ISL harus menambahnya dengan skala minimal pemain muda. Itu artinya harus ada aturan bahwa klub ISL harus menurunkan pemain muda dengan skala minimal. Misal aturan di setiap laga ISL, setiap tim harus menurunkan minimal dua pemain berusia di bawah 23 tahun. Atau dalam satu musim klub harus mendaftarkan minimal delapan pemain U-21 dalam susunan resmi tim senior.

Rekayasa kompetisi inilah yang pada akhirnya penting dilakukan demi pembinaan pemain muda. Rekayasa yang mesti dilakukan demi perbaikan, bukan justru merekayasa hasil pertandingan.

Reformasi PSSI

Dan yang terpenting dari semua itu, pelaksana organisasi sepak bola, PSSI, dan pengelola kompetisi mesti direformasi. Sejak 1991, sepak bola Indonesia telah merajut serial panjang kegagalan. Dari kurun waktu itu negara ini telah berganti enam presiden. Penonton sepak bola yang tahun 1991 masih perjaka bahkan kini ada yang telah menjadi tua renta. Tapi selama itu pula, pengurus PSSI masih itu-itu saja.

Kesaktian para pengurus gagal harus segera diakhiri. Karena di tangan mereka yang sudah jadi pengurus level provinsi hingga di pusat kini, lemari Piala di Stadion Gelora Bung Karno kosong melompong. Bahkan jika diibaratkan, medali juara Sea Games 1991 mesti rajin kita semprot obat antirayap biar tak lapuk. Sebab itulah satu-satunya situs pembelaan bahwa sepak bola Indonesia pernah tak jadi bahan lelucon di Asia Tenggara.

Konsep sebaik apaun tak akan berjalan jika operatornya tak mampu menjalankan. Dan sejarah membuktikan, selama rentang dasawarsa mereka yang tak mampu membawa Indonesia berprestasi, masih sakti duduk di kursi PSSI.

Pelatih sudah berubah wajah dari Belanda, Brasil, Bulgaria, Jawa, Sumatra hingga Austria. Dan nyatanya itu tak memperbaiki prestasi. Walhasil ini saatnya pengurus PSSI mawas diri. Sudah cukuplah waktu anda di sepak bola Indonesia.

Saatnya penyegaran total di level pengurus PSSI. Lembaga yang sejatinya tak tersentuh arus reformasi sekalipun orde politik terus berganti.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement