Sabtu 29 Nov 2014 06:00 WIB

Slamet Berjanji

Asma Nadia
Foto: Republika/Daan
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia

 

Jika ada keterampilan yang paling dikuasai Slamet, pemuda berusia dua puluh satu tahun, maka itu adalah berjanji. Keluarga, sahabat, teman satu sekolah dan lingkungan rumah mengakui dan mengerti benar kejagoan pemuda berwajah pas-pasan itu dalam berjanji.

Ketika Iwan, sahabatnya memintanya menemani mencari buku panduan persiapan ujian tengah semester mereka, Slamet tanpa keraguan mengangguk. “Tenang, nanti saya temani.”

Ujian masih jauh, tidak perlu terburu-buru, begitu Slamet menenangkan sahabatnya. Ketika adik-adiknya meminta Slamet mencarikan obat untuk ibu mereka yang kurang enak badan, tanpa berpikir dua kali Slamet kontan mengangguk.“Bilang sama Ibu, obat segera datang.”

Saat masyarakat di tempatnya kos selama beberapa tahun ini, membutuhkan seseorang untuk mengontak ustadz terkenal agar memberikan ceramah di masjid besar mereka, Slamet maju menawarkan bantuan.

“Kebetulan saya kenal orang yang kenal ustadz ngetop itu.”

Kata-kata berikut biasanya menjadi kelanjutan janji-janji Slamat.

“Beres!”

Consider it’s done! Sudah dilakukan, tenang saja!”

“Serahkan sama Slamet, gampang gitu kok.”

Bagi masyarakat, pemuda itu dengan cepat menjelma sosok bertanggung jawab yang bisa diandalkan. Apa pun masalahnya, Slamet berjanji akan mengatasi. Sikap yang dengan cepat menebarkan kekaguman banyak orang. Bayangkan di tengah dunia yang terkesan semakin sibuk, dan masyarakat yang kian individualis, sosok Slamet yang selalu berusaha membantu dan memberikan kemudahan, sungguh sesuatu yang sangat mereka syukuri.

Begitulah, kekaguman terhadap pemuda bernama Slamet semakin membukit. Wajah pas-pasan Slamet entah bagaimana terlihat jauh lebih tampan. Para orang tua yang memiliki anak, mulai membujuk anak gadis mereka untuk menikah dengan Slamet, sebab pemuda itu memiliki apa yang tidak dimiliki orang lain, kemampuan menenangkan.

Ada semacam kekuatan magis yang menundukkan pandangan orang- orang sekitar, saat pemuda yang saat ini duduk di tingkat akhir - namun belum lulus-lulus juga itu- mengucapkan janji. Sorot matanya tampak menggambarkan tekad yang dipenuhi kesungguhan. Sementara bibirnya yang selalu dihiasi senyum simpatik, membuat siapa saja dengan cepat tak berkutik. Apalagi Slamet bisa menutupi wajahnya yang sederhana itu dengan penampilan keren,  namun tetap terlihat gaul.

Tapi puncak kekaguman terhadap pemuda itu mencapai titik balik saat   orang-oramg, satu demi satu menyadari, Slamet hanya bisa berjanji, tanpa bisa menepati, atau bahkan memberikan bukti satu pun.

Iwan sahabatnya benar-benar terpukul ketika menyadari bahwa hingga sehari menjelang ujian semester, dia belum belajar karena terbuai dan lupa waktu, akibat perasaan tenang yang dialirkan Slamet.

Ibu pemuda itu yang sedang sakit, semakin parah karena obat tidak kunjung tiba. Sementara harapan warga agar jamaah masjid mereka bisa kedatangan ustadz yang wajahnya sering menghias layar kaca, ternyata hanya angin lalu.Bagaimana ini? Usik beberapa orang.

Slamet seharusnya gentle, begitu kata mereka, sebagai pemuda mestinya dia banyak meniru sosok-sosok muda saat kemerdekaan Indonesia masih diperjuangkan.  Pemuda-pemuda  gagah yang tak hanya berjanji tetapi mengucapkan sumpah, yang setiap kalimatnya ditepati dan dijaga sepenuh hati.

Sungguh janji-janji bukan sekadar lipstick penghias bibir. Seseorang tak  seharusnya berjanji jika tidak berniat menepati. Kemuliaan dan kualitas diri menjadi cacat ketika janji tak bisa dipenuhi. Tidak peduli kepada siapa janji tersebut diucapkan, orang tua kah atau anak-anak yang baru mulai belajar berdiri, janji tetap harus diikuti upaya sungguh-sungguh untuk ditepati.

Salah besar orang tua yang merasa anak-anak mereka yang masih kecil tak mengerti dan karenanya ‘boleh’ dibohongi. Dari pada anak-anak membuat kegaduhan   di depan umum dan memberi malu, lebih baik ‘diiyakan’ saja keinginannya. Tenangkan mereka dengan janji-janji.

Padahal  demi rasa tidak enak atau sungkan tersebut, kita telah  mempermainkan dan mengorbankan bukan hanya perasaan tetapi juga karakter anak-anak sebagai cikal bakal orang muda. Padahal lagi, karakter berperan mengantarkan anak-anak menaiki jembatan yang lebih baik dari waktu ke waktu.

Ah ada apa dengan pemuda kita, kenapa semakin mahir dalam bidang mengumbar janji? Benarkah mereka belajar dari ayah bunda yang tanpa sengaja  mencontohkan? Ataukah dari para pejabat atau tokoh politik yang hampir semua  sangat terampil membangun janji tanpa merasa malu ketika tak diwujudkan?

Ah, begitu berbeda dengan wajah-wajah sederhana yang mengabadikan tekad dan perjuangan mereka  dulu. Jejak dan semangat mereka terpancar meski hanya dalam deret foto ketika dunia bahkan belum tampak berwarna.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement